Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu setengah tahun lewat dari tenggat, baru 81 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Gundul di Bengkayang, Kalimantan Barat, berdiri. Turbin, boiler, dan conveyor telah terpasang. "Tinggal menunggu datangnya mesin dan peralatan listrik dari Cina," kata Seger Yohanes, Manajer Unit Pelaksana Konstruksi Pembangkit Bengkayang, kepada Tempo, awal Mei lalu.
Ia memperkirakan pembangkit yang merupakan bagian dari proyek 10 ribu megawatt tahap pertama itu akan rampung akhir tahun ini. Tapi bisa juga molor sampai paruh pertama 2016. Sesuai dengan jadwal yang dijanjikan kontraktor, semestinya akhir 2013 listrik sudah bisa diproduksi.
Seger beralasan, pembangkit yang dikerjakan China Gezhouba Group Company Limited bersama mitra lokal PT Praba Indopersada itu terhambat pembebasan lahan. Kontrak pembuatan pabrik setrum berkapasitas 2 x 27,5 megawatt itu diteken pada 30 April 2011 bersama PT PLN (Persero). Kebutuhan investasinya sekitar US$ 39,8 juta dan Rp 222,6 miliar. Sebanyak 85 persen diperoleh dari pinjaman konsesional Export-Import Bank of China, dengan durasi pengerjaan direncanakan 33 bulan.
Tapi Kementerian Keuangan punya data lain. Dalam laporan pengawasan terhadap megaproyek ini, per September 2014, teridentifikasi sejumlah pembangkit tidak perform. Pekerjaan di lapangan dinilai sangat lelet, dengan rata-rata keterlambatan 28 bulan. PLTU Bengkayang adalah salah satu dari 33 proyek yang dimonitor.
Tim monitoring Kementerian Keuangan dibentuk pada 2008 untuk memantau risiko gagal bayar pinjaman luar negeri dalam program yang digeber untuk mengatasi ancaman krisis listrik ini. Tim itu beranggotakan perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. Berdasarkan hasil pengawasan, sejumlah kontraktor utama disebutkan mengalami kesulitan keuangan.
Pada Oktober 2011, Menteri Keuangan (saat itu) Agus Martowardojo mengendus beberapa kontraktor yang dinilai kurang punya kapasitas. Kesimpulan itu didasari kajian internal, pendapat Badan Pemeriksa Keuangan, serta diskusi dengan PT PLN. Pada saat audit dijalankan, pertengahan tahun lalu, banyak pembangkit yang belum beroperasi. Misalnya PLTU Tarahan, PLTU Bangka, PLTU Kupang, PLTU Lombok, PLTU Balikpapan, PLTU Jayapura, dan PLTU Parit Baru.
Menurut Kepala Divisi Konstruksi Pembangkitan PLN Adang Sudrajat, pengoperasian PLTU Parit Baru di Jungkat, Kabupaten Pontianak, molor karena masalah teknis. "Fondasi pembangkit tersebut ambles. Sebab, lokasinya berupa rawa," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Karena itu, dilakukan penimbunan untuk mencegah bangunan roboh. Kontraktor juga membangun drainase di rawa gambut, yang memakan waktu tambahan 14-18 bulan. Nah, selama masa pengerjaan itu, Adang menjelaskan, terjadi kenaikan harga sejumlah barang. "Akibatnya, kebutuhan bujet meningkat."
Pembangkit Parit Baru terdiri atas dua unit, yang masing-masing berkapasitas 50 megawatt. Keduanya, PLTU Tanjung Gundul dan Parit Baru, disiapkan untuk menggantikan sejumlah pembangkit listrik tenaga diesel yang selama ini dioperasikan di sistem transmisi Khatulistiwa.
Manajer Transmisi dan Distribusi PLN Wilayah Kalimantan Barat John Hendrik Tonapa berhitung, jika kedua pembangkit itu beroperasi nanti, rasio elektrifikasi Kalimantan Barat akan naik dari 79,8 menjadi 85 persen. Setrum akan mengalir hingga ke Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang.
Hasil audit Kementerian Keuangan juga menyebutkan rendahnya kualitas pembangkit. Hal itu ditunjukkan dengan adanya kerusakan peralatan ketika dilakukan pengujian. Pembangkit yang terdiri atas dua unit, misalnya, tidak dapat dioperasikan secara paralel bersama-sama pada kapasitas penuh. Disebutkan juga ihwal pembangkit yang menggunakan peralatan berstandar Cina, yang berbeda dengan standar internasional dan biasa digunakan PLN. Contohnya PLTU Tarahan, PLTU Bangka, dan PLTU Tanjung Awar-awar.
Pembangkit Tanjung Awar-awar unit 2 di Tuban, Jawa Timur, saat ini sedang dalam proses penyelesaian akhir. Targetnya beroperasi akhir 2015 dan akan menaikkan kapasitas pembangkit ini dua kali lipat menjadi 700 megawatt. Adapun unit 1 telah diuji coba sejak Juni 2014 dan akan dievaluasi bulan ini. Juru bicara PLN Unit Pelaksana Konstruksi Pembangkitan Jawa-Bali III Tanjung Awar-awar, Warsidi, mengatakan pengoperasian selama masa uji coba unit 1 dikerjakan 45 tenaga ahli dari Cina. Mereka berada di lokasi sejak 2007.
Soal rendahnya kualitas pembangkit, Adang tak membantah. Menurut dia, hal itu bertalian dengan sangat terbatasnya durasi pembuatan dokumen penawaran dalam proses pengadaan.
Akibatnya, "Performa tidak seperti yang diharapkan."
Seger Yohanes menghadapi persoalan lain menyangkut kerja sama dengan kontraktor Cina. Ia mengaku kesulitan dalam hal pengawasan. PLN sebagai pemilik sulit mengkomunikasikan keinginan kepada kontraktor. "Faktor bahasa sangat dominan." Barang-barang yang harus didatangkan dari Cina juga memboroskan waktu.
Dengan begitu banyak masalah, Direktur Perencanaan dan Teknologi PLN Nasri Sebayang menolak bila proyek 10 ribu megawatt dianggap gagal. "Gagal itu berarti tidak ada yang jadi. Ini 98 persen akan terbangun semua."
Selain masalah lahan, Nasri menyebutkan, persoalannya adalah pendanaan. Perbankan atau lembaga keuangan Cina meminta jaminan pemerintah dalam proyek ini. "Waktu itu Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan jaminan pemerintah," ujar Nasri kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Kalla, yang kini kembali jadi wakil presiden, mengakui adanya permintaan itu. "Benar," kata Kalla melalui pesan pendek kepada Tempo, Kamis malam pekan lalu. Saat itu, ia menjelaskan, PLN tak memiliki anggaran, demikian pula APBN. "Kalau PLN minta kredit, harus dijamin pemilik, yakni pemerintah."
Menurut Kalla, tanpa jaminan, Indonesia tidak bisa membangun pembangkit baru. Artinya, pemadaman bergilir dan rental genset atau diesel yang ongkosnya mahal akan berlanjut. Anggaran subsidi listrik bisa menembus Rp 150 triliun setahun.
Karena itu pula program percepatan pembangunan pembangkit 10 ribu megawatt dibikin, dan semula direncanakan rampung dalam tiga tahun. Soal jaminan, Kalla menyebutnya hanya berupa kertas yang pada dasarnya tak akan terpakai. Sebab, pembangkit itu akan menghasilkan duit untuk membayar kreditnya.
Lagi-lagi hasil monitoring Kementerian Keuangan berkata lain. Dari sembilan pembangkit yang telah beroperasi, laba yang terkumpul tahun lalu hanya Rp 1,09 triliun. Bandingkan dengan kewajiban yang jatuh tempo pada semester pertama 2014 sebesar Rp 2,64 triliun. Artinya, terdapat beban defisit Rp 1,55 triliun yang dipikul PLN sebagai korporasi.
Kalla mengklarifikasi soal meriahnya peran Cina di program percepatan 10 ribu megawatt tahap pertama. Saat itu, menurut dia, pemerintah mencari kemungkinan membeli pembangkit secara cepat, harga sesuai, dan dengan mekanisme kredit yang pas. Cina dipertimbangkan karena memiliki kapasitas 1 juta megawatt, yang seluruhnya buatan dalam negeri. "Saya datang melihat industri yang membuat listrik di Cina, di mana pembangkit Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang sebagian part-nya dibuat di sana."
Yang penting, kata dia, tender internasional dilakukan terbuka. Kontraktor asal Cina, Jepang, India, Korea, dan Rusia mengikutinya. Pemenangnya hampir semuanya dari Cina. Investor Rusia memenangi satu proyek, tapi mengundurkan diri. "Harga Cina kurang-lebih hanya 60 persen dari Jepang."
Soal performa, Kalla menambahkan, ada tiga kemungkinan sebabnya: teknis mesin, operasional, atau kualitas batu bara. Indonesia telah memprotes persoalan teknis pembangkit kepada pemerintah Cina. "Nanti diperbaiki dengan biaya mereka."
Retno Sulistyowati, Sujatmiko (Tuban), Aseanty Pahlevi (Kalimantan Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo