Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Data kualitas udara global IQAir menunjukkan, tingkat polusi PM 2.5 di Jakarta, tetap tinggi selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2020. IQAir Visual menyatakan Jakarta berada di peringkat lima besar kota di dunia yang kualitas udaranya terburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kualitas udara di Jakarta tetap dalam kisaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya." Demikian laporan yang dikutip Tempo, Kamis, 18 Maret 2020. Angka ini diperoleh dari analisis Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang dapat diakses di situs Greenpeace Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PM 2.5 merupakan partikel mikro yang dapat terbang jauh dan bertahan lama di atmosfer. Laporan Kualitas Udara Dunia 2020 ini mengacu pada data PM 2.5 stasiun pemantau berbasis darat di 106 negara.
Sepanjang 2020, 84 persen dari 106 negara meningkat kualitas udara. Rata-rata karena adanya karantina wilayah global guna menekan penularan Covid-19.
Di Singapura misalnya, polusi udara turun 38 persen ketimbang 2019. Tingkat pencemaran di Wuhan juga turun 18 persen, Seoul 16 persen, dan Delhi 15 persen.
Walau PM 2.5 tinggi, tapi konsentrasi NO2 di Ibu Kota turun 33 persen. Tingkat PM 2.5 dan NO2 di Ibu Kota terus meningkat pada masa PSBB Transisi.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, turunnya NO2 sebagian besar disebabkan merosotnya aktivitas transportasi dan industri selama PSBB.
Pembangkit listrik tenaga batubara di luar Jakarta jadi sumber pencemar udara yang berkontribusi pada tingkat PM 2.5. Salah satunya pembangkit listrik tenaga batu bara Suralaya di Banten.
Menurut Bondan, senyawa NOx dari aktivitas batubara ini dapat teroksidasi untuk membentuk partikel PM 2.5. "Karena lintasan angin yang berlaku, polutan PM 2.5 dari pembangkit batu bara ini mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB dan mempengaruhi kualitas udara di kota."
Greenpeace Indonesia mendesak Pemerintah DKI Jakarta menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan. Jakarta juga perlu menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi serra berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten demi mengendalikan pencemaran udara lintas batas.