Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Deflasi dan Ketidakpastian Ekonomi-Politik

Deflasi sebaiknya jangan ditafsirkan sebagai sinyal yang positif. Deflasi yang terus-menerus justru perlu diwaspadai.

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana menjelaskan angka deflasi yang selama enam bulan terakhir menghiasi laporan Badan Pusat Statistik (BPS)? Di situ tercantum: laju deflasi September 0,68 persen, Agustus 0,93 persen. Kepala BPS Sugito Suwito berpendapat, deflasi terjadi karena harga barang pokok umumnya menurun. Tapi dunia usaha condong melihat bahwa penyebab deflasi adalah permintaan yang menurun. Artinya? Daya beli melemah. Para pengamat lain lagi. Mereka memperkirakan, mayoritas konsumen cenderung menyimpan uang karena faktor ketidakpastian (ekonomi dan politik) yang sedemikian besar. Konsumen lebih suka lihat dan tunggu, wait and see. Kebiasaan berbelanja dilupakan, padahal mereka tak serasional orang-orang Jepang yang gila menabung, baik kala senang maupun susah. Sikap wait and see pendeknya telah mewarnai perilaku konsumen, dan gejala ini erat terkait dengan langkanya uang dan lemahnya nilai rupiah. Namun, ketika rupiah menguat, kecenderungan itu terus bertahan. Dan ini lagi-lagi terkait dengan keterbatasan dana—pengangguran bertambah, sektor riil belum menggeliat—yang lalu dipompa oleh faktor ketidakpastian. Ketidakpastian itu semula melonjak karena isu huru-hara menjelang pemilu. Setelah pemilu sukses, muncul berbagai ketidakpastian baru seperti jajak pendapat di Timor Timur, skandal Baligate, terpuruknya citra Indonesia di mata internasional, serta dihentikannya pencairan pinjaman oleh IMF dan Bank Dunia. Carut-marut di kalangan elite politik menjelang Sidang Umum MPR telah melonjakkan ketidakpastian itu ke tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat konsumen pun kian ketat berhemat, sedangkan dunia usaha semakin mampat. Seting perekonomian mikro seperti itu tentu jauh dari prospek yang menggembirakan. Anehnya, cerdik-cendekia yang berkiprah di sekitar Presiden B.J.Habibie mengklaim rekor laju inflasi yang rendah (periode Januari-September 1999 hanya 0,02 persen, terendah selama 15 tahun terakhir) sebagai prestasi yang pantas dibanggakan. Tak diperhitungkan bahwa dalam periode yang sama juga terjadi deflasi yang persentasenya meninggi dan karena itu semakin mengkhawatirkan. Soalnya, deflasi tidak semata-mata bisa dilihat sebagai inflasi yang negatif, karena dalam konteks perekonomian kini, deflasi menunjukkan lemahnya permintaan, karena lemahnya daya beli. Sementara itu, pemulihan ekonomi sudah seperti kehilangan momentum. Mengapa? Suku bunga turun, tapi kredit belum juga mengucur karena sektor perbankan belum melakukannya, antara lain gara-gara Baligate. Ditambah restrukturisasi usaha yang juga tersendat, sektor riil pun mandek. Laju pertumbuhan 1999 yang diperkirakan IMF 1,5-2,5 persen sekarang dikoreksi oleh Bank Indonesia menjadi -0,8 hingga 0 persen. Indikator makro yang tampak menjanjikan—karena harga-harga turun (terutama pangan), suku bunga turun (sekitar 13 persen), kurs rupiah menguat (sementara), cadangan devisa naik ke US$ 16 miliar, dan deflasi 0,68 persen—tidak seirama dengan indikator mikro yang mengenaskan. Tanpa bermaksud menakuti-nakuti, harus ditegaskan di sini bahwa pemulihan ekonomi tetap merupakan tanda tanya besar, rekapitalisasi tak jelas arahnya, dan ketidakpastian politik kian sukar diperhitungkan. Pencalonan Habibie sebagai presiden bahkan berpeluang melonjakkan ketidakpastian—soalnya pasar tak bersahabat dengan Habibie. Dianggap mewakili kelompok status quo, kehadiran Habibie di panggung politik akan berarti minus besar bagi pemulihan ekonomi. Jadi, sangat gegabah kalau deflasi ditafsirkan sebagai sinyal membaiknya ekonomi. Deflasi dalam hal ini menandakan turunnya aktivitas ekonomi, dan deflasi yang terus-menerus sebaiknya dilihat dengan mata nyalang karena ia mengisyaratkan ketersendatan sektor riil yang kini benar-benar mengancam perekonomian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus