Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengakuan Azis Syamsuddin memberikan uang kepada penyidik KPK, Robin Pattuju.
Azis mengaku pernah memberikan uang kepada Robin.
Ada jejak lobi petinggi Partai Golkar kepada Ketua KPK Firli Bahuri.
RUANG rapat di lantai 15 Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan, padat oleh pegawai pada Senin pagi, 30 Agustus lalu. Empat pemimpin KPK bersama penyelidik, penyidik, jaksa, dan pejabat lain tengah menggelar ekspose perkara suap yang melibatkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Azis Syamsuddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seisi ruangan bersepakat menetapkan Azis sebagai tersangka. Di pengujung rapat, semuanya meminta Kedeputian Penindakan mengurus surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan surat penetapan tersangka. Beberapa hari berselang, SPDP dikirim ke rumah Azis di Jalan Gedung Hijau II dan rumah dinasnya sebagai Wakil Ketua DPR di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, hingga Sabtu, 11 September lalu, KPK tak juga mengumumkan penetapan itu. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, beralasan penyidik masih memproses kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin. “Sepanjang ada bukti permulaan sehingga kami simpulkan ada pidana korupsi, kami pastikan akan naik pada tahap penyidikan,” katanya, Kamis, 9 September lalu.
Aliza Gunado/golkarpedia.com
KPK tengah menyelidiki Azis, 51 tahun, bersama mantan Wakil Sekretaris Jenderal Angkatan Muda Partai Golkar, Aliza Gunado Ladony, 41 tahun, dalam penyuapan kepada penyidik KPK, Ajun Komisaris Stepanus Robin Pattuju, sebesar Rp 3,09 miliar dan US$ 36 ribu atau sekitar Rp 513 juta pada 2020.
Dari penyelidikan KPK, uang suap dari Azis itu sebagai imbalan atas bantuan Robin menghapus namanya dan Aliza dalam perkara korupsi dana alokasi khusus (DAK) Lampung Tengah yang sedang disidik KPK.
Azis mengenal Robin, 33 tahun, sejak awal 2020. Tempo memperoleh dokumen yang mengungkap catatan Robin, lulusan Akademi Kepolisian tahun 2009, mendatangi rumah dinas Azis pada September 2020. Di teras belakang, Azis menunjukkan surat pemanggilan dari KPK untuk Aliza kepada Robin dalam perkara DAK Lampung Tengah. “Itu kader Golkar, kamu bisa bantu enggak supaya Aliza Gunado tidak menjadi tersangka?” ucap Azis, seperti tertera dalam catatan tersebut.
Dua hari berselang, Maskur Husain, pengacara di Medan, menghubungi Robin. Maskur mengabarkan bahwa KPK akan menetapkan Aliza sebagai tersangka. Ia meminta uang Rp 1,5 miliar untuk mengurusnya. Robin meneruskan permintaan itu kepada Azis. Pada hari itu, pria yang menjadi penyidik KPK sejak 1 April 2019 tersebut meminta persekot Rp 300 juta.
Esoknya, Azis mentransfer Rp 200 juta ke rekening Maskur. Beberapa hari kemudian, Azis mengirimkan Rp 100 juta ke rekening Angga Yudhistira, suami Riefka Amalia. Riefka adalah adik pacar Robin. Riefka lalu mentransfer uang itu ke rekening Robin.
Dua pekan berikutnya, Robin kembali bertandang ke rumah Azis. “Ini titipan dari Aliza Gunado,” ujar Azis sambil menyerahkan satu amplop cokelat berisi uang dalam pecahan dolar Singapura.
KPK sudah menetapkan Maskur sebagai tersangka. Dalam persidangan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, Muhammad Syahrial, Maskur mengatakan menerima uang dari Robin, tapi tak melakukan apa pun. Ia mengklaim uang itu sebagai honor pengacara. “Memang saya yang menentukan uangnya, kalau mau dikawal (kasusnya) Rp 1,5 miliar, kalau tidak mau tidak usah,” kata Maskur.
Tempo mendatangi rumah Aliza di Jalan Kemuning II, Kota Bandar Lampung, pada Jumat, 10 September lalu. Namun ia tidak berada di rumah. Adik Aliza, Eta, mengatakan kakaknya sedang menemani ibu mereka ke Jakarta. “Ada hajatan di sana,” ucapnya tanpa mau menjelaskan detail.
Walikota Tanjung Balai periode 2016-2021 (non aktif), M. Syahrial, seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 Juni 2021/TEMPO/Imam Sukamto
Melalui kuasa hukumnya, Adrian Zulfikar, Robin Pattuju mengatakan tak mau berbicara sebelum sidang dakwaannya digelar pada Senin, 13 September pekan ini. “Klien kami sampai hari ini belum berkenan berkomentar. Mau fokus dulu pada persiapan sidang,” ujar Adrian.
Azis Syamsuddin tak merespons surat permintaan wawancara yang dikirim ke rumah dan kantornya hingga Sabtu, 11 September lalu. Ia juga tak membalas pesan yang dikirim ke akun WhatsApp. Pada Juni lalu, Azis menjelaskan sejumlah hal, termasuk perkara hukumnya, kepada Tempo. Tapi ia meminta semua penjelasannya tak dikutip.
•••
PADA Oktober 2020, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Stepanus Robin Pattuju, menerima pesan WhatsApp dari ajudan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin, Dedi Supriyanto. Dedi adalah kakak satu tingkat Robin di Akademi Kepolisian. Dedi mengatakan Azis ingin mempertemukan Robin dengan seseorang.
Pada malam itu, Robin meluncur ke rumah dinas Azis. Dari catatan pergerakan Azis, rupanya seseorang yang hendak dikenalkan kepada Robin itu adalah Wali Kota Tanjungbalai Muhammad Syahrial. Ia berada di rumah Azis bersama dua temannya. “Ini Rial, kader Golkar. Ada yang mau diobrolkan dengan Robin. Silakan kalian ngobrol, saya tinggal ke dalam,” kata Azis, seperti tertera dalam dokumen yang diperoleh Tempo.
Kepada Robin, Syahrial menumpahkan unek-unek. Ia bercerita tengah terbelit kasus jual-beli jabatan yang sedang ditelusuri KPK. Syahrial meminta Robin membantu dia agar pengusutan itu tak menyeretnya.
Di akhir pertemuan, keduanya berbagi nomor telepon. Azis, yang masuk kembali ke ruang pertemuan, meminta Robin membantu Syahrial. Tentu saja bantuan itu tidak gratis. Pada Desember 2020, Syahrial beberapa kali menyerahkan uang kepada Robin, yang besarnya mencapai Rp 1,6 miliar.
KPK membongkar persekongkolan ini pada April lalu. Sebuah tim mencokok Syahrial dan Robin. Perkaranya pun bergulir hingga masuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan. Di depan hakim, Syahrial mengaku sebagai korban. “Korban janji manis Robin dan Maskur yang berjanji agar perkara jual-beli jabatan itu tidak naik ke penyidikan,” ucap Syahrial.
Azis turut menjadi saksi dalam sidang Syahrial. Saat bersaksi pada Senin, 26 Juli lalu, ia mengakui bahwa Robin sering bertamu ke rumahnya. Tapi Azis membantah jika disebut mempertemukan Syahrial dan Robin. “Saya tidak mengenalkan secara langsung,” katanya.
Dalam persidangan yang sama, Robin turut menjadi saksi. Dia mencabut semua pernyataannya selama pemeriksaan. Ia mengaku kondisinya tak sehat saat diperiksa mantan koleganya di KPK. “Kondisi saya saat itu lagi stres. Tidak bisa berpikir sehingga saya enggak fokus,” ujarnya pada Selasa, 27 Juli lalu.
KPK tetap melanjutkan penyidikan. Penyidik mengklaim mengantongi detail pertemuan dan transaksi Robin Pattuju dengan para tersangka lain. “Dalam pertemuan itu, AZ (maksudnya Azis) memperkenalkan SRP (yaitu Robin) dengan MS (adalah Syahrial) karena MS memiliki permasalahan terkait dengan penyelidikan korupsi di Tanjungbalai,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
Stepanus Robin Pattuju, seusai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa, 6 Juli 2021/TEMPO/Imam Sukamto
Dalam pemeriksaan KPK terungkap bahwa Robin menghubungi seorang pengacara di Medan, Maskur Husain, setelah bertemu dengan Syahrial di rumah Azis. Sebulan sebelumnya, Maskur dan Robin juga tengah “mengurus” perkara Azis yang lain di KPK.
Perkara lain itu terungkap dari penjelasan Maskur. Ia mengatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kejanggalan salah satu proyek Kota Tanjungbalai. KPK juga sudah mengendus kasus jual-beli jabatan yang melibatkan Syahrial. Setelah menghubungi Maskur, Robin meminta Syahrial mengirim uang Rp 1,5 miliar.
Robin berjanji mengurus perkara ini dan menjamin Syahrial tak akan menjadi tersangka. “Saya jamin dan saya percaya dengan tim saya,” begitu janji Robin kepada Syahrial.
Syahrial setuju. Ia mencicil pembayaran uang pelicin itu ke rekening Maskur dan Riefka Amalia pada akhir Desember 2020 hingga awal April 2021. KPK sudah mengumpulkan bukti-bukti transaksi ini. “Bukti permulaannya sudah cukup,” ucap Deputi Penindakan KPK Karyoto, Jumat, 27 Agustus lalu.
Awalnya KPK sempat kesulitan mengumpulkan bukti keterlibatan Robin. Sebelum ditangkap pada pertengahan April lalu, Robin berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Ia melakukan reset factory telepon selulernya. Akibatnya, semua percakapan dan data komunikasi di teleponnya terhapus.
Kuasa hukum Robin lainnya, Tito Hananta Kusuma, mengatakan kliennya khilaf. Ia membantah jika Robin disebut menerima suap. “Dia melakukan penipuan, bukan penyuapan,” katanya. “Tapi kami menghormati KPK agar semua ini diuji di persidangan.”
Saat bersaksi dalam persidangan Syahrial, Azis Syamsuddin mengakui bahwa ia mentransfer Rp 200 juta kepada Robin. Namun ia mengklaim uang itu sebagai uang pinjaman. “Bukan minta, tapi pinjam. Pinjaman saat itu persisnya atas permintaan beliau Rp 200 juta atau Rp 150 juta,” tuturnya.
•••
PERKARA lain yang melibatkan Azis Syamsuddin melebar. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menerima informasi bahwa Azis juga mengenalkan Robin Pattuju kepada Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang sedang mendekam di penjara Tangerang, Banten, karena menerima suap sebagai imbalan memberikan izin lokasi perkebunan di wilayahnya.
Rombongan KPK pun meluncur ke Tangerang untuk mengkonfirmasi informasi ini kepada Rita. Kuasa hukum Rita, Novan El Farizi, enggan mengkonfirmasi pemeriksaan tersebut. “Bu Rita memilih tidak menjawab sehingga saya juga tidak bisa memberi keterangan,” ujar Novan pada Jumat, 10 September lalu.
Menurut informasi KPK, Azis mengenalkan penyidik Robin Pattuju kepada Rita pada Juli 2020. Kala itu, Azis tengah menjenguk Rita di dalam tahanan. Di tengah kunjungan, Robin datang menemui mereka. Kepada keduanya, Rita mengeluhkan kerja pengacaranya yang tengah mengurus permohonan peninjauan kembali perkara suap dalam sidang peninjauan kembali. Seusai pertemuan, Robin menerima amplop cokelat berukuran besar.
Sepekan kemudian, Robin datang kembali ke penjara Tangerang bersama Maskur Husain, pengacara dari Medan. Robin menawarkan Maskur sebagai pengacara pelapis. Dari catatan dokumen pertemuan itu, Maskur berupaya meyakinkan Rita dengan mengklaim punya kenalan pejabat tinggi di Mahkamah Agung. Robin juga sesumbar bisa memantau tiap perkara karena statusnya sebagai penyidik KPK.
Bupati Kutai Kartanegara nonaktif yang menjadi terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi, Rita Widyasari, saat sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 6 Juli 2018/TEMPO/Imam Sukamto
Rita tertarik. Ia menyepakati honor Robin dan Maskur sebesar Rp 10 miliar. Selain itu, Rita harus membagi 50 persen apabila Maskur dan Robin berhasil mengembalikan asetnya yang disita dalam perkara suap izin perkebunan. Maskur juga meminta Rita mencabut kuasa dari penasihat hukumnya yang lama.
Kala itu, mantan kandidat Gubernur Kalimantan Timur dari Partai Golkar ini tengah bokek. KPK masih membekukan rekeningnya. Maskur dan Robin pun berinisiatif mencarikan dana talangan untuk mengurus peninjauan kembali dan pengembalian aset di Mahkamah Agung.
Entah bagaimana prosesnya, Robin mendapatkan uang Rp 3 miliar dari seorang rentenir. Rentenir itu memberikan uang tunai di depan rumah Azis Syamsuddin. Pada September 2020, Robin kembali menerima dana pinjaman dari rentenir itu sejumlah Rp 1,6 miliar.
Rupanya, Rp 4,6 miliar belum cukup untuk mengurus perkara. Robin dan Maskur pun membawa rentenir lain kepada Rita untuk menyediakan uang. Rita setuju. Ia bahkan setuju dengan syarat rentenir, yakni menjaminkan buku tanah seluas 140 meter persegi di Jalan Suryalaya, Kota Bandung. Rita juga tak menolak mengembalikan uang dua kali lipat dari yang dipinjamnya.
•••
DENGAN berbagai bukti detail pertemuan dan aliran uang itu, Komisi Pemberantasan Korupsi percaya diri bisa menuntaskan pengusutan kasus suap yang melibatkan Azis Syamsuddin. Pada Kamis, 29 April lalu, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan tidak pandang bulu dalam mengusut korupsi meski melibatkan petinggi Senayan—lokasi gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta—dan partai koalisi pemerintah. “KPK tidak akan pandang bulu dalam bertindak,” katanya.
KPK memang bergerak cepat. Beberapa hari setelah pernyataan Firli kepada wartawan itu, komisi antirasuah menggeledah rumah dinas, rumah pribadi, dan kantor Azis Syamsuddin. Penyidik juga memeriksa Azis sebagai saksi pada Juni lalu.
Menurut dua politikus yang mengaku sudah bertemu dengan Azis, anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung ini ketakutan masuk penjara gara-gara KPK menangkap Robin Pattuju. Ia dikabarkan kerap berpindah tempat sejak Mei lalu. Azis juga mulai jarang terlihat di ruang kerjanya.
Majelis Kehormatan DPR juga menggelar rapat untuk membahas kasus Azis Syamsuddin. Namun rapat menyimpulkan bahwa kasus Azis akan diserahkan kepada KPK. Mendengar kabar ini, Azis meminta bantuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Sejumlah tokoh Partai Golkar lalu menyiapkan berbagai skenario “penyelamatan” Azis. Salah satunya, meminta Robin Pattuju menarik berkas pemeriksaan saat menjadi saksi perkara Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, Muhammad Syahrial, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan. Rupanya, Robin menuruti permintaan itu.
Setelah Robin mencabut semua keterangannya dalam berita acara pemeriksaan, Azis kembali muncul dalam berbagai acara di DPR. Ia bahkan menghadiri pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Senin, 16 Agustus lalu.
Rupanya, KPK tak tinggal diam. Pada akhir Agustus lalu, pimpinan KPK menggelar rapat membedah kasus ini dan sepakat menaikkan status Azis Syamsuddin menjadi tersangka. Airlangga Hartarto pun memerintahkan Ketua Badan Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai Golkar Supriansa mengawasi kasus Azis. “Perintah ketua umum kami monitor kasus ini,” ujar Supriansa, yang diberi mandat oleh Airlangga menjawab pertanyaan media.
Tak hanya meminta bantuan kepada Airlangga, Azis juga mengontak Ketua MPR Bambang Soesatyo untuk melobi KPK agar tak meneruskan pengusutan kasus suap kepada Robin Pattuju yang menyeretnya. Padahal, di kalangan internal Golkar, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Bambang dan Azis berbeda kubu.
Menurut seorang elite Golkar, Bambang menelepon Firli Bahuri. Alih-alih menerima permintaan Bambang, Firli malah menunjukkan bukti telak Azis terlibat perkara suap. Dimintai konfirmasi soal ini, Bambang Soesatyo enggan menjelaskan isi obrolannya dengan Firli Bahuri. “Aku enggak mau jawab,” ucapnya, lalu tertawa. Tapi ia mengaku masih menjaga silaturahmi dengan Azis.
Firli Bahuri tak merespons surat permintaan wawancara Tempo perihal perkara yang melibatkan Azis Syamsuddin. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ipi Maryati Kuding, mengatakan belum menerima disposisi surat dari pimpinan sehingga tak bisa menjawab pertanyaan Tempo. “Kalau sudah ada disposisi, pasti langsung kami jawab,” kata Ipi.
ROSSENO AJI, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN, HENDRY SIHALOHO (BANDAR LAMPUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo