Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi mengubah konsep ruang dan jarak.
Masker membuat kita bersembunyi seraya ingin tetap bersosialisasi.
Wabah mengubah homo sapiens menjadi homo digitalis.
SAYA ragu. Masuk? Tak masuk? Kafe itu seluas 4 m x 7 m, dengan 9 meja dan 25 kursi. Tamu tak terlalu padat, tapi cukup ramai. Sebagian melepas masker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga menit saya berdiri di ambang pintu yang menampung virus. Masuk? Tak masuk? Saya datang untuk “Ki Hujan”, kopi dari hutan Sarongge, yang selalu ada di sana. Saya malas kembali ke rumah. Apalagi senja gerimis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan: saya melangkah mencari tempat duduk. Memesan “Ki Hujan”. Racikan robusta dan arabika dan sedikit gula aren ini mengurangi 65% waswas.
Pandemi telah membuat saya—dan bukan hanya saya—waswas akan ruang dan peka akan jarak. Mungkin ini yang berangsur-angsur dibentuk wabah sekarang: dengan aturan “jaga-jarak” yang berlaku berbulan-bulan, kita terbiasa bernegosiasi dengan ruang.
Padahal ruang tak pernah lepas dari kita, kita tak pernah lepas dari ruang, begitu lumrah keadaan itu hingga kita tak menyadarinya. Maka tak mudah mengatakan apa gerangan “barang” itu sebenarnya. Bahkan saya tak yakin bisakah ruang disebut “barang”.
Saya juga tak bisa menunjuk di mana persisnya “ruang”; ia ada, ia di mana-mana. Ia jadi pemisah benda yang satu dari yang lain. Ia memuat apa saja, juga tubuh kita yang kita ingin lindungi dari Covid-19. Tapi ruang bukan wadah, sebab wadah selamanya punya batas yang tetap. Dalam hal ruang, batas itu labil. Tubuh saya yang hidup ikut membentuk jauhnya, tingginya, kedalamannya. Ruang terbentuk bukan dari posisi-posisi, melainkan, untuk meminjam kalimat Merleau-Ponty, “situasi-situasi”.
Pandemi melahirkan paradoks. Ia membuat batas ruang—batas yang labil—jadi mapan: jaga-jarak punya ukuran tertentu. Tapi pada saat yang sama, agar jarak membuat tubuh aman, wabah mendorong kita berunding lewat telepon genggam dan berbantah dari zoom ke zoom. Komunikasi tak lagi ditandai tempat (papan, dalam bahasa Jawa) tertentu. Aku dan kau tak lagi mapan. Paradoks itu makin kita terima sebagai bagian wajar masa Covid-19 di zaman “revolusi digital”.
Dalam Aku Klik maka Aku Ada, buku filsafat terbaru F. Budi Hardiman—sebuah telaah tentang manusia dalam revolusi digital—disebut beberapa hal yang menarik yang berlangsung dalam hidup kita kini. Salah satunya “desensibilisasi”, lenyapnya hubungan fisik antarmanusia:
Aku-offline tidak terhubung secara afektif dengan aku-online sehingga tidak merasakan lagi perbuatan-perbuatannya di ruang digital. Saat online orang tidak mengalami rasa malu menyangkut dirinya, melainkan hanya menyangkut fragmen dirinya yang ditayangkan sebagai pesan, foto, atau video....
Pandangan Hardiman peka—dan tak berbinar-binar. Seraya menguraikan dengan jernih transisi homo sapiens ke dalam homo digitalis, dalam Aku Klik terasa gema pemikiran Jerman sejak Heidegger hingga Mazhab Frankfurt, yang tumbuh di antara dua perang besar Eropa yang destruktif; ada sikap jera kepada keyakinan (atau ketakaburan) sains dan teknologi yang mengklaim bisa memecahkan segala problem kehidupan. Kita kenal ini. Tiap zaman butuh penangkal, sebab pengalaman mengajarkan, sejarah selalu bergerak (katakanlah “maju”) dengan membawa korban.
Tapi pengalaman juga mengajarkan, sejarah tak senantiasa berjalan lempang dan utuh digerakkan satu sebab yang jelas, misalnya kemajuan teknologi. Kita misalnya tak tahu apa sebab persenjataan nuklir Amerika tak membuatnya sanggup mengatasi terorisme (atau perang gerilya) yang dilakukan mereka yang bersenjata bersahaja.
Determinisme teknologi hanya mereduksi manusia jadi obyek yang tak berdaya lagi mengendalikan teknologi dan akibat-akibatnya. Dan setahu saya, sejauh ini determinisme itu hanya pandangan dari atas—biasanya oleh filosof, penulis fiksi utopia dan anti-utopia, atau theoritisi sejarah. Mereka tak menangkap seluruh gejala; bagi mereka perubahan manusia tampak menyeluruh, tanpa sisa yang bertahan. Sementara di bawah, para praktisi teknologi lebih tahu: manusia sangat rumit dan perubahan hanya selalu setapak demi setapak.
Di bawah, orang umumnya lebih bisa menyaksikan yang “beda”. Di sana manusia hadir sebagai wujud yang tak terperikan. Levinas menyebutnya sebagai “wajah”, visage, yang selalu luput ketika dirumuskan. “Wajah Liyan, tiap kali menghancurkan atau melimpah melampaui gambaran yang membekas padaku…,” kata filosof itu dalam Totalité et Infini.
Saya menyeruput Ki Hujan.
Saya lihat sekeliling: beberapa orang sudah mengenakan masker kembali. Wajah-wajah itu kian tak mudah dikenali: makin aneh atau tambah cakep. Mungkin mereka takut Covid-19, atau takut polisi, atau senang bisa menyembunyikan pipi yang tembam. Siapa tahu?
Yang pasti, mereka, seperti saya, belum jadi homo digitalis. Mereka tetap tubuh yang hidup, Leib. Masih ada rasa takut sakit dan ingin cantik. Masih bisa memilih kemesraan dan bukan kebrutalan. Masih ingin minum kopi, makan combro, ketawa, berbisik, bersetubuh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo