Bangunan tembok bercat kusam itu tidak memancarkan gambaran sebuah kelas SD. Sebagian dindingnya terdiri dari anyaman kawat jaring, lantainya kotor dan meruapkan bau yang mengundang denging lalat-lalat besar yang beterbangan. Asap putih yang membuat mata pedih tak menghalangi tingka laku anak-anak yang "berseragam" serampangan itu—putih-merah, pramuka, bersepatu, tak bersepatu—untuk berlarian, naik ke atas meja, dan mengacak-acak buku di perpustakaan. Sedangkan sang ibu guru, yang duduk di depan kelas, tetap mengajar dengan sabar, tanpa menegur anak didiknya yang semrawut itu.
Harap maklum, itu adalah suasana Sekolah Dasar Bantargebang, sekolah khusus untuk anak-anak yang tinggal dan bekerja di area penimbunan sampah seluas 100 hektare di Bekasi, Jawa Barat. Bantargebang, sebagai satu-satunya tempat pembuangan sampah terakhir untuk kawasan Jakarta dan Bekasi sejak 10 tahun silam, telah menjelma menjadi "pulau sampah" yang kelabakan dengan overload sampahnya. Setiap hari ada sekitar 22 ribu meter kubik sampah yang tumpah-ruah. Padahal, kapasitas pengolahannya hanya 14 ribu meter kubik (Tempo, 19 September 1999).
Di antara reriungan sampah dan asap itulah 185 murid Bantargebang menerima pendidikan. Sekolah yang dimulai dari kelas I hingga V itu—mereka memang belum memiliki kelas VI--seolah memiliki kebebasan. Ia dibangun secara khusus dengan dukungan dana dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk memberi pendidikan baca, tulis, dan berhitung bagi sekitar 200 buruh anak di Bantargebang di usia sekolah (7-15 tahun) sejak 1993. Sedangkan yang mengelola pendidikan anak di Bantargebang itu, antara lain dengan menyediakan guru, adalah Yayasan Dinamika Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang duduk sebagai mitra kerja ILO.
Menurut Panji Putranto, Koordinator Program Nasional untuk Buruh Anak ILO, mereka memang tidak menekankan formalitas saat membangun pendidikan di Bantargebang. Untuk anak-anak yang masih harus bekerja membantu orang tuanya, akan mustahil jika diwajibkan masuk sekolah setiap hari dari pagi hingga siang. "Apalagi para orang tua tak melihat pentingnya sekolah," kata Panji, yang sudah delapan tahun menggeluti soal buruh anak di Indonesia.
Dengan konsep seperti ini, para pengelola pendidikan Bantargebang harus memahami kondisi yang sangat tak biasa ini. Menurut Achmad Marzuki dari Yayasan Dinamika Indonesia, yang sudah lima tahun berkubang di Bantargebang, mereka membutuhkan intervensi pihak luar seperti ILO dan LSM untuk menghidupkan sekolahitu
Jika masyarakat di kota sampah itu tak sadar pendidikan, mereka harus diyakinkan pentingnya sekolah. Pada awal penerapan sekolah itu, misalnya, pihak yayasan bersedia membayar para orang tua yang merelakan anak-anaknya ikut sekolah. Ini dimaksudkan untuk mengganti pendapatan yang hilang. Selain itu, pihak guru harus telaten mengunjungi anak-anak yang bolos sekolah, membujuk mereka agar tetap bersekolah. Dengan demikian, para orang tua maupun anak-anak Bantargebang tak punya alasan untuk menolak sekolah.
Dengan kesulitan sosial dan kultural seperti ini, toh Umi, salah seorang guru yang sudah mengabdi selama empat tahun di "pulau sampah" itu, menyatakan jatuh hati mengajar di tempat itu. "Walaupun pertama kali datang saya nggak mau makan dan minum," tutur lulusan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. Umi menyadari bahwa anak-anak didiknya adalah jenis yang susah diatur. "Tapi mereka juga pemberani," tambah Umi. Bagi Umi—Bantargebang adalah penempatan pertamanya—dengan mengajar di sekolah "pulau sampah", dia mendapat pengalaman yang unik.
Salah satu keunikan di Bantargebang adalah bagaimana mereka memperlakukan "barang-barang bagus" seperti seragam sekolah, sepatu, dan tas yang diberikan secara gratis oleh yayasan. Mereka tidak mengenakan perangkat sekolah itu dan malah menyimpannya di "lemari" kardus. "Sayang memakainya, dipakai nanti di kampung saja," demikian ungkap salah satu murid Bantargebang. Lalu, apa yang mereka kenakan ke sekolah? Isi sampah. Mereka mengenakan baju, jas, dan sepatu yang ditemukan di tempat sampah ke sekolah.
Persoalan lain adalah higienis. Anak-anak pemulung Bantargebang rata-rata menderita cacingan, diare, dan hampir semua menyandang sakit pernapasan. Bahkan ada beberapa anak sekolah yang terkena penyakit paru-paru. Ini semua akibat kehidupan sehari-hari yang diisi dengan mengais, mengaduk-aduk, dan berlari-lari di belakang truk sampah yang akan membongkar muatannya, sembari menghirup gas kotor menyengat dan asap metan dari timbunan sampah. Sekolah? Itu cuma "selingan budaya". Realita adalah mencari napas di antara tumpukan sampah, meski itu akan menggerogoti paru-paru.
Maka, jalan lain yang lebih ringkas untuk kecenderungan ini adalah dengan mengajarkan keterampilan, seperti pertukangan dan bengkel, kepada anak-anak itu.
"Syarat (ikut kursus keterampilan) adalah harus lulus dari SD Bantargebang," kata Panji. Untuk itulah, pihak ILO berusaha mendapat dana untuk fasilitas pendidikan tambahan. "Pendidikan untuk kaum marginal memang seharusnya lebih mahal daripada (pendidikan) yang biasa," tambah Panji. Tak aneh, jika tempat pembuangan sampah Bantargebang ditutup Desember 2001 nanti, sekolah itu tidak akan ditutup. "Anak-anak itu tetap butuh pendidikan," kata Panji.
Ngomong-ngomong, apa keterlibatan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan? Soal dana, memang pemerintah angkat tangan. Menurut Endro Sumarjo, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga, anggaran yang diberikan Bappenas sangat kecil. Untuk SD negeri, dana yang dikucurkan hanya Rp 300 ribu per orang setahunnya, sedangkan untuk anak-anak jalanan—termasuk anak yang di Bantargebang—malah hanya Rp 60 ribu per kepala per tahun. Meskipun Endro sadar bahwa subsidi untuk anak-anak jalanan seharusnya lebih besar daripada anak-anak sekolah biasa, dia tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya, kami cuma bisa mendukung upaya yang dilakukan ILO," kata Endro.
Masalah pendidikan anak-anak di Bantargebang memang harus ditempatkan pada konteks hak mendapat pengetahuan bagi anak-anak pinggiran pada umumnya, seperti buruh anak, anak jalanan, dan pekerja seks anak. Untuk proyek besar ini, yang dibutuhkan bukan hanya biaya dan program yang jelas untuk mendidik mereka, tapi juga keikhlasan hati.
Mendiang Ibu Teresa, perempuan suci pengabdi orang-orang miskin, pada pengujung tahun 1940-an pernah mengungkit nurani penduduk berpunya dengan cara sederhana. Ketika dia singgah di Mojtihil, kota kecil nan miskin di India, dia melihat bagaimana anak-anak miskin—kebanyakan tak berayah—di kota itu butuh pendidikan. Perempuan bersari itu mulai menuliskan huruf-huruf Bengali di atas tanah. Lalu, anak-anak mulai mengerumuni dan memperhatikan. Segera saja ada warga yang mulai menyumbang bangku dan papan tulis bekas. Dalam beberapa hari, pelataran kotor itu sudah menjelma menjadi sebuah sekolah.
Bina Bektiati, Agus Hidayat, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini