Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Rekening Jelangkung Rencana Gedung

Kejanggalan transaksi pembelian properti Rp 500 miliar oleh Bank Jabar dan Banten. Simpatisan partai ikut berperan.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERTUTUP seng berkelir biru-kuning-putih yang mengelilinginya, lahan di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta, sunyi senyap. Tak seperti tanah kosong di ­kawasan premium lain, tanah seluas 7.000 meter persegi ini tak berpenghuni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sini rencananya gedung T-Tower setinggi 27 lantai akan dibangun. Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten atau BJB akan membeli 14 lantai di antaranya. Bank yang 38 persen sahamnya dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu sepakat membayar Rp 543,4 miliar kepada PT Comradindo Lintasnusa Perkasa. "Uang muka 40 persen sudah dibayar 12 November 2012," ujar Bien Subiantoro, Direktur Utama BJB, Jumat dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tanah itu, terlihat bekas buldoser yang meratakan puing, menebang pohon, dan membersihkan lahan dari alang-alang liar. "Baru sepekan lalu pohon-pohon ditebang," kata Ahmad Zein, Ketua RT 01 RW 03, Kelurahan Pancoran Barat, yang rumahnya hanya dipisahkan gang dengan tanah kosong itu. Menurut Zein, pada Kamis pekan lalu, penjaga lahan sedang mengadakan rapat di kantor kelurahan.

Di sana, ketua-ketua rukun tetangga dan warga Pancoran sedang khusyuk mendengarkan penjelasan seorang laki-laki. Ia tangkas menjawab pertanyaan warga tentang air tanah, polusi suara, serta kemungkinan bekerja jika gedung sudah berdiri. Pria setengah baya ini adalah Ariyono, "penjaga kaveling 93" yang disebut Zein.

Kepada Tempo seusai rapat, ia menceritakan rencana perusahaannya membangun gedung yang akan berdiri dua tahun lagi. "Saya staf ahli teknik di PT Sadini Arianda," ujarnya. "Kami akan membangun gedung 15 lantai."

Tempo bertanya, "Anda bukan dari Comradindo?" Kening Ariyono berkerut. Ia menyatakan pernah mendengar nama itu karena punya kenalan yang bekerja di sana. Berkali-kali Ariyono menegaskan Sadini tak punya hubungan dengan Comradindo. Jabatan di Sadini membuat Ariyono terlibat merencanakan gedung sejak awal. "Tingginya bukan 27 lantai," katanya. "Saya ikut merancang desainnya."

Rapat dengan warga Pancoran di kantor kelurahan baru sekali itu digelar. Warga di sana banyak yang bertanya setelah anak buah Ariyono menebang pohon dan membersihkan lahan sepekan lalu. Menurut Ahmad Zein, sudah dua tahun ini ia dan tetangganya tahu di lahan kosong itu akan dibangun gedung BJB. Beberapa orang tak dikenal terlihat pernah memeriksa tanah itu. "Tapi kok tak kunjung dibangun," ujarnya.

Seumur hidupnya, pria 50 tahun itu tinggal di situ. Lahan itu dulu permukiman. Pada 1997, beberapa pengusaha memborongnya. Tapi tanah ini tak diurus. Puing bekas reruntuhan rumah berceceran; pohon dan tumbuhan liar merimbun. "Hampir saja kami urunan untuk memangkas semak karena banyak ular, eh, datang orang perusahaan membersihkan," katanya. Zein baru tahu tanah itu milik PT Sadini dari keterangan Ariyono, yang datang ke sana sejak Juli tahun lalu. Zein bahkan baru kali itu mendengar nama PT Comradindo.

Dimintai konfirmasi, Jumat pekan lalu, Bien baru buka suara soal pemilik lahan itu. Ia mengakui tanah tersebut memang atas nama PT Sadini, bukan Comradindo. Ia menyebutkan dua perusahaan itu satu grup. Lokasi kantor Sadini tak terlacak. Alamatnya di Jalan Balikpapan Nomor 9-D ditempati PT Laras Sarkomindo, perusahaan logistik. "Sepuluh tahun saya di sini tak pernah dengar ada PT Sadini," ujar Sinco, karyawan PT Laras.

Perusahaan itu dikabarkan sedang membangun Sadini Tower di Jalan M.T. Haryono. PT Airmas Asri ditunjuk sebagai perancang desain. Namun, kata pegawai di sana, proyek itu berhenti sebelum pembangunan. Sepanjang jalan itu, baik dari arah Cawang maupun Slipi, tak ada pembangunan gedung bertingkat untuk perkantoran.

Anehnya, Bank Jabar sudah membayar uang muka kepada PT Comradindo. Dalam surat dan akta perjanjian, hanya nama perusahaan ini yang tertera. Tri Wiyasa, Direktur Comradindo, yang meneken surat penawaran hingga perjanjian jual-beli. Bank Jabar mencantumkannya dalam laporan tahunan 2012, yang menerangkan pembelian gedung pada Comradindo pada 12 November tahun itu.

Transaksi ini terasa janggal karena syarat pembayaran uang muka adalah adanya sertifikat kepemilikan tanah. Pada Jumat dua pekan lalu, Bien menegaskan Comradindo telah menunjukkan surat tanah atas nama perusahaan itu. "Saya yakin itu asli," kata Bien. Karena itu, rapat direksi Bank Jabar setuju membayar uang muka setelah tim negosiasi yang dipimpin Kepala Divisi Umum Wawan Indrawan setuju pada harga Rp 543,4 miliar.

Perjanjian itu berlangsung sangat kilat: hanya sehari—5 November 2012. Pesanan dan harga diteken. Comradindo menawarkan harga per meter persegi Rp 40 juta. Kedua pihak kemudian bersepakat pada Rp 38 juta per meter persegi. Uang muka sebesar 40 persen dibayarkan sepekan setelah kesepakatan harga diteken dalam akta perjanjian jual-beli.

Harga ini sesungguhnya di atas harga tertinggi yang ditetapkan tim penilai independen. Tiga hari sebelum negosiasi, kantor penilai Hari Utomo dan Rekan, yang diminta manajemen bank itu melakukan survei harga, menetapkan nilai pasar per meter persegi bangunan di kawasan tersebut Rp 30-35 juta.

Bien tak bisa menjelaskan mengapa anak buahnya mengabaikan harga yang diajukan penilai yang ditunjuknya sendiri. "Saya percaya kepada tim pengadaan," katanya.

Uang muka 40 persen itu juga janggal. Sebab, pada 6 Agustus 2012, Bien dan Direktur Konsumer Arie Yulianto meneken surat keputusan pedoman pengadaan barang dan jasa di Bank Jabar. Ada ketentuan uang muka untuk seluruh proyek di bank itu maksimal 30 persen dari nilai proyek. Soal ini, Bien menjawab, "Wah, saya tak tahu ada aturan itu."

Kejanggalan lain kian meruyak. Sebelum negosiasi, tim pengadaan meminta Divisi Kepatuhan dan Hukum membuat kajian bisnis rencana pembelian gedung untuk kantor khusus Jakarta itu. Divisi Hukum melaporkan kajiannya pada 30 November—dua pekan setelah uang muka dibayar.

Padahal dalam kajian itu disebutkan dengan terang: syarat akta jual-beli dan pembayaran uang muka adalah salinan dokumen izin mendirikan bangunan. Selain itu, gedung harus sudah terbangun minimal 20 persen. Kajian bisnis ini jelas diabaikan. Faktanya, hingga hari ini, tanah di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93 itu masih kosong melompong.

Bien punya dalih: "Dalam pembelian strata title ini biasa: bayar lunas dulu, baru gedung dibangun. Seperti membeli apartemen."

Kekisruhan itu kian terang karena pembelian ini tiba-tiba dilanjutkan, tanda tender, tanpa lelang, setelah terendap sejak 2006. Dengan alasan kantor di Gedung Arthaloka di Jalan Sudirman tak lagi cukup buat karyawan Bank Jabar di Jakarta yang berkembang, direksi memasukkan kepemilikan gedung ke rencana bisnis. Bank Indonesia waktu itu menyetujuinya dengan anggaran Rp 200 miliar.

Beberapa kali penjajakan tempat selalu gagal karena lokasi yang diperoleh dinilai kurang strategis. Direksi sebelum kepemimpinan Bien tercatat pernah hampir sepakat membeli gedung delapan lantai di kawasan bisnis Kuningan seharga Rp 156 miliar. Pembelian batal karena lalu lintas di kawasan itu terlalu macet. Ada juga di Kebon Kacang, Tanah Abang, dan kawasan Menteng—semua di Jakarta Pusat.

Sampailah, pada 2010 itu, direksi "menemukan" lahan kosong di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93. Informasinya diperoleh dari Titus Soemadi, pemilik PT Comradindo Lintasnusa Perkasa. Titus mengenal para anggota direksi Bank Jabar karena, selain nasabah, ia dekat dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Dalam silaturahmi petinggi Partai Keadilan Sejahtera dengan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa pada 2008, Titus ikut rombongan PKS. PT Gaharu Sejahtera miliknya merupakan salah satu pemain bisnis VoIP terbesar—yang pengaturannya di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tapi, setelah dicek, status kepemilikan lahan kaveling 93 tak jelas. Lahan itu dikuasai beberapa orang, yang bisa menimbulkan kisruh kepemilikan jika dibeli. Rencana membeli atau membangun gedung itu tertunda, terutama sebelum rapat umum pemegang saham digelar pada 25 Juli 2011.

Senyampang itu, melalui perdebatan alot antarpemilik saham, Bien Subiantoro—Direktur Treasury BNI 46 yang diusung Gubernur Ahmad Heryawan—terpilih menjadi direktur utama. Dua calon direktur ditolak wali kota dan bupati se-Banten dan Jawa Barat, pemilik saham minoritas. Penggantinya akan ditentukan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa setahun kemudian. Meski belum definitif menjabat—karena harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Bank Indonesia—para direktur ini mulai bekerja sesuai dengan jabatan mereka.

Ketika menunggu hasil ujian itulah mereka kerap dipanggil orang-orang dekat Gubernur Heryawan. Yang paling sering memanggil adalah Sutiana. Bendahara Partai Keadilan Sejahtera Jakarta pada 1998-2005 ini—saat itu Heryawan menjabat ketua—terang-terangan meminta dilibatkan dalam proyek-proyek di Bank Jabar. "Katanya butuh dana besar, setidaknya Rp 200 miliar, untuk pencalonan kembali gubernur," ucap seorang direktur.

Bien Subiantoro mengakui pernah dipanggil Sutiana setelah terpilih. "Tapi tak membicarakan proyek," ujarnya. Setidaknya, kata Bien, ia tiga kali dipanggil dan bertemu dengan Sutiana di Jakarta. Pernah sekali Sutiana menanyakan kemungkinan mendapat kredit untuk perusahaannya, PT Brocade Insurance Broker. Tapi, kata Bien, ia mengaku membelokkannya lagi ke hal-hal umum. "Jangankan intervensi dari dia, dari Gubernur pun saya tak mau," katanya.

Rencana membeli gedung di Jakarta menghangat lagi dalam rapat-rapat direksi menjelang akhir 2012, setelah rapat umum pemegang saham luar biasa yang memilih direksi baru. Ketika itu, suhu politik Jawa Barat mulai menghangat menjelang pemilihan gubernur—dilaksanakan pada 24 Februari 2013.

Sejumlah direktur kaget ketika tahu gedung yang akan dibeli itu dibangun di Gatot Subroto Kaveling 93, lokasi yang sebelumnya batal dipilih karena status tanahnya tak jelas. Mereka kian masygul begitu tahu perusahaan Titus Soemadi yang akan membangunnya. "Dulu sengketa, sekarang, kok, jadi dibeli?" ujar seorang pejabat.

Sutiana tak bisa ditemui untuk dimintai konfirmasi. Tiga pekan dicari ke pelbagai alamat, ia tak tampak. Di kantor pusat Partai Keadilan Sejahtera dan di cabang Jakarta pun tak ada. Di kantor Baitul Maal Sejahtera di Jalan Fatmawati, Jakarta, lembaga keuangan PKS yang ia pimpin, juga nihil.

Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ini juga tak ada ketika ditunggui di kantor PT Brocade di Rasuna Office Park, Kuningan. "Tak ada nama Sutiana di sini," kata Dony, agen Brocade, Rabu pekan lalu. Padahal, dua pekan sebelumnya, ia membenarkan Sutiana adalah bosnya.

Tetangga Sutiana di Sunter, alamat rumah yang tercatat di akta PT Brocade, menyatakan dia sudah pindah dari sana lima tahun lalu, sejak bercerai dengan istrinya. Heryawan malah mengatakan baru mendengar nama itu. "Saya tak kenal," ujarnya. Berulang kali ditanya soal Sutiana, ia hanya berdeham.

Dalam transaksi Bank BJB, jejak Sutiana bukannya tak ada. Perusahaannya menerima transfer dari PT Comradindo sehari setelah uang muka dibayar dari Bank Jabar. Kecil memang, hanya Rp 44,75 juta.

Bien Subiantoro tak tahu peran ­Brocade dalam pembelian ini. Sebab, penjamin pembelian gedung bukan bank atau perusahaan, melainkan lahan tempat gedung. "Soal asuransi, tanya ke Direktur Konsumer," katanya.

Komisaris Comradindo Flavius Joanna juga mencairkan cek di Bank Jabar nomor 51103-500427 pada 19 November 2012, lalu mentransfernya ke rekening BCA atas nama Andy Sujana sebesar Rp 12,2 miliar. Andy tak lain pemilik PT Sadini Arianda. Lima cek nomor urut berikutnya dengan pecahan Rp 25 miliar dan Rp 50 miliar senilai Rp 212,79 miliar ditarik, lalu ditransfer ke rekening penampungan di Bank Panin dan Bank Capital.

Dengan alasan kerahasiaan bank, Kepala Divisi Hukum Bank Capital Handodo Kangga menolak menjelaskan keberadaan rekening-rekening itu dan jenis transaksinya. Soalnya, uang besar itu ditransfer oleh Joanna secara real-time gross settlement ke rekening tanpa nama dan tanpa tujuan.

Joanna tak lain anak Titus Soemadi. Dalam akta perusahaan, dua anaknya tercatat sebagai pemegang saham senilai Rp 10 miliar. Titus menolak membicarakan pembelian gedung oleh BJB. "Silakan Tempo menulis apa pun," ujarnya. Dibujuk melalui orang dekatnya, ia juga bergeming. "Saya anggap semua ini pencemaran nama baik." Penjelasannya sebenarnya penting, terutama untuk menerangkan uang jumbo yang dialirkan cepat-cepat.


Transaksi Janggal Pencakar Langit

BANK Jabar-Banten (BJB) setuju membeli 14 dari 27 lantai rencana gedung T-Tower di Jalan Gatot Subroto Kavling 93, Jakarta. Transaksi dengan PT Comradindo Lintasnusa Perkasa itu bernilai Rp 543,4 miliar. Masalahnya, proyek pencakar langit ini belum juga jelas. Tanah yang rencananya hendak dipakai pun ada kemungkinan milik perusahaan lain. Padahal uang muka--yang kelewat besar--dan cicilan sudah berjalan.

2006

BJB memasukkan rencana gedung untuk cabang khusus Jakarta dalam rencana bisnis.

2007-2010

Pencarian lahan. Anggaran yang disediakan dan disetujui Bank Indonesia Rp 200 miliar. Beberapa tempat dijajaki. BJB menginginkan tempat strategis di Jalan Jenderal Sudirman atau Gatot Subroto.

Juni 2008

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan terpilih, dan menjadi kuasa pemilik 51 persen saham BJB.

Agustus 2010

BJB menjual saham perdana ke publik. Saham pemerintah provinsi tinggal 38,2 persen.

Juli 2011

Bien Subiantoro, Direktur Treasury BNI 46, terpilih menjadi direktur utama.

2011

Bien membentuk panitia pengadaan tanah dan bangunan BJB, dipimpin Kepala Divisi Umum Wawan Indrawan dan beranggota empat orang.

19 Oktober 2012

Comradindo memperoleh kredit modal kerja dari BJB Rp 80 miliar.

29 Oktober 2012

BJB menunjuk Kantor Konsultan Hari Utomo dan Rekan untuk menilai harga tanah dan bangunan T-Tower yang belum dibangun di Jalan Gatot Subroto Kavling 93. Hasilnya, estimasi harga pasar Rp 30 juta hingga Rp 35 juta per meter persegi. Laporan dikirim ke BJB pada 2 November 2012.

1 November 2012

Tim pengadaan meminta Divisi Kepatuhan dan Hukum BJB membuat kajian atas rencana pembelian T-Tower. Surat diterima pada 12 November 2012. Kajian dilakukan dua hari kemudian.

5 November 2012

Tim BJB bernegosiasi dengan Tri Wiyasa, Direktur PT Comradindo. Penawaran dibuka Rp 40 juta per meter persegi. Negosiasi sepakat harga Rp 38 juta per meter persegi. Total transaksi Rp 494 miliar plus pajak 10 persen menjadi Rp 543,4 miliar.

12 November 2012

Surat pengikatan jual-beli diteken. BJB mentransfer uang muka 40 persen ke rekening Comradindo di BJB nomor 009-720-30-8002 sebesar Rp 217,36 miliar. Sisanya dicicil Rp 27,17 miliar tiap bulan selama setahun. Serah-terima gedung 12 bulan setelah cicilan terakhir.

13 November 2012

Comradindo mencairkan cek 51103-692746 dan mentransfer ke rekening PT Brocade Insurance Broker Rp 44.751.231.

19 November 2012

Comradindo mencairkan:

  • cek 51103-500427 dan mentransfer secara RTGS ke Bank BCA a.n. Andy Sujana, pemilik PT Sadini Arianda, Rp 12.202.553.000
  • cek 51103-500428 dan mentransfer secara RTGS ke rekening 1509099 di Bank Capital Cabang Menara Kuningan Rp 25 miliar
  • cek 51103-500429 dan mentransfer secara RTGS ke rekening 522-054-000 di Bank Capital Cabang Menara Global Rp 50 miliar
  • cek 51103-500431 dan mentransfer secara RTGS ke rekening 1509099 di Bank Capital Cabang Menara Kuningan Rp 50 miliar
  • cek 51103-500432 dan mentransfer secara RTGS ke rekening 042 di Bank Panin Rp 50 miliar
  • cek 51103-500428 dan mentransfer secara RTGS ke rekening 042 di Bank Panin Rp 37,797 miliar

November 2012-Februari 2013

Pembayaran cicilan

30 November 2012

Divisi Kepatuhan dan Hukum melaporkan hasil kajian bisnis pembelian gedung T-Tower. Mereka merekomendasikan agar tim dan direksi BJB memegang salinan sertifikat kepemilikan tanah, dokumen izin mendirikan bangunan, memastikan ketersediaan sarana, prasarana, dan fasilitas umum, dan bangunan fisik sudah berjalan 20 persen saat pengikatan perjanjian jual-beli dan uang muka dibayarkan.

PT Comradindo Lintasnusa Perkasa

  • Berdiri: 4 Agustus 2004
  • Usaha: Bidang telekomunikasi dan teknologi informasi
  • Pemilik: Saham dan modal kerja Rp 10 miliar dimiliki Flavius Octaviano Caesa dan Flavius Joanna, anak pengusaha Titus Soemadi
  • Kantor pusat: Sebuah ruang di Gedung Graha Metro, Jalan Penjernihan I, Jakarta Pusat

PT Brocade Insurance Broker

  • Berdiri: 2010, mengubah nama PT Anugerah Tirta Masindo
  • Usaha: Konsultan bisnis dan manajemen, pialang asuransi, penilai dan jasa aktuaria asuransi, dan pemasaran produk asuransi
  • Pemilik: Sutiana, Rinawita, Thema Rosa. Sutiana, bendahara Partai Keadilan Sejahtera Jakarta 1998-2005, menjabat Komisaris Utama.
  • Kantor: Rasuna Office Park, Kuningan, Jakarta Selatan
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Aryani Kristanti, Muhammad Rizki, dan Febriana Firdaus berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus