KOTA Ambon semakin mirip sumur tanpa dasar. Senin pekan lalu, korban jiwa jatuh lagi karena pertikaian antarwarga. Kali ini 30 orang tewas di empat tempat, yaitu kawasan Ahuru, Pohonmangga, Tawiri, dan Batumerah. Hampir semua korban tewas karena peluru tajam. Bahkan, di Batumerah, ikut melayang nyawanya Letnan Dua CZI Ricky Kulalabali dari Detasemen Zeni Tempur Siliwangi dan Prajurit Dua Moch. Ali Lestaluhu dari kesatuan lintas udara Batalyon Infanteri 733/BS.
Sejumlah saksi mata memberikan kesaksian mengenai peristiwa tragis itu kepada TEMPO. Awal kejadian di Batumerah bermula dari tertembaknya warga yang akan berangkat ke rumah ibadah oleh aparat yang diduga dari kesatuan Artileri Medan 11 Kostrad. Kulalabali, yang datang ke lokasi, tanpa diduga ikut jadi sasaran pelor panas. Insiden ini sontak menyulut api dalam sekam. Ratusan warga kembali ke luar gang dengan membawa senjata tajam. Mereka siap bertempur melawan musuh.
Meski banyak saksi mata yakin bahwa si penembak adalah aparat, Panglima Daerah Militer (Pangdam) XVI Pattimura Brigjen Max Tamaela masih menyangsikannya. "Itu penembakan misterius," ujar Tamaela. Sementara itu, Ketua Tim Tiga TNI-Polri, Mayjen Suaidi Marasabessy, menilai bahwa kerusuhan yang masih gres ini ada kaitannya dengan konspirasi politik di Jakarta yang tidak setuju dengan penunjukan dirinya ke Ambon. Penjelasan semacam ini tentu jauh dari memuaskan warga. Mereka ingin agar petinggi militer menindak tegas aparatnya yang melanggar hukum.
Benar-tidaknya tuduhan warga memang perlu pembuktian lebih lanjut. Namun, yang pasti, posisi Tamaela sebagai Pangdam dan Kolonel Bugis Saman sebagai Kepala Kepolisian Daerah Maluku terancam. Menurut sumber TEMPO, pencopotan dua orang yang dinilai gagal meredam gejolak di kawasan berjulukan Seribu Pulau itu akan merupakan satu paket setelah Sidang Umum MPR selesai. Sampai kapan upaya tambal sulam ini mampu menghapus dendam kesukuan dan agama yang begitu kental di sana?
Mayer Tewas Menyusul Yun Hap dan Rizal |
SATU lagi mahasiswa roboh akibat demo menentang militerisme. Di Palembang, Mayer Ardiansyah, mahasiswa semester ketiga Fakultas Teknik Universitas Ida Bayumi, harus tewas mengenaskan setelah ikut dalam aksi yang bertepatan dengan hari ulang tahun TNI pada 5 Oktober lalu. Pemuda berusia 19 tahun ini ditemukan dengan luka memar di sekujur tubuhnya. Perut dan pinggulnya sobek karena senjata tajam.
Aksi demo dilakukan di depan Markas Komando Daerah Militer Sriwijaya. Selain menggelar orasi dan membeber poster, para mahasiswa juga membakar ban bekas. Mereka menuntut pencabutan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya—sudah diketuk DPR "lama", tapi ditunda pelaksanaannya oleh pemerintahan Habibie—dan dwifungsi TNI. Rupanya, tindakan ini membuat kuping aparat militer nyeri. Beberapa orang berpakaian loreng langsung muncul dan melakukan pengusiran.
Tindakan aparat itu didukung oleh sekelompok massa berpakaian hitam yang bersenjata tajam. Tak lama kemudian, bentrokan fisik pecah. Dalam keributan inilah Mayer menderita luka parah yang tak tertolong. Korban lain adalah Jaul dan Koko—keduanya mahasiswa Universitas Sriwijaya—yang menderita luka memar. Kejadian ini menambah jatuhnya korban jiwa mahasiswa, setelah peristiwa serupa dialami Yun Hap di Jakarta dan Yusuf Rizal di Lampung.
Pangdam II Sriwijaya Mayjen Affandi hari itu kontan mengeluarkan pernyataan yang menyangkal keterlibatan aparatnya dalam kejadian itu. Namun, menurut Ketua L BH Palembang, Suharyono, pernyataan Mayjen Affandi itu arogan karena tidak disertai pencarian data di lapangan. Suharyono yakin pelaku penusukan terhadap Mayer adalah aparat. "Saya punya bukti, tapi saya pesimistis kasus ini bisa diungkap," ujarnya.
Rusuh di Timika Disulut Pendatang |
BARA permusuhan tampaknya tidak mudah padam di Irianjaya. Kali ini api itu muncul dari Timika, kota yang memiliki industri tambang emas terkenal di dunia: Freeport.
Ceritanya berawal 30 September lalu. Seorang pemuda asal suku Kamoro yang sehari-hari berdagang di Pasar Timika terlibat adu mulut dengan pedagang lain dari suku Bugis. Jupinus Pogolamun, demikian nama pemuda Kamoro itu, merasa lokasi dagangnya kalah strategis dengan milik si Bugis. "Kenapa kamorang Bugis dapat tempat begini bagus? Kitorang masyarakat asli cuma bisa dagang di atas lumpur," Jupinus menghardik. Mendengar bentakan itu, si Bugis balas membentak, "Kamu orang Papua kan mau merdeka. Jadi, silakan cari tempat lain."
Pertengkaran memuncak. Jupinus tersinggung karena soal "kemerdekaan" dibawa-bawa. "Papua Merdeka bukan barang mainanmu," katanya. Si Bugis semakin meradang dan sebilah pisau menusuk Jupinus. Masyarakat di sekitar pasar membawa Jupinus yang berdarah ke Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa). Dalam sekejap, peristiwa penusukan itu tersebar ke segenap Timika.
Maka, berduyun-duyunlah penduduk asli Timika menyatroni pasar. Dengan menghunus golok, pedang, dan panah, mereka mencari pedagang asal BBM—Bugis, Buton, dan Makassar—dan membakar pasar.
Massa juga menyerang aparat keamanan. Dua aparat tertusuk panah. Korban dari suku Bugis berjumlah enam orang, yang saat ini dalam kondisi kritis. Sementara itu, dari penduduk asli, dua tewas, masing-masing Agapitus Tabuni dan Johan Hamadi. Sedangkan empat korban lainnya dirawat di rumah sakit, termasuk Jupinus.
Akibat bentrok berdarah itu, Timika menjadi kota mati. Panser dan aparat memenuhi penjuru kota. Tak seorang pun penduduk berani ke luar rumah. Keadaan itu menyebabkan produksi PT Freeport Indonesia ikut tersendat.
Ketua Lemasa, Thom Beanal—berada di Jayapura ketika kerusuhan meletus—segera terbang ke Timika. Ia berhasil mengatasi keadaan. Pertemuan massal yang diadakan di Gedung Serbaguna Timika Indah untuk membahas masalah ini tidak berhasil mengeluarkan kesepakatan, kecuali kecaman keras kepada para pendatang.
Rusuh memang telah mereda. Tapi ancaman pecah perang baru tidak pernah berhenti. n
Demo menentang kekerasan militer. Punya bukti, tapi pesimis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini