Ayatrohaedi
Pengamat kebudayaan, tinggal di Depok
Rakai Pikatan, Raja Mataram sekitar pertengahan abad kesembilan, adalah seorang pemeluk Hindu yang taat. Hal itu dibuktikannya dengan membangun sebuah gugus candi yang besar dan luas, Prambanan. Ia punya istri bernama Pramodhawardhani yang berasal dari keluarga Sailendra, yang menguasai Sriwijaya di Sumatera. Perkawinan mereka tampaknya berjalan tanpa masalah.
Ketika sebagai pemeluk ajaran Buddha, Pramodhawardhani membangun gugus stupa di Plaosan, suaminya tidak melarang. Bahkan turut menyumbang pembangunan itu, antara lain dengan mendirikan candi perwara, yaitu candi yang lebih kecil dari candi induk. Di bagian kaki candi yang dibangun oleh orang lain, antara lain ada tulisan berbunyi anumoda rakai pikatan ”persembahan (dari) Rakai Pikatan”. Artinya, pada pertengahan abad kesembilan itu, tidak ada silang sengketa yang didasari masalah agama.
Raja Kartanagara, yang berkuasa menjelang akhir abad ke-13, malah lebih ”maju”. Ia bahkan memadukan kedua agama itu menjadi agama ”baru”, Hindu-Buddha. Sebagai Siwa Buddha, ia diabadikan di Candi Jawi, sementara sebagai Bhairawa penggambarannya di Candi Singasari, semuanya di daerah Malang, Jawa Timur. Agama baru itu ternyata berkembang terus, bukan hanya di Singasari dan kerajaan turunannya, melainkan juga di daerah lain. Naskah berbahasa Sunda bernama Sanghyang Siksa: Kanda ng Karesian, yang dituliskan pada 1518, dengan jelas memperlihatkan semangat agama ”pembauran” itu.
Apakah semangat beragama dalam kedamaian itu baru muncul sejak abad kesembilan? Baik naskah, tinggalan budaya, maupun tradisi yang berkembang di berbagai daerah memberikan gambaran bahwa hal demikian sudah berlangsung sejak masa yang lebih awal. Pertemuan masyarakat yang menganut kepercayaan leluhur dengan agama Hindu dan Buddha, misalnya, sudah terjadi sekurang-kurangnya pada masa Tarumanagara berkembang di wilayah bagian barat Pulau Jawa. Ketika Fa-Hsien terdampar di negara yang disebutnya Ye-p’o-ti (lafal Cina untuk Jawadi ”Jawa”), ia mencatat bahwa di daerah itu sudah banyak orang yang beragama Hindu, namun masih sedikit yang beragama Buddha. Malahan yang beragama ”kotor” jauh lebih banyak. Agama ”kotor” yang berbeda baik dengan Hindu maupun Buddha itulah yang menurut tafsiran mutakhir ini dianggap sebagai agama leluhur.
Daerah Karawang, Jawa Barat, dapat dijadikan contoh kehidupan beragama dalam kedamaian yang berlanjut hingga sekarang. Di daerah Kecamatan Cibuaya, ditemukan sejumlah tinggalan yang bersifat Hindu, baik candi maupun arca. Sebaliknya, di Kecamatan Batujaya yang jarak lurusnya sekitar 25 kilometer sebelah barat Cibuaya, ditemukan belasan runtuhan bangunan yang bersifat Buddhis. Di daerah itu juga ditemukan tulisan pada tablet berupa kepingan logam kecil-kecil, berisi kalimat-kalimat pujian terhadap Buddha. Tinggalan itu berasal dari masa yang hampir sama, yaitu dari sekitar masa Tarumanagara.
Dalam pada itu, dalam sebuah tulisannya pada awal 1960-an, Prof. Dr. Sutjipto Wirjosuparto menggambarkan bahwa di daerah sekitar Pantai Cemara hingga ke Sungai Buntu, berdiam warga masyarakat yang kemungkinan besar turunan orang Portugis, yang sekitar 500 tahun yang lalu pernah terdampar di situ. Suatu hal yang tidak mustahil, karena daerah itu sebenarnya ”sambungan” ke arah timur dari daerah Tugu, tempat berkembangnya kebudayaan Portugis, terutama dalam bentuk keroncong Tugu. Mereka pun beragama Kristen.
Sementara itu, tradisi lisan yang berkenaan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah pesisir utara Jawa (Barat) hampir selalu menyebut seorang tokoh bernama Syekh Hasanuddin Quro, yang pertama kali mendirikan ”pesantren” di dekat Cibuaya. Menurut penduduk setempat, pesantren yang sekarang bernama Pesantren Syekh Quro di situ adalah warisan dari penyebar Islam yang awal itu.
Kehadiran Syekh Quro pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15 itu sekurang-kurangnya setengah abad lebih dulu dari keha-diran Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di Amparan Jati, Cirebon. Syekh Quro hidup sezaman dengan Syekh Datuk Kahfi, yang dimakamkan di Gunung Jati, dan tampaknya pada masa kedua ulama hidup itulah panglima muslim Cina yang bernama Chengho pernah mendarat di Cirebon.
Ajaran atau agama Konghucu pun menemukan kedamaian dan karenanya berkembang di Karawang. Sebuah kota kecil bernama Rengasdengklok, sekitar 20 kilometer sebelah utara Karawang, misalnya, dapat dijadikan saksi. Memasuki kota kecil itu dari arah selatan, berdiri sebuah kelenteng (atau yang pernah ”dipaksa” menjadi biara). Hal yang sama, ketika meninggalkan kota itu ke arah Batujaya. Di luar kota itu juga berdiri sebuah biara. Artinya, dua buah kelenteng atau biara untuk sebuah kota kecamatan rasanya sesuatu yang cukup menarik. Apalagi jika diingat bahwa sebagian terbesar penduduk daerah itu beragama Islam.
Sedemikian jauh, tak pernah terdengar terjadi silang sengketa di antara warga masyarakat karena beda agama. Jikapun terjadi, seperti yang dialami akibat pelaksanaan peraturan yang melarang warga Cina (yang pada waktu itu belum tentu sudah WNI) tinggal di luar kota kabupaten, pemicu sebenarnya adalah kesenjangan ekonomi. Atau, karena politik dan kebijakan yang dianggap rakyat tidak bijaksana. Bukan agama, bukan kesukuan, bukan ras, bukan pula antargolongan.
Dengan demikian, rumusan mengenai SARA sebenarnya hanya upaya untuk mengalihkan perhatian. Bukankah ketika rumusan itu dicanangkan, dinasti Cendana tengah menghimpun kekuatan dan kekayaan demi kejayaan kelompoknya?
Jika becermin pada apa yang terjadi dan berlangsung di Karawang, kedamaian dan harmoni antaragama selalu bisa hadir di mana pun—tanpa merasa ”terancam”—betapapun kecil atau minoritasnya agama itu….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini