PENTAR Tarigan, 18 tahun, tewas. Penduduk Desa Kutambelin, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sum-Ut, itu dianggap durhaka pada ibunya. "Berkali-kali ia menyiksa hingga sekujur tubuh saya lebam. Gigi depan rampal oleh hantaman tinjunya," kata sang ibu, Kita boru Ginting, 50 tahun, pada TEMPO. Jika minta uang tak dituruti, Pentar mencekik ibunya. Anak kelima itu tak diampuni lagi. Iby enam anak ini lalu mengadu pada anaknya yang nomor tiga, Tulis Tarigan. Tulis pernah pula diancam Pentar hendak dibunuh, gara-gara minta celana dan sepatu tak dipenuhinya. "Saya dan Ibu lalu sepakat membunuh dia dengan bengkala, racun monyet," ujar Tulis. Tugas menghabisi Pentar diserahkan pada Berani Tarigan, 29 tahun. Bekas anggota Polda Sum-Ut ini diupah Rp 280.000. Pentar diajak Berani melancong ke Medan. Setelah menginap di rumah Ramligam, teman akrab Berani, besok, 19 Juni lalu, Berani baru beraksi. Siang itu, Berani menyuruh anak tuan rumah membeli dua botol bir. Acara minum makin semarak setelah hadir teman-teman Ramligam. Pentar, yang sudah teler, dengan langkah goyang masuk ke kamar kecil. Saat itulah Berani mencampur serbuk racun itu ke minuman Pentar. Setelah anak ini menenggak kembali, 15 menit kemudian menggelepar. Dari mulutnya keluar buih. Tewas. Berani menyangkal membunuh. "Saya disuruh Tulis menaburkan serbuk ke dalam minuman Pentar. Agar ilmu kebalnya luntur dan dia mudah dihadapi Tulis," kata bapak empat anak ini. Kini Kita, Tulis, dan Berani dalam tahanan polisi Medan Baru. "Kasus ibu membunuh anak ini baru pertama kali di Sum-Ut. Ini pembunuhan berencana," kata Letkol Yusuf Umar, Kadispen Polda Sum-Ut. Lain lagi Sajad, 40 tahun. Rantai sepeda melilit leher dan kakinya dengan ketat. Malam itu lima lelaki menggelandang bekas pedagang kerupuk ini. Di tepi sungai, salah seorang lelaki itu menarik rantai dengan keras. "ak", Sajad menggeliat. Rantai digembok, tubuh Sajad mereka masukkan ke sarung. Dan "buntalan" itu dilempar ke sungai. Kejadian di Kampung Tanjungrawa, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Ja-Bar ini terbongkar dua pekan kemudian. Pada, 21 April itu, seorang petani di Blanakan, 10 km dari kampung korban, tak sengaja menjumpai sarung itu terapung di sungai Gempor. Setelah dibuka, isinya mayat. Hasil identifikasi polisi, itu mayat Sajad. Anak sulung keluarga Said, 65 tahun, ini dianggap tak waras. Menurut Carmini, adik korban, Sajad sakit ingatan sudah 10 tahun. "Setelah cerai dengan istrinya, dan tak bekerja lagi, Kakak jadi aneh," ujarnya. Jika ia kumat, keluarganya kalang kabut Selain ringan tangan memukul siapa saja, Sajad juga mengambil dan menjual barang bukan miliknya. Sajad mengamuk lagi. Dengan parang ia membacok ayah dan ibunya. Warga desa berhasil mengikat dia walau Said luka parah Bapak enam anak ini dibawa ke rumah sakit. Malamnya, lim sepupu Sajad, yakin Ahmad, Rasam, Arjo Pidin, dan Muksori sepakat membawa lelaki aneh itu ke rumah sakit. "Saya diperintah Ayah. Ini saya bawa uang titipannya, untuk biaya perawatan," kata Ahmad sambil menunjukkan uang Rp 80.000 pada Carmini. Sajad sudah tak bernapas lagi. Pembunuhnya kini ditahan. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini