Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ya, Pakde.” Dengan logat Jawa yang kental, Fatih Unru mengawali kemunculannya dalam film Petualangan Menangkap Petir. Dalam scene tersebut, remaja 13 tahun itu menjawab perintah tetangganya yang menyuruhnya mengembalikan peralatan bengkel yang dipinjamnya. Kemudian ia mengayuh sepedanya menyusuri jalanan desa yang berliku. Ternyata ia menghampiri mobil ayahnya yang mogok. Kepada ayahnya, ia kembali berkata dengan aksen medok, “Nih, Pak, alat-alate. Kata Pak Harjo, kalo udah selesai, langsung dibalekke.”
Dalam film besutan sutradara Kuntz Agus itu, Fatih memang berperan sebagai seorang anak bernama Gianto yang berasal dari sebuah desa di Boyolali, Jawa Tengah. Tubuhnya gemuk. Maka Gianto lebih suka dipanggil dengan sebutan Jaiyen (Giant). Si gemuk itu punya impian menjadi bintang film terkenal. Suatu hari, cucu salah satu tetangganya, Sterling (Bima -Azriel), berlibur ke Boyolali di sela-sela kepindahannya dari Hong Kong ke Jakarta.- Sterling memiliki hobi membuat video. Jaiyen pun mengajak Sterling memfilmkan cerita legenda favoritnya tentang Ki Ageng Selo, sang penangkap petir.
Remaja kelahiran Jakarta ini dengan riang gembira mampu memerankan karakter Jaiyen secara nyeleneh, jenaka, dan meyakinkan. Sepanjang film, terasa ada gairah anak-anak yang mencari tanpa pretensi. Fatih berhasil menampilkan diri sebagai sosok riang Gianto yang mengelilingkan teman barunya, si anak metropolis Hong Kong, Sterling, ke segala penjuru desa, dari menonton film Jaka Sembung pada malam hari sampai berpelesir ke bukit-bukit. Persahabatan kedua anak tersebut terasa hangat. Karena itulah para juri menobatkan Fatih sebagai Pemain Anak Pilihan Tempo.
Sejak kecil, Fatih memang bercita-cita menjadi aktor. Saat berusia empat tahun, anak Yayu Unru itu sudah terlibat dalam drama musikal Lutung Kasarung. Fatih juga kerap menonton pementasan yang digelar ayahnya. Ia mengakui bahwa sang ayahlah yang paling berpengaruh dalam perjalanannya di dunia seni peran. Menurut Fatih, setiap kali ia akan tampil di atas panggung atau berakting di depan kamera, sang ayah selalu mengingatkannya agar tampil total. “Pokoknya gila-gilaan, jadi orang yang memang seharusnya ada di situ,” kata Fatih saat ditemui di lokasi syuting film terbarunya di Pesanggrahan, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Begitu pula saat ia menjadi Jaiyen dalam film Petualangan Menangkap Petir. Walaupun bukan orang Jawa—ayahnya asal Makassar dan ibunya orang Sunda—Fatih berhasil membawakan karakter Jaiyen dengan bahasa Indonesia yang medok. Menurut sang sutradara, Kuntz Agus, saat dihubungi pada Rabu pekan lalu, dialog Jaiyen sebenarnya tidak banyak yang berbahasa Jawa. Karena itu, Kuntz terkejut ketika Fatih ternyata mampu menampilkan aksen medok dengan cukup bagus. “Sebenarnya itu bukan arahan kami. Jadi sedikit mengagetkan bahwa ketika reading dia membawa hal-hal baru semacam itu,” ujar Kuntz.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, aksen Jawa tersebut didapatkannya dari belajar berbahasa Jawa selama dua minggu. Awalnya, saat membaca naskah, Fatih merasa ada yang kurang jika karakter Jaiyen tidak ia bawakan dengan logat Jawa. Ia pun curhat kepada ayahnya. Oleh sang ayah, Fatih diarahkan agar berlatih berbahasa Jawa dengan salah satu kawannya setiap kali pulang sekolah, satu-dua jam lamanya. “Belajarnya dengan cara break down naskah. Jadi awalnya bahasa Jawa yang aku pelajari hanya apa yang ada dalam naskah.”
Ketika sampai di lokasi syuting, Fatih mendapat kesempatan mengasah kemampuannya berbahasa Jawa. Sebelum syuting selama 18 hari dimulai, tim produksi memberikan waktu tiga hari kepada para pemain untuk mendekatkan diri satu sama lain. Pada saat itulah Fatih dibantu beberapa lawan mainnya yang berasal dari Jawa berbicara dengan logat Jawa yang pas. “Tim produksi memang enggak mewajibkan aku benar-benar Jawa. Tapi aku pingin maksimal. Jadi, kalau bisa, kenapa enggak?” katanya.
Fatih mengungkapkan, agar setiap peran bisa dimainkan dengan maksimal, ia harus menyukai atau setidaknya tertarik pada peran tersebut. Saat menerima peran sebagai Jaiyen, misalnya, Fatih merasa Jaiyen memiliki karakter yang kuat. Menurut dia, Jaiyen bukanlah sosok anak desa pada umumnya. Walaupun besar di kampung, Jaiyen tak takut meraih mimpinya sebagai aktor yang mendunia seperti Barry Prima, bahkan Amitabh Bachchan, idolanya. “Jaiyen itu gila-gilaanlah,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo