Indonesia boleh jadi surga bagi para pembobol bank. Sudah banyak "tukang gangsir" berdasi yang sukses menghindari jeratan hukum, bahkan kini melenggang kangkung di luar negeri. Sebut saja Edy Tansil yang merugikan Bapindo hingga Rp 1,3 triliun, Hendra Rahardja yang menggasak BHS sebesar Rp 2,7 triliun, atau Bambang Sutrisno yang menjebol Bank Surya sampai Rp 1,9 triliun.
Itu yang swasta. Pegawai pemerintah yang terlibat kasus di Bank Indonesia juga masih aman-aman saja. Misalnya, Paul Sutopo yang mantan direktur pengawasan devisa, Hendrobudiyanto yang bekas direktur pengawasan perbankan, dan Heru Supraptomo yang mantan direktur bidang hukum, sampai sekarang masih bebas. Padahal, pada 1997, mereka pernah berstatus tersangka kasus tindak pidana korupsi. Namun sampai kini pengadilan terhadap mereka belum juga dilakukan, tapi penyidikan juga tak dinyatakan dihentikan. Tak jelas apa alasannya.
Kasus 16 bank yang dilikuidasi pada 1 November 1997 setali tiga uang. Akhir tahun lalu, Mabes Polri sudah menyerahkan 14 berita acara pemeriksaan kepada kejaksaan. Sepuluh berkas dikembalikan dengan alasan belum lengkap, tiga berkas tak jelas nasibnya, dan satu berkas diputuskan untuk dihentikan penyidikannya. Dalam kasus 16 bank ini, 232 orang diperiksa sebagai saksi dan 56 bankir sudah dinyatakan sebagai tersangka. Beberapa nama besar tersangkut dalam berbagai kasus ini, di antaranya Bambang Trihatmodjo dan Peter Gontha (Bank Andromeda), Endang Utari Mokodompit (Bank Pacific), Hendra Rahardja (Bank BHS), dan Probosutedjo (Bank Jakarta).
Menurut pengakuan Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri, Kolonel I Made Mangku Pastika, Mabes Polri belum lama ini sudah mengembalikan berkas itu ke kejaksaan. Dan bola kini berada di tangan kejaksaan. Lagi-lagi nasib kasus ini tidak me_nentu. Padahal, "Hampir semuanya melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan masih banyak lagi ketentuan perbankan yang dilanggar," kata Pastika.
Kasus tujuh bank yang dibekukan operasinya dan enam bank yang diambil alih pemerintah pada 4 April 1998 agak berbeda, walaupun ujungnya sama saja: tak ada yang ditahan atau dibawa ke pengadilan. Kasus ini sempat diperiksa Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Puluhan bankir harus antre, banyak di antaranya terpaksa mendekam di penjara selama satu atau dua hari. Banyak cerita beredar yang menyebutkan bahwa para bankir tersebut terpaksa menyetor sejumlah uang agar tidak dibui, tapi Pastika membantah keras tudingan itu. Namun, tiba-tiba, berdasarkan kesepakatan Bank Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri, penyidikan kasus ini dihentikan. Alasannya, para pemilik bank itu harus mengembalikan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan ke bank-bank mereka. "Berdasarkan kesepakatan, kasus ini biar ditangani BPPN lebih dulu," kata salah satu petinggi BI.
Padahal, selain masalah BLBI, bank-bank itu juga banyak yang melanggar ketentuan BMPK. Artinya, ada pasal-pasal dalam UU Perbankan yang dilanggar, contohnya pasal tentang pencatatan palsu dalam pembukuan, atau pasal tentang pelanggaran BMPK. Berdasarkan pasal-pasal itu, para bankir bisa masuk penjara dan membayar denda hingga ratusan miliar rupiah.
Pradjoto, ahli hukum perbankan, menegaskan bahwa penyelewengan BLBI dan pelanggaran BMPK adalah kejahatan serius dalam perbankan. Kalau selalu saja bankir diberi "pengampunan" seperti selama ini, tindakan itu hanya akan jadi preseden yang menguntungkan para pelanggar ketentuan perbankan. "Mereka mungkin berpikir: gua colong dulu nih duit, paling nanti disuruh kembaliin. Seharusnya hukum langsung bergerak karena ini pencurian uang negara, uang rakyat," kata Pradjoto.
Tumpukan berkas kejahatan bank bertambah tinggi dengan ditutupnya 38 bank pada Sabtu pekan lalu. Yang mencemaskan, pemerintah masih belum menentukan tindakan hukum apa yang akan dikenakan terhadap bank-bank "rusak" itu. Apakah 38 bank itu akan diperlakukan seperti 16 bank yang dilikuidasi, ataukah diserahkan dulu ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) seperti kasus bank-bank yang dibekukan operasinya, ini belum jelas benar jawabannya. Apa pun mekanisme yang dipilih, yang penting adalah hukum mesti ditegakkan. Agar bankir tak seenaknya menggemukkan perut sendiri dengan uang rakyat.
M. Taufiqurohman, Ardi Bramantyo, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini