KAUM buruh punya hak membentuk "organisasi sendiri yang merdeka", kata Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke Gdansk, minggu kedua Juni lalu. Maka, 10.000 anggota Solidaritas (Solidamosc), bersorak dan siap berbaris. Bentrok dengan polisi Polandia pun tak terelakkan. Sejumlah orang luka, sejumlah pimpinan buruh ditahan. Paus seperti menggarisbawahi bahwa tanpa organisasi yang merdeka, kaum buruh hanya akan menjadi alat - di Polandia - Partai, tak bisa menentukan nasib sendiri. Dan salah seorang terpenting yang menyebabkan lahirnya organisasi buruh merdeka itu bemama Lech Walesa. Seorang Eropa yang tergolong bertubuh kecil, tapi punya kumis lebat. Orang yang merasa "dikirimkan Tuhan untuk membuat sesuatu yang besar". Dan pemimpin buruh ini kemudian memang diakui dunia: ia terpilih sebagai man of the year majalah Time pada 1981, pemenang Nobel Perdamaian pada 1983. Sebagai pemimpin buruh Walesa memang terjun dengan tuntas. Ia sempat menganggur empat tahun, karena dipecat dari tempat kerjanya karena kegiatannya. Istrinya, Danuta, yang dinikahi pada 1969, setia mendampinginya selalu, memahami cita-cita suaminya. Mereka dikarunia delapan anak. Adalah "revolusi untuk roti", pemogokan buruh pada 1970 memprotes kenaikan harga-harga, ketika sejumlah teman Walesa terbunuh, ketika itulah namanya mulai muncul. Ia sendiri mengaku, sampai sekarang ia banyak belajar dari "revolusi untuk roti". Bagaimana ia bergerak, bagaimana pada usia 27 tahun ketika itu Walesa menghadapi milisia yang garang, berunding dengan direktur pabrik, ia ceritakan dengan menarik dalam buku otobiografinya yang baru terbit. Berikut cuplikannya. PEMOGOKAN NATAL semakin dekat. Harga barang-barang kebutuhan pokok naik. Semua orang merasakan akibatnya. Terutama anak-anak muda yang bergaji pas-pasan. Untuk pertama kalinya semua orang mempunyai pendapat yang sama: melakukan protes dan pemogokan. Sabtu, 12 Desember 1970, para penanggung jawab Partai muncul di sejumlah tempat, memberikan penjelasan mengenai kenaikan harga. Seorang wanita tanpa takut-takut berdiri. Lalu katanya, bahkan dalam zaman Hitler pun keadaan tidak sesulit ini. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana mencari tambahan penghasilan. Ia bekerja sebagai operator mesin dengan gaji tetap 1.850 zlotys per bulan dan menanggung tiga anak. Para penanggung jawab Partai seolah tak mendengar keluhan ini. Mereka malah melantur mengomentari masalah lain. "Anak-anak," katanya, " kalian akan kami beri pekerjaan lebih banyak lagi." "Anak-anak" yang dimaksud ialah para pekerja yang digaji per jam. Mereka tidak terlalu merasakan akibat kenaikan harga karena semakin banyak pekerjaan, semakin besar pendapatan mereka. Wanita tersebut masih berdiri mematung. Ia menangis. Saya sendiri kemudian pulang ke rumah. Di tempat lain, para penanggung jawab Partai juga mengadakan pertemuan yang sama singkatnya. Senin, 14 Desember, pemogokan di pabrik pindah ke bengkel mekanik dan lambung kapal. Para buruh yang bekerja di sana pernah magang di Zulzer, Swiss, dan Baumesitr, Denmark. Mereka tulang punggung pabrik. Mereka buruh elite yang sangat kompak. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, mereka membentuk kelompok yang sangat terorganisasi. Di dapur-dapur, para operator mesin ini, selama makan siang, bekerja sebagai pengantar kopi di bengkel-bengkel. Dengan begitu, mereka bisa menyampaikan perintah pemogokan. Sehabis istirahat siang, para pekerja pabrik berkumpul di depan kantor direksi. Diskusi melalui jendela dengan sang direktur berlangsung 11/2 jam. Mula-mula pembicaraan hanya bisa ditangkap oleh mereka yang berdiri di tiga barisan depan, karena tak ada pengeras suara. Begitu pengeras suara dipasang, massa yang memenuhi lapangan pun berebut mengajukan pertanyaan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana jalan keluamya?" Merekapun mengutarakan keinginannya untuk bertemu dengan salah seorang-wakil penguasa regional. Tapi sang direktur tak juga beranjak dari tempatnya. Akhirnya, massa pergi ke kantor Komite Regional Partai sambil bernyanyi. " Kami butuh roti, " massa mulai berteriak. Mereka kemudian menuntut pengunduran diri para penanggung jawab kebijaksanaan ekonomi, di samping menuntut penggantian sindikat. Tak lama kemudian, Komite Regional mendatangkan sebuah mobil yang dilengkapi dengan pengeras suara. Sambil menyikut dan mendesak para demonstran yang mengerubunginya, pembantu sekretaris Partai masuk ke dalam mobil. Ia minta agar tribun dibebaskan. Namun, para buruh membawa mobil itu ke pabrik, dan sempat berhenti di depan Sekolah Teknik Tinggi. Para buruh mengajak mahasiswa ikut mogok. Maka, insiden dengan pasukan milisia pun tak terhindarkan. Sejumlah buruh luka-luka, dan ada yang ditangkap. KORBAN PERTAMA SENIN itu, saya tidak masuk ke pabrik. Saya menghabiskan waktu belajar mengendali kan kereta kuda, hadiah untuk putra kami pertama, Bogdan. Selasa, saya baru masuk kerja. Melalui para mandor, kepala bengkel kami mengemukakan keinginannya untuk mengembalikan kami ke pos masing-masing. Lesniewski, kepala bengkel kami, misalnya, tetap akan mengirim para pekerja ke kapal-kapal. Namun, akhirnya ia berubah pendirian. Dengan nada tinggi, katanya, "Kalau memang yang ingin kalian lakukan berdasarkan kehendak rakyat . . . lakukanlah!" Ia masuk ke dalam kantor sambil membanting pintu. Kami kemudian bergabung, dan bersama-sama berangkat ke kantor direksi. Jumlah kami sekitar 4.000 orang, mungkin lebih. Tiba di tempat tujuan, Zaczek, direktur pabrik, membuka jendela kantornya. "Selamat pagi ... senang sekali bertemu dengan kalian untuk pertama kalinya," sapa Zaczek yang disambut dengan sorak-sorai penuh cemooh. Di luar, udara dingin sekali. Salju mulai turun. Benar-benar membekukan. Massa menuntut agar mereka yang kemarin ditangkap oleh pasukan milisia di Komite Regional Partai dibebaskan (menurut desas-desus, ada di antara mereka yang memang tidak pulang). Jerzy Pienkowski, sekretaris pertama Biro Partai untuk pabrik, rupanya merencanakan sesuatu: menyusupkan sejumlah anggota Partai ke dalam tubuh kaum buruh. Seperti laiknya kaum buruh, mereka juga mengenakan seragam yang sama. Tapi sebenarnya mereka mudah sekali dibedakan karena seragam mereka semuanya baru. Sedangkan seragam para buruh kotordan penuh noda. Akhirnya kami memutuskan untuk segera menemui direktur. Mula-mula kami hanya bisa berkomunikasi lewat jendela. Akhirnya saya bisa juga masuk ke dalam kantor. Saya menuntut pembebasan para buruh yang kemarin ditangkap, dan pengembalian harga barang-barang kebutuhan pokok seperti semula. Direktur menyatakan tidak sanggup, baik menurunkan harga maupun membebaskan para buruh yang ditahan. Di kantor sang direktur ada pengeras suara yang tetap saya kuasai untuk memudahkan komunikasi dengan massa di bawah. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya saya kepada massa. Mereka menjawab, "Kita maju terus!" Dan massa pun mula berteriak-tenak untuk maju. Dan mereka memang benar-benar maju, sementara saya masih terkurung di dalam kantor. Kalau tidak salah, kami berdelapan. Saya ingin sekali cepat-cepat keluar. Tapi sang direktur dengan tangkas memblokir pintu dengan kakinya. "Saya lihat, mereka lebih patuh kepada Anda daripada saya. Kami akan mengatur semuanya. Kami akan memberi Anda uang . . . tapi coba hentikan langkah mereka. Bahkan kalau mereka mencoba turun ke jalan ... cobalah Anda menahannya ...." "Berikan dulu uang itu kepada mereka yang ada di luar, sisanya baru berikan kepada saya dan rekan saya yang ada di sini," jawab saya. "Kami bisa memberikan sesuatu kepada Anda, tapi bukan dengan yang di bawah sana . . .," awab mereka. Saya membuka pintu dengan paksa. Saya buru-buru keluar. Di pintu masuk kedua, saya berpapasan dengan dua orang demonstran yang mencoba masuk ke dalam pabrik. Saya terus lari berusaha mencapai massa. Dan saya berhasil. Saya kemudian menerobos kerumunan sampai ke belakang. Di belakang pabrik, terdapat sebuah garasi bis antarkota. Saya berusaha mencapai garasi itu. Baru lima meter melangkah saya melihat gelombang pasukan milisia. Mereka, sekitar 30 orang, maju sambil mengayunkan pentungan, sementara saya tidak punya apa-apa. Dada saya terasa sakit sekali. Tak mungkin lagi untuk mundur. Juga tak mungkin lagi untuk bersalaman dengan mereka.' Saya menarik napas dalam-dalam. Saya merasakan massa udara mengembus punggung. Itulah suara cemooh yang ditiupkan berbarengan oleh massa. Dan 2-3 menit kemudian, pasukan milisia tersapu cerai-berai. Kami maju terus, menuju kantor Komite Regional Partai. Sampai di tujuan, kantor komite sudah tutup. Saya mengintip melalui jendela. Sejumlah tentara ada di dalam, lengkap dengan senapan mitralyur, berdiri bagaikan mumi. Tak seorang pun di sini yang bisa kami ajak negosiasi. Kemudian kami membagi massa menjadi dua kelompok. Satu menuju komisariat polisi di Jalan Swierczewskiego. Yang kedua bergerak ke lapangan yang dijaga oleh sekitar 40 pasukan milisia. Mereka memang memasang tampang yang garang. Tapi, setelah saya perhatikan, sebenarnya mereka ragu menghadapi kami. Agaknya, mereka lebih cenderung mundur. Saya pun keluar dari kerumunan. "Tuan-tuan, sebentar lagi akan terjadi kerusuhan di depan pabrik. Tadi, rekan Anda sudah kocar-kacir. Sekarang, lebih baik Anda mundur. Bila Anda tidak mengizinkan kami lewat, Anda akan mendapat giliran." Perlahan-lahan mereka menarik diri. Kelompok pertama agaknya mengambil jalan pintas. Mereka sudah sampai lebih dahulu di ujung jembatan kereta api. Langkah mereka tertahan pasukan milisia. Saya berlari ke hadapan pasukan milisia. Saya anjurkan mereka agar menyingkir. Sampai di depan pabrik, jumlah milisia semakin banyak. Bagaimana baiknya? Sambil terus berjalan, saya berkata kepada mereka, "Biarkan kami lewat dengan damai. Kami hanya ingin mencari para buruh yang ditahan. Kami ingin membebaskannya tanpa kekerasan." Rupanya, mereka mendengarkan juga kata-kata saya. Tanpa terasa, saya sudah berada di depan kantor komisaris polisi. Saya bertanya siapa yang berkuasa di sini. Mereka bilang, kantor sang komisaris berada di lantai III. Di dalam kantor komisaris, hadir banyak orang. Di meja tergeletak sebuah walkie-talkie. Saya mengemukakan keinginan kami, yaitu membebaskan para buruh yang ditahan. "Bila mereka dibebaskan juga akan berjalan lancar. Kami ke sini bukan untuk mencari kerusuhan," kata saya. Sementara itu, massa sudah berkumpul di depan kantor komisariat. Mereka mulai melempari kaca-kaca jendela dengan batu. Seorang petugas di sana kemudian memberi saya pengeras suara. Saya menuju ke jendela. Saya copot topi kerja saya. Saya perlihatkan kartu tanda pengenal saya kepada massa. Dengan begitu, saya berharap mereka mengenali saya. Kemudian saya berteriak, "Hentikan!" Mata saya pun kemudian menyapu satu per satu wajah mereka yang berdiri di barisan terdepan. Banyak di antara mereka teman saya, yang saya yakin juga mengenali saya. Kepada massa yang sudah mulai tenang saya katakan bahwa pasukan milisia setuju untuk membebaskan para buruh. Tapi lantaran saya tidak mengenali mereka satu per satu, saya minta salah seorang di antara massa membantu saya mengenalinya. Tapi segala sesuatunya terjadi cepat sekali. Bagaikan kilat menyambar, kerusuhan meledak. Ribuan batu melayang ke arah jendela. Pasukan milisia yang berada di dalam tampak kaget. Beberapa di antara mereka luka-luka. Darah pun mulai mengalir. Saya berada di puncak bangunan, tidak tersentuh batu. Tapi saya menyadari, saya sudah kalah. Satu-satunya jalan dengan tebusan apa pun -- saya harus kabur tiba tiba napas saya tercekik, lantaran granat lacrymogene yang di lemparkan milisia ke tengah-tengah massa dengan cepat dilempar balik, meledak di tembok kantor komisariat. Saya mendengar massa berteriak-teriak menuduh saya pengkhianat, mata-mata polisi, intel. Mereka bilang, mereka ke sini untuk mencari perdamaian, tapi pasukan milisia-lah yang bikin kerusuhan. Mereka terus melempar balik bombom asap yang dilemparkan milisia dari jendela. Ruangan komisaris semakin pengap. Asap di mana-mana. Lewat jendela yang kacanya pecah saya meninggalkan gedung komisariat. Dari kejauhan, saya lihat pasukan milisia semakin ganas. Mereka bergerak dari komisariat ke balai kota, sambil menghunus senapan mengancam seorang buruh muda pabrik yang mencoba memasang rintangan di jalan. Dor - dan buruh muda itu terkapar, mati. Korban pertama, dan ini bukan yang terakhir. POLANDIA MENEMBAK DENGAN sisa tenaga yang masih ada, saya pulang. Dalam perjalanan, saya setop sebuah truk, saya minta diturunkan di dekat rumah. Tubuh saya lemah sekali bagaikan selembar daun. "Saya baru saja diancam dengan revolver," saya berbohong. Sopir bertanya, apakah saya juga punya senjata. Saya bilang tidak, kemudian saya duduk sambil bersimpuh pada lutut. Agaknya, ia tidak begitu percaya pada saya. Dengan agak gemetar, ia mengantarkan saya sampai di depan rumah. Sementara itu, konfrontasi dengan pasukan milisia di Gdansk terus berlanjut. Pada siang hari dua tank masuk ke dalam pabrik, setelah terlebih dahulu meremukkan seorang pria di depan stasiun Gdansk. Tank-tank ini dilumpuhkan oleh anak-anak pabrik dengan cara menempelkan lempung pada kaca pengamatnya, sehingga pengemudinya tidak bisa melihat apa-apa lagi, dan terpaksa keluar untuk kemudian dilumpuhkan juga. Tank ini kemudian ditaruh di depan pintu masuk kedua pabrik. Banyak akal anak-anak pabrik untuk melumpuhkan Gajah Besi ini. Di tengah kota, tong-tong sampah diikat dengan kawat baja, digelindingkan dengan cepat ke arah roda-roda gigi tank. Begitu bersentuhan tong tersebut diangkat, sehingga tanknya terjengkang. Anak-anak pabrik ini memang terlatih sekali, mereka pernah ikut wajib militer. Mereka juga mahir mengemudikan tank. Saya turun ke jalan ke sebuah restoran. Di sisi lain jembatan, sebuah toko makanan pintunya terbuka, di dalam banyak orang. Rupanya, toko tersebut sedang dijarah. Sebagian dari mereka tampak sedang menenggak minuman keras. Ini sangat berbahaya. Bila mereka mabuk, yang bisa terjadi hanyalah kekerasan. Saya segera balik ke jalan Swierczewskiego, menuju komisariat, dan bertemu dengan komandan. Saya menceritakan yang terjadi. "Kami lagi banyak kerjaan," jawabnya sambil memperlihatkan pada saya sejumlah kotak amunisi untuk dibagi-bagikan. Kotak-kotak karton itu berisi sekitar 20 butir peluru. "Apa yang sedang kalian rencanakan? Polandia mau menembak Polandia?" "Habis, harus bagaimana?" MENJADI KETUA BEGITU saya balik ke bengkel, temanteman memilih saya sebagai wakilnya. Bersama teman dari bengkel lain, kami bertemu di kantor direksi untuk membentuk Komite Pemogokan. Akhirnya, saya terpilih sebagai ketua. Saya menerimanya. Saya ingin berdiri untuk mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang mereka berikan kepada saya. Tapi seorang direktur yang duduk di samping saya mencegah. Sambil menarik-narik jas kerja saya, ia membisikkan sesuatu. "Kamu masih terlalu muda, dan tak punya pengalaman. Nanti kamu banyak melakukan kesalahan. Jangan biarkan dirimu terpilih sebagai ketua. Bagilah tanggung jawab di antara kalian bertiga. Sendirian, kamu akan banyak melakukan kekeliruan." Sementara itu, hadirin mulai menggerutu. "Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Bahkan ia tidak tahu berterima kasih. " Saya pun berdiri, dan menyatakan, "Tuan-tuan, dengan sepenuh hati saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan kepada saya. Namun, kami akan membagi tanggung jawab di antara kami bertiga." Kemudian saya mengulangi kata-kata yang barusan dibisikkan oleh sang direktur kepada saya bahwa saya masih terlalu muda, dan mempunyai risiko untuk melakukan kekeliruan. "Oleh sebab itu, lebih baik kami memimpin Komite ini bertiga .... Ini justru adalah kesalahan saya yang pertama. Saya takut memikul tanggung jawab. Tanggung jawab ini membuat saya takut. Dan mereka yang mencoba untuk mengatasi masalah pemogokan ini merasakan betul keragu-raguan saya, dan mereka hanya cukup mengingatkan saya saja. Saya memang masih terlalu muda, baru 27 tahun. Selain pemilihan, kami diberi tahu akan adanya pertemuan di kantor direksi esok harinya. Beberapa personel pabrik tetap berada di tempat. Saya sendiri pada sore hari itu mencoba tidur di bengkel. Baru saja saya terlelap, seseorang membangunkan saya. "Besok Anda jangan datang ke Komite Pemogokan," kata orang itu. Tapi saya jawab dengan tegas: "Saya akan datang, apa pun yang terjadi." PALANG HITAM RABU pagi-pagi sekali, saya datang ke kantor direksi. Seperti yang sudah diperingatkan kepada saya kemarin, kedua orang Komite Pemogokan memang tidak hadir. Mungkin mereka takut. Saya sendirian. Saya kembali ke bengkel. Saya tak punya ide bagaimana melaksanakan pemogokan ini. Benar-benar tak-punya ide, saya ulangi: saya baru berusia 27 tahun. Semua jalan yang berdekatan dengan pabrik dikuasai tentara. Di dekat rumah sakit regional, di dekat rumah sakit kereta api, di dekat gedung Kementerian Dalam Negeri, tank-tank tentara menduduki posisi di ujung-ujung jalan. Untuk masuk ke dalam pabrik, orang harus melewati pagar pengaman, tank, kendaraan lapis baja, serta mobil mitralyur otomatis. Reaksi para buruh berbeda-beda. Tapi sebagian besar menyoraki tentara. Seorang wanita mendekati mereka. "Hei . . . anak-anak, begitukah cara kalian mau menembaki kami?" katanya. Sulit sekali melukiskan perasaan kami: ingin membalas dendam, tapi juga kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa. Bersama kepala bengkel, Lesniewski, Lenarciak, dan Suszko, saya pergi menghadap ke direksi. Kami ingin mengadakan negosiasi dengan penanggung jawab regional untuk keamanan, guna mencegah letusan senjata. Tapi mereka tidak bisa mendapatkan sambungannya. Direksi tidak mau mengambil inisiatif, dan lebih suka berdiam diri - cuci tangan. Ketika kembali ke bengkel, saya mendengar letusan senjata yang pertama. Massa yang sedang bergejolak darahnya tiba-tiba terdiam membeku. Semula, saya kira, mereka cuma menembakkan peluru kosong. Tanpa terlalu menaruh perhaffan, saya balik lagi ke kantor direksi, mengambil jalan pintas. Di pintu masuk kedua, saya melihat debu mengepul. Di ujung sana, saya lihat para buruh berjatuhan, ada yang merangkak menyelamatkan diri. Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut seorang saksl mata, semula para buruh itu cuma ingin tahu apa yang terjadi di depan pabrik mereka. Mereka cuma ingin membuktikan, tentara yang berseragam Polandia itu apa benar tentara Polandia atau tentara Rusia yang menyamar. Oleh sebab itulah, mereka maju setapak demi setapak, sampai akhirnya mendekati kawat pemisah. Salah seorang buruh yang berdiri di barisan terdepan kemudian mencaci maki tentara, diikuti oleh massa. Tentara pun mengeluarkan peringatan. Tapi massa terus saja mendorong. Seorang petugas lalu mengeluarkan perintah menembak. Karena panik, massa pun mulai mundur kocar-kacir. Pada saat itulah rentetan tembakan dilepaskan. Kami tidak tahu pasti berapa orang yang tewas. Tapi belakangan kami mendapat keterangan. empat orang meninggal dunia. Di dekat pintu masuk. darah berceceran di mana-mana. Kami kemudian memasang bendera palang hitam setengah tiang sebagai tanda berduka cita. Di jerujijeruji pintu masuk, kami gantungkan topi-topi para buruh yang menjadi korban pembantaian ini. Kami kemudian mengheningkan cipta selama satu menit, lalu menyanyikan himne nasional. Kendaraan-kendaraan lapis baja, kawat-kawat rintangan pasukan milisia, semakin ketat saja mengepung pabrik. Moncong tank-tank sudah diarahkan ke bengkel. Melihat ini, para buruh justru semakin bersemangat untuk mempertahankan bagian dari diri mereka: tempat kerjanya. Suatu tempat yang memberinya rasa aman. Suatu tempat yang mewakili sepotong dari tanah air mereka. Para buruh dari bengkel las mulai memikirkan bagaimana caranya meledakkan tank-tank yang mengepung mereka, antara lain dengan bantuan bom acetylene, misalnya. Sementara itu, buruh yang lain mencoba membuat roket dengan pipa-pipa. Sebuah roket dicoba, tapi jatuhnya di utara pabrik tetangga kami. Pada kami sebenarnya ada pemancar radio. Kami bermimpi menggunakannya untuk mengimbau dunia Barat. Bahkan kami juga berangan-angan mengontak pihak Uni Soviet agar membantu para buruh di sini yang tertindas. Tapi akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengirimkan pesan apa-apa. Hubungan kami dengan dunia luar masih tetap terhalang oleh kawat berduri. Kesedihan mendalam terbit ketika anggota keluarga kami berbondong-bondong datang ke balik jeruji pabrik. Moral para buruh jatuh. Pada saat yang menentukan, kami memutuskan untuk meninggalkan pabrik. Para buruh bertangisan: mereka . merasa dikhianati. "Semua orang pergi. Tapi kami tetap pada tuntutan kami," begitu komunike yang akhirnya kami keluarkan. Ketika kami meninggalkan pabrik, tentara dan milisia memberikan jalan. Jumlah kami sekitar 20.000, bukan 6.000 seperti yang semula diumumkan. Saya kembali ke rumah, diikuti oleh istri saya. PEMOGOKAN MELUAS ADALAH di Gdynia, kejadian di bulan Desember itu, yang paling gawat. Korban yang jatuh lebih banyak, anggota Komite Pemogokan antarperusahaan Kota Gdynia ditangkapi. Kamis, 17 Desember 1970, terjadilah peristiwa yang dramatis. Rentetan tembakan dilepaskan tertuju pada para buruh yang kembali dari tempat kerjanya. Tak lama kemudian bermunculan kereta dorong mengangkuti mayat yang bergelimpangan. Pada malam Minggu, mayat mereka dikuburkan oleh pasukan milisia. Siapa bisa melupakan peristiwa di jembatan stasiun pabrik Gdynia ini? Sejak itu, setiap tanggal 17 Desember, dipimpin Pastor Hilary Jastak, kami mengadakan misa di Gereja Sacre Coeur de Jesus. Keesokan harinya, 18 Desember, pemogokan diikuti dengan pendudukan terhadap dua pabrik kapal. Kemudian, Komite Pemogokan pun dibentuk. Dengan suara bulat, mereka mengajukan 21 tuntutan, yang antara lain berupa tuntutan pembubaran Dewan Sentral Sindikat, bentuk sindikat independen, turunkan harga, dan naikkan gaji 30%. Pemogokan ini merata di seluruh kota. Pabrik kapal Warsawa menjadi pusat rapat umum para buruh, dan semua orang solider dengan gerakan ini. Dua hari berikutnya diadakanlah negosiasi dengan penguasa regional. Pada 20 Desember ditandatanganilah "resolusi", dan dengan itu dianggaplah pemogokan berakhir. Tapi pada hakikatnya isi "resolusi" itu kosong belaka. Sebagian besar buruh menolaknya. Maka pemogokan pun malah semakin menjadi. Di Pabrik Kapal Warski sekitar 1.000 buruh langsung pulang. Terpaksa Komite Pemogokan memilih lima anggota baru, di antaranya Edmunt Baluka. Sementara itu, tuntutan para buruh belum juga mendapat tanggapan. Maka, sehabis libur Natal, aksi mogok dilanjutkan kembali. KAMI MENANG ADA 11 dan 18 Januari 1971 terjadi pemogokan lagi, karena tuntutan kaum buruh belum juga mendapat tanggapan. Pemogokan gagal. Pada 22 Januari, di pabrik Warski, timbul pemogokan baru, yang segera diikuti di seluruh kota. Gerakan ini muncul sebagai reaksi pemberitaan media massa tentang adanya persetujuan pemerintah dengan wakil dari sejumlah bengkel. Edmunt Baluka kemudian mengambil alih pimpinan Komite Pemogokan. Sementara itu, pemerintah mulai mengambil sikap keras. Tentara ditempatkan di sekitar pabrik. Sementara itu, Gierek berusaha meyakinkan para buruh tentang ketidakmungkinan adanya penurunan harga. Tapi ini dijawab dengan pemogokan dan pendudukan oleh para buruh pabrik pemintalan Lodz. Gerakan ini berpusat di pabrik-pabrik di Marchlewskiego. Pada hari keempat pemogokan, pihak penguasa menyerah: harga barang-barang sebelum 12 Desember 1970 diberlakukan lagi .... * * * Catatan Danuta, istri Walesa: yang penuh kenangan bagi kami. Putra kami yang pertama baru berusia beberapa minggu. Senin ini, Lech pergi membeli kereta kuda. Selasa, ia pulang ke rumah pada tengah hari. Kami tinggal di Jalan Suchanin, di rumah Madame Pujszowa. Ia berangkat kerja dengan membawa topi bangunan dan jas kerjanya. Ia bilang ke Gdansk. Di sana terjadi peristiwa dramatis. Darah tertumpah di jalanjalan. Keesokan harinya, ia terlambat pulang ke rumah, sekitar pukul 16.00. Ia bilang ada seseorang yang membuntutinya. Saya baru ingat, kami ingin pergi ke rumah pemilik apartemen kami untuk menonton televisi, melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tapi bersamaan dengan itu, dua orang laki-laki masuk ke rumah kami, untuk membawa Lech. Ia kemudian menanggalkan cincin kawin dan arlojinya. Ia meletakkannya di atas meja, sambil berkata, bila saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menyambung hidup, saya boleh menjualnya. Sabtu, seorang teman Lech datang ke rumah. Ia bilang akan adanya perubahan di tubuh pemerintahan. Kata dia, Lech akan segera dibebaskan. Minggu, ia sudah berada di antara kami, di rumah. Ia tidak menceritakan apa-apa kepada kami. Ia juga tidak menceritakan tempat di mana ia ditahan. Tidak sama sekali. Saya rasa, ia tidak ingin membuat saya gelisah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini