Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kublai khan di dasar laut

Dep. pendidikan jepang, melakukan serangkaian penelitian arkeologi di bawah laut, untuk menemukan sejumlah artifak yang terbenam 7 abad yang lalu, yaitu sisa-sisa armada kublai khan dari mongol. (sel)

5 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARMADA sehebat itu belum pernah ada dalam sejarah. Mungkin hingga detik ini. Bayangkan: jumlah kapalnya saja 4.400 buah, dengan 242.000 awak. Bertolak dari pelabuhan-pelabuhan Cina dan Korea, perintah yang diembannya sungguh sederhana: Serbu pulau-pulau Jepang. Taklukkan mereka atas nama maharaja Mongol, Kublai Khan. Tetapi hasilnya di luar dugaan. Pasukan tangguh dari pedalaman Asia itu justru porak poranda. Dipukul kamikaze? Tak salah, tapi itu bukan pasukan berani mati Jepang dari masa perang dunia kedua. Itu nama sejenis angin, yang bila diterjemahkan bisa berarti 'angin surga', atau 'angin yang diturunkan para dewa'. Tahun di penanggalan Masehi menunjukkan angka 1281, saat armada Mongol itu mundur ke negerinya dengan terkaing-kaing. Ini memperlama masa tak terjamahnya Jepang oleh pendudukan asing -- untuk enam setengah abad ke depannya, sampai kekalahannya dalam Perang Asia Pasifik 1945. "Sebagai mahasiswa sejarah perkapalan dan profesor engineering, sudah sejak lama saya ternganga-nganga oleh invasi armada Mongol terhadap Jepang itu," kata Torao Mozai yang menulis sebuah karangan dalam majalah National Geographic November tahun kemarin. Sesungguhnya ada dua serbuan yang terjadi. Pertama pada 1274, kedua pada 1281. Dan keduanya dihadang oleh badai. Serbuan 1274 lebih kecil jumlahnya ketimbang yang kedua, dan karenanya kerugian yang diderita relatif lebih kecil. Namun tak ayal keduanya memusnahkan impian Kublai Khan untuk menjadi penguasa lautan. Bencana 1281 tepatnya terjadi di Takashima, sebuah pulau di dekat Kyushu --sebelah barat tempat kelahiran Mozai-san, penulis ini. Di sanalah sekelompok penyelam, ilmuwan dan insinyur menghabiskan tigai-sim panas untuk melacak sisa-sisa armada Mongol yang tenggelam, atas perkenan Menteri Pendidikan Jepang tentu saja. "Sebegitu jauh kami berhasil menemukan sejumlah artifak dari armada itu," tulis Mozai. Mereka juga berhasil mengembangkan teknik pelacakan baru yang memberi banyak harapan bagi penemuan benda-benda tenggelam lainnya di dasar laut. *** Sejarah Jepang sempat mencatat dan memperinci dua penjarahan armada Mongol yang dilakukan atas perintah Kublai Khan, cucu Ghengis Khan itu. Pelukis ternama Jepang abad XIX, Issho Yada, pun menghabiskan sebagian dari hidupnya mengangkat adegan-adegan dramatik invasi itu ke kanvas. Pada 1268, setelah mengalahkan Cina bagian selatan dan Korea, Kublai Khan menuntut ketaklukan Jepang. Jepang mengabaikan tuntutan tersebut -- dan sang Khan pun menyiapkan serangan terhadap pulau-pulau di timur benua itu. Akhirnya, November 1274, sebuah armada yang terdiri dari 900 kapal dan 40.000 serdadu -- orang-orang Cina, Korea dan Mongol sendiri -- tiba di Teluk Hakata, Kyushu. Itu serangan pertama. Hari itu mereka berjaya. Dan malamnya beristirahat. Dan, justru malam itulah mereka dikerjai -- oleh badai, yang mengganyang armada yang sedang turun jangkar itu. Akibatnya: 200 kapal tenggelam, 13.000 awak menemui ajal. Tapi bukan Kublai Khan kalau ia mengundurkan niat. Ia kembali menyiapkan serangan berikut. Pada musim semi 1281, ia melipatkan armadanya hampir lima kali, yaitu 4.400 kapal. Jumlah pasukannya jauh lebih besar lagi, lebih dari enam kali lipat -- juga terdiri dari orang-orang Mongol, Korea dan Cina. Jumlah yang mengesankan itu boleh dicoba dibandingkan dengan kekuatan armada Spanyol yang ternama tiga abad kemudian. Cuma terdiri dari 130 kapal dan 27.500 anggota pasukan, menurut Mozai. Tapi sekarang Jepang lebih siap. Dalam masa jeda tujuh tahun, negeri ini membangun dinding di sekitar Teluk Hakata -- bangunan mengesankan setinggi 2,5 meter dan sepanjang 20 kilometer. Orang Mongol rupanya belum tahu tentang dinding itu: mereka justru mendarat di sana, dan langsung saja menyodok -- dan kepentok. Taktik tempur mereka yang terkenal lihai (pasukan komando berkuda mereka dinilai terbaik di kawasan Asia dan Eropa bagian timur saat itu) ternyata tidak jalan. Kedua pasukan lalu bertempur dalam jarak dekat, dalam kelompok-kelompok -- jadi tidak frontal lagi -- di sekitar teluk. Pihak Mongol tidak berhasil menemukan satu sisi lubang yang bisa ditembus, dan para penyerbu itu kemudian kembali ke kapal. Berlayar ke arah barat. Bergabung kembali dengan induk armada. Dan akhirnya tiba kembali di Cina, dalam waktu dua bulan lebih lama. Di sana, semua kapal dan pasukan disusun lagi. Dan menjelang akhir Juli pasukan yang sudah diasembling kembali itu berangkat menyerang Takhashima dan bersiap menyerbu pulau utama Kyushu. Tapi sementara itu, Kaisar dan para pejabat tinggi Jepang merasa perlu meminta bantuan para dewa. Upacara agama Shinto diadakan di semua kuil di seluruh negeri. Dan "sebagai jawaban, agaknya, para dewa mengirimkan badai ke kawasan Takashima pada bulan Agustus -- dengan daya pungkas yang bukan alang kepalang," tulis Mozai. Badai itulah yang dinamai orang Jepang kamikaze, angin dari surga. Perkiraan kerugian yang diderita pihak Mongol menghasilkan aneka jumlah. Tapi umumnya: 4.000 kapal berkubur di dasar laut. Pasukan yang copot nyawanya bisa mencapai 100. 000, baik yang tenggelam di laut maupun yang rebah di hadapan mata samurai Jepang di Takashima. Dan setelah itu, orang Mongol bukan lagi ancaman serius bagi Jepang. *** Tujuh abad lamanya sisa-sisa armada Kublai Khan itu tak terjamah di dasar laut Takashima. Nelayan kadang-kadang ada membawanya pulang sepotong dua -- yang tersangkut di mata jaring. Antara lain berupa barang-barang tembikar dan tanah liat, mangkuk dari batu dan pecahan-pecahan porselin. Hanya penemuan kebetulan. Tidak sistematik. "Pada 1980 saya menerima anggaran riset tiga tahunan dari Departemen Pendidikan Jepang untuk melakukan serangkaian penelitian arkeologi di bawah laut," tutur Mozai. Dengan armada Mongol di kepala, ia dan sejumlah rekannya menetapkan perairan Takashima sebagai lapangan uji coba yang ideal untuk cara-cara baru penelitian. "Salah satu problema utama eksplorasi di bawah laut adalah kesulitan melihat ke dasar," katanya. Sampai saat terakhir, benda-benda bukan metal yang terbenam sedalam satu atau dua kaki di bawah pasir atau endapan, sulit dilacak. Bahkan oleh peralatan deteksi bawah laut yang paling peka, misalnya, sidescon sonar, yang dengan gelombang suara melacak posisi kapal, dan magnetometer, pengukur yang menggunakan magnet. Akibatnya para arkeolog hanya dapat menentukan lokasi obyek dengan memilih suatu tempat di dasar -- dan mengadakan penggalian (ekskavasi) di suatu kawasan yang luas. Untuk sejumlah tahun Mozai-san telah bekerjasama dengan para arkeolog pionir bawah laut. Ia menyebut nama-nama Profesor Shinsuke Araki dari Universitas Rikkyo, Tokyo, Proesor Yoshio Oe dari Kyoto, dan Profesor pensiunan (emeritus) yang ternama, Emio Egami dari Universitas Tokyo. Mozai mengaku telah mengalami berbagai tantangan, halangan dan frustrasi, ketika melakukan ekskavasi di seluruh dasar laut, dalam usaha menemukan artifak. Ia tahu, katanya, para geolog memakai peralatan yang disebut subbottom profiler, atau sonoprobe, yang dengan menggunakan suara arus memetakan formasi karang dan sedimen di dasar laut. Kendati didisain untuk merekam tata letak karang-karang laut yang jauh lebih besar, ia ingin tahu apakah instrumen itu juga dapat digunakan untuk menetapkan lokasi obyek yang lebih kecil, seperti artifak itu. Pertanyaan itu dibawanya ke sebuah perusahaan di Tokyo, Kokusai Kogyo, Co., Ltd., spesialis eksplorasi geologi di bawah laut. Dapatkah, tanyanya, sebuah sonoprobe atau sonostrater, seperti yang disebut oleh Kokusai Kogyo digunakan untuk menetapkan lokasi obyek kecil yang terbenam di bawah lapisan dasar laut? Perusahaan itu lalu menunjukkan kepadanya salah satu model alat tersebut --yang kemudian diangkut Mozai ke perairan Takashima untuk dicoba. * * * Hasil pertama cukup memberi harapan. Tapi tidak menyakinkan, tulis peneliti Jepang itu. Dengan sonoteran, mereka lalu-lalang di kawasan tempat para nelayan menemukan artifak Cina dan Mongol sebelumnya. Ketika sonostrater meneliti suatu kawasan dengan kedalaman 30 meter di bawah permukaan, kertas rekaman hitam putihnya menggambarkan lapisan batu karang berikut sosok-sosok kecil yang boleh jadi artifak, sejenis puing yang berserakan, karang-karang tunggal, atau mungkin juga gumpalan kulit kerang yang terbenam. Kendati sonostrater memang dapat membedakan lapisan-lapisan karang besar dari benda-benda yang lebih kecil, ia hanya memberikan sedikit petunjuk tentang apakah sesungguhnya benda itu. Jelasnya sonostrater memerlukan modifikasi untuk digunakan sebagai peralatan penyelidikan arkeologi bawah laut, menurut profesor teknik itu. Kembali ke Tokyo, Mozai menemui Iso Tanaka, temannya yang wakil presiden Koden Electronics Co., Ltd. Beberapa tahun sebelumnya, Koden telah mengembangkan sebuah tipe sonar berwarna yang didisain untuk menetapkan lokasi gerombolan-gerombolan ikan, berikut jenis dan besar kecilnya. Jika alat itu dapat diadaptasikan pada sonostrater, pikirnya, mereka akan memiliki peralatan yang benarbenar hebat. "Seseorang dapat menentukan lokasi obyek yang terbenam dan sekaligus memberi sejumlah petunjuk, dari bahan apa ia dibuat, misalnya," katanya bernada girang. "Alat itu saya sebut saja colorprobe." Para insinyur Koden menggarap instrumen itu. Dan pada akhir 1980 mereka berhasil menciptakan model percobaan. Alat tersebut mampu menganalisa secara relatif kekerasan benda-benda yang terbenam (di lumpur atau pasir) dengan menggunakan berbagai variasi panjang pendek suara arus atau gelombang. Dalam banyak hal mirip dengan cara sebuah prisma mengurai cahaya ke dalam berbagai warna spektrum. Obyek-obyek yang terbuat dari benda-benda keras, seperti batu, metal, atau porselin, dicatat dalam layar color probe dengan warna merah kemilau. Benda-benda lunak seperti kayu muncul dalam warna merah jambu, sementara yang lebih lunak seperti pasir dan lumpur, tampil dalam warna kuning atau hijau terang. Sedang air laut muncul dalam warna aslinya, biru. Pada musim panas 1981 mereka kembali ke Takashima dengan color probe tadi. Rombongan terdiri dari sesekompok sukarelawan 30 orang: penyelam, ilmuwan, teknisi. Penelitian armada Mongol pun dimulai. *** Sementara para engineer mu lai menjajal color probe, para penyelam mulai pula menemukan sejumlah artifak yang terbenam tujuh abad yang lalu. Dengan peralatan tangan dan lift udara mereka menggerayang di dasar laut Takashima, dan membawa ke atas berbagai macam penemuan -- termasuk alat dan perlengkapan yang pernah dipakai orang-orang Cina dan Korea pada abad XIII. "Tidak semua penemuan kami antik," Mozai mengakui. Selama tujuh abad sejak armada Kublai Khan terlelap ke dasar laut, tak terhitung kapal-kapal Jepang dan asing yang lalu-lalang dan tenggelam di sana. Belum lagi barang yang sengaja dilemparkan oleh awak atau penumpang kapal. "Jadi temuan yang kami peroleh aneka ragam adanya. Dari ujung tombak besi yang mungkin dipakai perwira Mongol di abad XIII, sampai ke tako tsubo-penangkap gurita -- buatan masa kini." Berbagai benda-benda kuno tak syal lagi bernilai tinggi. Penyelaman sekitar dua minggu itu berhasil memunculkan sejumlah ujung tombak besi, paku besi dan tembaga, jangkar batu, periuk-periuk batu yang berat, bata-bata yang bentuknya aneh, batangan-batangan besi, porselin, pot keramik, vas, mangkuk dan piring-piring. Sebagian besar artifak keramik tidak utuh lagi, lebih banyak dalam kepingan-kepingan terpecah. Namun beberapa di antaranya masih mulus. Keadaan artifak-artifak itu menyingkap sejarah di bawah laut, menurut yang punya kisah. Umumnya, mangkuk atau ujung tombak yang sekian lama berada di bawah permukaan laut tentunya sudah karatan atau terkikis oleh perkembangan laut dan isinya. Pedang kavaleri menunjukkan contoh yang sempurna untuk itu. Benda tersebut tenggelam di tempat yang dangkal dan entah bagaimana tertancap tegak lurus, dengan ujung dan bagian mata tombaknya terbenam di pasir. Bagian yang terbenam masih dalam keadaan baik, sementara sisanya rupanya begitu beratnya terkikis, hingga hampir sukar dikenal. Dengan colorprobe masih dalam taraf percobaan, mereka melanjutkan penyelaman penyelidikan dan kembali berhasil menemukan artifak. Dan salah satu hasil temuan itu, mangkuk batu yang berat, cukup menggoda. Tiap mangkuk mempunyai takik yang berbeda pada simpainya, dan itu jelas bekas penggunaan. Lalu ahli armada itu berteori: boleh jadi mangkuk itu digunakan untuk mencampur obat bedil. "Karena catatan-catatan sejarah menyebutkan bahwa penggunaan bejana batu dimulai dari sana." Tapi barang temuan yang paling menggoda tim itu adalah bata. Ia lebih tipis ketimbang bata zaman modern. Sejumlah sejarawan percaya, orang Mongol menggunakannya untuk membangun bengkel pandai besi kecil-kecilan di kapal -- untuk membuat ladam kuda dan memperbaiki senjata, misalnya. Ahli yang lain berpendapat bahwa pasukan-pasukan Kublai Khan asal Cinalah yang membawanya ke kapal. "Mungkin untuk membangun kelenteng-kelenteng di pantai, begitu mereka mendarat dan menang." Betapa pun bata-bata itu keburu tenggelam. Selama mereka menetap di Takashima, 4.000 penduduk setempat terkagum-kagum akan hasil kerja para peneliti itu. Kebetulan mereka melakukan penelitian ketika serbuan orang Mongol itu mencapai HUT ke-700 (1281-1981), yang dirayakan penduduk setiap 50 tahun sekali dengan festival. Dalam pidato sambutannya, Mozai mengucapkan selamat kepada para warga yang telah menyumbangkan sejumlah penemuan mereka sendiri untuk suatu pameran. Ia lalu mengisyaratkan, "sudah saatnya bagi Takashima memiliki museum sendiri. Museum tentunya harus disemarakkan dengan artifak-artifak, yang kami temukan dan Anda temukan." Hari berikutnya, sejumlah artifak keramik yang bisa diangkat dari dasar laut lalu disumbangkan oleh penduduk setempat -- sebagai modal awal pendirian museum daerah. Di antara berbagai sumbangan terdapat temuan yang Mozai sendiri hampir tak percaya. Yaitu sebuah cap atau stempel kuningan yang bagus sekali, berukuran 6,5 cm persegi, dengan sebuah inskripsi tercukil di sana. "Stempel itu dihadiahkan kepadaku oleh seorang penduduk setempat bernama Kuniichi Mukae yang menemukannya tujuh tahun lalu " tutur Mozai. Diketemukan di pantai Takashima, benda itu lalu disimpan Mukae-san dalam kotak peralatan. Dan di sana terlupakan -- sampai ketika ia mendengar pidato Mozai. Minat segera bangkit. Sebab cap itu memang langka, dan inskripsinya dalam bahasa Mongol. Yang menarik, dinasti itu tidak memiliki tulisannya sendiri sampai pada 1271 -- ketika Kublai Khan memerintahkan seorang rahib Tibet, bernama Phags-pa, menciptakannya. Stempel itu tentunya milik seorang perwira, karena inskripsi itu berbunyi: "Stempel pemimpin di antara seratus dan seribu prajurit." Di bagian belakan tcrtera tanggal: "Tahun ke-14 Zhi-yum" -- dalam huruf Cina. Zhiyuan adalah nama yang diberikan untuk masa pemerintahan Kublai Khan, bertepatan dengan tahun 1277. Dari dua inskripsi itu dapat diperkirakan, si pemilik menduduki jabatan penting. Mungkin ia ambil bagian dalam serbuan pertama ke Jepang, dan tewas. * * * Ketika para peneliti menyapu dasar laut Takashima, secara bertahap mereka mencoba menggambarkan bagaimana sesungguhnya armada Mongol itu hancur-lebur. Sebagian besar kapal, mereka menyimpulkan, tentu melabuhkan sauhnya di selatan pulau. Dan dari arah itulah 'angin surga' menghantam, menurut Mozai. Akibatnya kapal-kapal bukan saja tenggelam di tempat. Tapi juga terdampar di sepanjang pantai selatan Takashima, tempat para penyelidik itu menemukan hampir semua artifak -- termasuk stempel tembaga itu. Di perairan lepas pantai Takashima sendiri, yang terbukti menyimpan banyak artifak, mereka hanya berhasil memungut sebagian kecil. Dana mereka terbatas, soalnya -- hingga benda-benda itu setelah berada di darat dikhawatirkan tidak memperoleh biaya untuk penyimpanan dan pemeliharaan. Memang, benda-benda dari batu dan keramik relatif tidak akan mengalami kerusakan berarti begitu keluar dari air. Tapi yang dari kayu atau metal, dengan cepat mengeropos begitu kena udara. "Lebih aman bila mereka tersimpan saja di dasar laut sana," tulis Mozai. "Di sana mereka telah survive selama berabad-abad." Setelah tiga minggu eksplorasi, operasi dihentikan. Mereka kembali ke Tokyo, untuk melakukan percobaan lain dengan color probe. Sebab mereka harus menemukan lebih banyak sisa kapal yang hilang pada 1281, sementara belum seorang pun berhasil menetapkan lokasi lebih dari 200 kapal yang tenggelam dalam invasi 1274. Tiga pulau kecil terletak antara Kyushu dan Korea -- Tsushima, Iki, dan Hirado Jima -- di lintasan yang harus dilalui armada Kublai Khan itu, atau malah mungkin tempat mereka melego jangkar? "Perairan itu belum lagi sempat diubek." Mozai kembali menyampaikan puja-puji terhadap colorprobe, meski "memerlukan perbaikan." Ia percaya, suatu saat alat itu akan mampu melacak tidak hanya letak benda di bawah lumpur laut, tapi juga bentuk, dan dari bahan apa dibuat. Aplikasi untuk alat bantu itu tidak terbatas tidak hanya untuk keperluan penyelidikan arkeologi bawah air, tapi juga untuk kepentingan ilmu kelautan lain. Dan, "peneliian terhadap armada Kublai Khan baru saja sebuah permulaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus