Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Surat Rahasia Pembuka Tabir

Penentuan direksi BJB menggugurkan calon yang bersih dari catatan kejahatan bank. Pemilik saham minoritas menuduh ada politisasi.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA belas bulan sudah Bambang Mulyo Atmodjo tak lagi ­berangkat ke kantornya di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), Bandung. Usianya baru 52 tahun, belum masuk masa pensiun. Tapi hari-harinya kini dihabiskan di Yayasan Kesejahteraan Pegawai BJB, Bandung. "Tak dipecat, tapi tak digaji," kata pengacaranya, Yusuf Pramono,­­ ­Jumat pekan lalu.

Bambang menunggu putusan Mahkamah Agung atas gugatan kepada Bank Indonesia yang diajukannya. Penyebabnya, bank sentral tak meloloskan dia dalam uji kelayakan menjadi direktur bank yang saham terbesarnya dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu. Ia sudah ditunjuk menjadi direktur operasi oleh rapat umum pemegang saham pada 27 Juli 2011. Tapi Bank Indonesia membatalkan keputusan itu.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad meneken surat bertanggal 24 November 2011. Isinya, Bambang dinyatakan tak lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagai bankir. "Kami belum menyetujui pengangkatan Bambang Mulyo karena yang bersangkutan belum memenuhi kriteria," demikian petikan surat itu, yang kebenarannya dikonfirmasi bank sentral.

Dokumen bernomor 13/122/GBI/DPIP/Rahasia itulah yang digugat Bambang agar dibatalkan pengadilan. Pada 10 Mei 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatannya. Pengadilan tinggi menguatkan putusan itu pada 3 Oktober tahun lalu. Selanjutnya, menurut Yusuf Pramono, putusan pengadilan tadi akan dijadikan dasar untuk menggugat Bank Jabar dan Banten secara perdata.

Dalam rapat pemegang saham di Hotel Hyatt Bandung, 24 November 2011, Bambang terpilih bersama Bien Subiantoro sebagai direktur utama, Arie Yulianto menjadi direktur konsumer, Zaenal Arifin sebagai direktur kepatuhan dan manajemen, serta Shahyonan Johnny Azis menjadi direktur komersial. Kecuali Bien dan Johnny yang berasal dari BNI 46, mereka adalah bankir yang sudah berkarier lebih dari 20 tahun di Bank Jabar dan Banten.

Meski sudah diangkat, direksi baru belum resmi menjabat. Mereka mesti mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. Aturannya, ujian bisa dilakukan sebelum atau sesudah rapat pemegang saham. Pada Oktober tahun itu, bank sentral menyelenggarakan tes. Anggota direksi baru itu tak diuji serempak. Bambang dan Bien, misalnya, dites pada 13 Oktober.

Lebih dari sebulan kemudian, pada 24 November, hasil tes keluar. Bambang terjungkal. Adapun Bien dinyatakan lulus dan sah menjabat direktur utama. Tes Bank Indonesia juga mementalkan Johnny Azis. Sejak itu, status Bambang dan Johnny di BJB tak jelas. Pengganti mereka baru ditunjuk hampir setahun kemudian, dalam RUPS 25 September 2012.

Hasil tes tak ada masalah jika tak ada dokumen BI tertanggal 6 Oktober 2011. Dikeluarkan Bagian Informasi Dokumentasi dan Administrasi, surat itu menjelaskan hasil penelusuran terhadap rekam jejak Bambang dan Bien. Bambang dinyatakan tidak pernah terlibat dalam kejahatan perbankan. Sebaliknya, Bien Subiantoro justru disebut punya catatan. Ketika menjadi direktur BNI, ia dianggap memberikan kredit kepada PT Lima Jayakarta Utama sebesar Rp 133 miliar. Ia dinyatakan "tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian".

Kepada Tempo, bankir yang lama berkarier di Bank Mandiri ini menjelaskan bahwa kredit PT Lima ditangani direktur lain di BNI. "Kalau memang ada informasi itu, tentu saya tak lulus," ujarnya. Dalam penilaian tim Rhenald Kasali, konsultan dan guru besar ekonomi Universitas Indonesia, Bien menempati urutan pertama sehingga RUPS Juli 2011 menetapkannya sebagai direktur utama.

Rhenald bercerita ia diminta komisaris BJB menilai calon anggota direksi yang diajukan para pemilik saham. Rhenald diminta menilai aspek kepemimpinan dan psikologi para calon. "Setelah wawancara, saya cek tentang Pak Bien ke bankir lain," kata Rhenald. "Info yang masuk, ia bankir yang bagus dan tak macam-macam."

Lucky Fathul Azis Hadibrata, Kepala Bank Indonesia Bandung ketika RUPS digelar dan pewawancara keduanya, enggan menjelaskan bagaimana Bien lulus dan Bambang gagal. "Itu diputuskan Dewan Gubernur BI," ujar Lucky, kini deputi komisioner Otoritas Jasa Keuangan.

Bank Indonesia menyatakan ada dua kasus yang mengganjal Bambang. Kasus terjadi ketika Bambang masih menjabat Kepala Divisi Umum Bank Jabar dan ­Banten. Pertama, kasus pengadaan automatic ­vehicle locator pada 2010, yang diduga merugikan BJB Rp 400 juta. Kedua, soal dana Rp 100 juta yang tak jelas penggunaannya. Yusuf Pramono menangkal tuduhan bank sentral. Menurut dia, anak buah Bambang yang jadi panitia pengadaan bertanggung jawab atas dana itu.

Audit internal BJB menyatakan panitia pengadaan tak teliti. Kasus duit Rp 100 juta pun dinyatakan beres. Duit keluar dari kas atas perintah seorang direktur. Menurut Yusuf, uang itu lantas diberikan sang direktur kepada sebuah organisasi kemasyarakatan yang mengancam mendemo RUPS 25 Juli 2011. Dua bulan kemudian, direktur tadi melunasi kas bonnya.

Sejumlah pejabat BJB percaya penyebab sebenarnya berhubungan dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan—kuasa pengguna 38,26 persen saham BJB. Dalam RUPS luar biasa untuk mengisi kursi kosong yang tak jadi ditempati Bambang dan Johnny, para bupati dan wali kota menengarai campur tangan Gubernur sangat kental. Menjelang sidang, para calon kabarnya dipanggil oleh Sutiana, kader Partai Keadilan Sejahtera, yang dipanggil Ustad oleh orang-orang BJB.

Ketika dimintai konfirmasi, Bambang menyerahkan jawaban kepada Yusuf Pramono, pengacaranya. Yusuf tak membantah permintaan dan pertemuan itu. Tapi ia tak bersedia menjelaskan isi pertemuan. "Saya hanya berfokus pada persoalan hukum klien saya," katanya. Adapun Sutiana belum bisa ditemui untuk dimintai konfirmasi.

Bien pernah dipanggil Heryawan sebelum ditunjuk menjadi direktur utama pada RUPS 25 Juli 2011. Tapi ia membantah jika disebut masuk bank itu untuk mengamankan kepentingan Heryawan. "Saya katakan kepada Pak Aher, kalau ada intervensi, saya mundur." Aher—panggilan Heryawan—tak mau menjawab ketika ditanya soal masuknya Bien ke BJB.

Pemilik saham minoritas, para bupati dan wali kota se-Banten dan Jawa Barat, juga curiga Heryawan menempatkan orang-orangnya di BJB. Ketika RUPS luar biasa di Hotel Ritz-Carlton pada 25 September 2012, Heryawan mengajukan Djamal Muslim dan Acu Kusnandar sebagai pengganti Bambang dan Johnny. "Padahal mereka bukan yang terbaik dari hasil penilaian internal dan Universitas Indonesia," ujar Herman Sutrisno, Wali Kota Banjar.

Sempat memprotes, para bupati menyerah karena kalah suara. Belakangan Herman menyadari yang terjadi di balik itu. Salah seorang calon Heryawan pernah menyetujui kredit Rp 38,7 miliar untuk Koperasi Bina Usaha, koperasi karyawan PT Alpindo Mitra Baja milik Ayep Zaki, simpatisan PKS di Sukabumi.

Anton Septian, Bagja Hidayat, Febriana Firdaus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus