Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Raden satja

Raden kudwati satja prawira yang mengaku berpangkat mayjen, menyewakan senjata api pada pedagang ditangkap polisi. ia juga berhasil mengelabui banyak para korbannya dengan penampilan yang meyakinkan.

4 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIAR angker dan gampang cari uang, ada lagi yang suka ngibul dengan "pangkat". Contohnya, Raden Kudati Satja Prawira, 50 tahun. Mengaku berpangkat mayor jenderal, jabatan Deputi III Bakin, Satja berhasil memperoleh dua pucuk pistol FN, dua pistol gas, satu senapan angin, dan 897 butir peluru. Kedua FN itu kemudian dipinjamkannya, dan ia dapat imbalan uang. Sekitar 1980. Ketika Operasi Sapujagat gencar menggebrak para pemilik senjata api dan amunisi gelap, resahlah Budi Santoso, 51 tahun. Ia menyimpan pistol FN kaliber 45 mm, tetapi surat izinnya kedaluwarsa. Sedangkan bekas atasannya, Bambang Abdul Kadir, sudah almarhum. Senjata itu diterimanya ketika ia pada 1965 jadi panitia penerima tamu asing, di Jakarta. Budi kenal Satja, sejak 1955. "Dia bilang dirinya dari intel. Pangkatnya letkol, waktu itu," kata Budi dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin pekan lalu. "Saya berikan pistol itu karena katanya dia anggota ABRI dan sanggup mcnyerahkan pada yang berwajib," kata lulusan FE UI tahun 1965 itu. Pistol diambil Satja. Berbilang tahun kemudian, Budi menganggap urusan pistol itu sudah beres. Tak bcda dengan Budi Santoso, adalah Edy Hudaya alias Edy Eoo, 53 tahun. Ia merasa persoalannya selesai begitu menyerahkan lebih dari 800 butir peluru berbagai jenis dan ukuran - pada Satja. Dua tahun sebelum Operasi Sapujagat, Hoo sudah menyerahkan lima senjata api pada petugas resmi. Karena masih banyak yang menyerahkan senjata, ada petugas bilang pada anggota Perbakin Bogor itu agar pelurunya disimpan dulu. Tetap Hoo merasa afdol menyerahkan peluru itu pada Satja. Satja sebagai anggota ABRI dikenalnya melalui temannya, Dadang Dahri. Serah terima senjata-senjata api itu tanpa berita acara. Begitu juga ketika Satja menerima dua pistol gas, 8 mm, dari Tan Budi Satyadharma, 55 tahun. "Melihat saya punya pistol lantas dimintanya, ya, saya kasih. Lagi pula, senjata itu buat main-main saja," kata Tan. Ia mengaku mengenal Satja berpangkat overste di Bakin, sejak 1979. Tan mendapat pistol itu dari Sukirman, anggota Polri. Satja minta lagi satu pstol jenis itu. Tan menyanggupi. Peltu Sukirman yang dihubungi, diberi uang rokok Rp 30 ribu oleh Tan. Samuel Henry Sampelan, menyerahkan pistol FN, 38 mm. Seorang pengusaha berkebangsaan Inggris, 1980, memperkenalkan Satja sebagai Letkol TNI-AD pada Sampelan. Pada 1985, Satja mengunjungi Sampelan. "Dia pinjam pistol, katanya untuk operasi intelijen," kata Sampelan, yang menjabat Direktur Navigasi Ditjen Perla, Departemen Perhubungan Laut, ketika itu. Pistol itu diberikannya, padahal masih berstatus barang dinas. "Ya, seperti makan buah simalakama, deh," ujarnya pelan. Senjata api dan amunisi yang diperoleh Pak Santja dari Budi dan Sampelan itu, lalu dipinjamkan pada Rosihan Tio alias Ahan, 35 tahun. Konon, pedagang ini perlu senjata genggam itu untuk jaga diri. Di samping pistol dan peluru, Ahan dibekali surat keterangan boleh memakai senjata api itu. "Surat itu dibuat Satja, dan ditandatangani terdakwa yang mengaku Deputi III Bakin berpangkat mayor jenderal, dan dibubuhi stempel Kepala Bakin," kata Jaksa B. Gultom ketika membacakan dakwaannya dua pekan lalu. Ia ditangkap polisi, 1 April 1987. Dari Ahan, Satja menerima uang Rp 10 juta. "Tapi uang itu tak ada hubungannya dengan pistol. Itu diberikan karena mereka berkenalan baik. Dan tak sekaligus," kata sumber yang dekat dengan Satja. Tapi bagaimana asal-usul pemilikan senjata api dan amunisi dari orang-orang yang disebut tadi, memang masih berliku. Begitu pula buntut perjalanan senjata tersebut Perkaranya, hingga pekan ini, Justru dlpersemplt pada penguasaan senata itu saja. Kendati demikian, terhadap mereka yang sekarang saksi itu, akan jadi tersangka. "Karena mereka menyimpan senjata tanpa hak," kata B. Gultom. Satja memang anggota ABRI? Dari 1976, ia mengaku bertugas di Bakin. Di tahun 1979, disebut ia berpangkat letkol. Lantas pada 1985 "naik" jadi brigjen. Hebat, karena pada 1986, "naik lagi" jadi mayjen. "Semua kenalannya juga bilang dia ABRI," ujar Samuel Henry Sampelan, yang kini Staf Ahli Menteri Perhubungan. Bahkan rekan sekerja Sampelan, Letkol (AL) Ibrahim Halju, dan seorang lagi berpangkat mayjen resmi, percaya penuh bahwa Satja itu militer. "Lagi pula, sebagai orang Timur, masa saya mesti periksa identitasnya," kata Budi Santoso, yang menjabat Direktur Teknik Asuransi Kerugian Jasa Tania itu. Padahal, tak seorang di antara mereka pernah melihat Satja berpakaian dinas lengkap. Kalau bepergian, Satja juga tanpa berajudan dan sopir. Kalangan keluarganya juga percaya dia itu ABRI. Contohnya, Ichwanza Loebis -- sepupu istri Satja - yang juga menyerahkan senapan angin miliknya. Anggota keluarganya yakin, Satja memang mayjen aktif di Bakin. Malah disebut nama Aswismarmo sebagai bekas atasan Satja. Dan kasus senjata api itu? "Bukan diminta, tapi dititipkan pada Pak Satja," kat,a seorang keluarganya. Aswismarmo, Sekjen Depdagri, mengatakan ia tak pernah kenal siapa Satja Prawira. Apalagi dia mengaku bahwa pada 1986 berpangkat mayjen. "Ndak 6ener itu," ujar Aswismarmo, yang jadi Deputi III Bakin pada 1986. Waktu itu perwira berpangkat kolonel saja agak jarang. "Wakil saya saja, paling-paling sekarang masih kolonel." Dan sebuah sumber di luar pengadilan menyebut Satja memang bukan orang Bakin. Penampilan lelaki yang sempat kuliah di Unpad itu memang meyakinkan. Tetapi Satja, yang fasih berbahasa Inggris dan Belanda, telah memetik keuntungan. Bersama Tan Budi, ia pernah menggarap sebuah proyek terminal peti kemas perhubungan laut bernilai ratusan juta rupiah. Kredit dari Bank Duta, Rp 30 juta, juga sempat dinikmatinya. Belum lagi ala kadar dari kenalan lain. Itu semua bisa berlangsung, ya, karena ia rapi berkedok sebagai seorang militer. Satja pernah bekerja di CV Sinar Jaya, dari 1979 hingga 1985. Setelah itu menjadi pedagang. Lelaki berbadan tegap ini, dengan sorot mata tajam, berhasil mengumpulkan senjata itu, katanya, karena telanjur mengaku anggota ABRI. Dan kenapa mengaku mayjen dari Bakin? "Wah, saya tak bisa menjelaskannya lagi. Pusing," ujar ayah dua anak itu. Sembari bersandar, di sel sementara pengadilan, Satja bergumam, "Yaah, mau dikata apa? Sudah nasib."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus