Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMAKAI nama samaran Ananias Yalek, Senat Soll beralih menjadi penjual amunisi. Personel Batalion Infanteri 754/ENK berpangkat prajurit dua itu pada awal September lalu melego 155 butir peluru kepada Ruben Wakla, 20 tahun, warga Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, Papua. Pelor itu ditebus Ruben dengan duit Rp 20 juta atau sekitar Rp 129 ribu per butir.
Ruben, simpatisan Komite Nasional Papua Barat—organisasi yang mengkampanyekan kemerdekaan Papua—ditangkap polisi dan personel Tentara Nasional Indonesia di Bandar Udara Mozes Kilangin, Timika, Papua, pada Senin kedua September lalu. Bersamaan dengan penangkapan itu, Prajurit Dua Senat Soll alias Ananias Yalek menghilang. Hingga kini, Senat Soll tak pernah kembali ke kesatuannya.
Cerita Senat Soll tertulis dalam surat yang dikirim Asisten Intelijen Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Kolonel Andries kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Papua, tertanggal 24 Oktober lalu. Surat itu menjawab pertanyaan Komnas HAM Papua tentang keterlibatan personel TNI dalam kasus penjualan amunisi tersebut. Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramandey membenarkan menerima surat yang salinannya diperoleh Tempo tersebut. “Kami juga menginvestigasi kasus itu,” ujar Frits saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.
Menurut Frits, Senat Soll diduga sudah berkali-kali menjual amunisi kepada milisi Komite Nasional Papua Barat. Dugaan itu berdasarkan perbincangan Frits dengan Ruben Wakla di ruang tahanan Markas Komando Brigade Mobil Detasemen B Kepolisian Daerah Papua. Ruben, kata Frits, menyebutkan Senat Soll, yang berdinas di Kabupaten Mimika, memiliki jaringan di kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Tentara Organisasi Papua Merdeka, di Papua Barat. -Facebook Global Campaign For United Nations Peacekeeping Mission To West Papua.
Frits menuturkan, penjualan amunisi oleh aparat keamanan tak sekali itu saja terjadi. Sebelumnya, kasus serupa muncul di Jayapura. Biasanya, kata Frits, sebutir peluru dijual Rp 25-50 ribu di wilayah perkotaan. Sedangkan di pedalaman bisa lebih dari Rp 100 ribu. Wakil Kepala Penerangan Kodam Cenderawasih Letnan Kolonel Dax Sianturi membenarkan adanya personel TNI yang menjual amunisi kepada kelompok separatis. “Memang ada beberapa kejadian. Sebagian sudah dihukum,” ujarnya. Ia mengatakan TNI juga masih mengejar Senat Soll.
Tak hanya membeli amunisi dari tentara, milisi pro-kemerdekaan Papua juga merampas senjata dari personel TNI dan kepolisian. Menurut Dax Sianturi, sebagian senjata didapat saat mereka menyerang pos TNI dan polisi. Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan hal yang sama. “Mereka merampas dari anggota kami yang lengah,” ujarnya.
Tito juga mengatakan milisi menggunakan senjata sisa konflik di Ambon. “Dulu banyak senjata beredar di situ. Gudang Brimob saja dijebol,” ujar Tito. Dokumen penegak hukum yang diperoleh Tempo menunjukkan sepanjang 2011-2018 terdapat delapan kasus penyelundupan senjata dari Ambon ke Papua. Jalur yang digunakan umumnya dari Ambon ke Kota Tual, berlanjut ke Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, dan masuk ke Timika.
Menurut Tito, senjata milik para pemberontak juga didatangkan melalui Papua Nugini, yang berbatasan langsung dengan sejumlah wilayah yang menjadi basis kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Tito mengklaim polisi beberapa kali menangkap penyelundup senjata dari Papua Nugini. Pada Maret lalu, misalnya, polisi menangkap empat tersangka dalam dua kejadian di Kota Sorong, Papua Barat. Dari tangan empat tersangka, disita satu senjata api rakitan jenis pen gun, satu senapan serbu Ruger Mini, dan 125 butir peluru.
Berdasarkan dokumen tersebut, ada pula senjata yang berasal dari Filipina. Senjata itu dipasok dari Kota General Santos, Provinsi Cotabato Selatan. Jalur laut yang digunakan melewati Ternate, Maluku Utara, lalu masuk ke Sorong, Manokwari, dan Nabire. Ihwal masuknya senjata ke Papua dari luar negeri pernah dibahas dalam rapat tertutup Badan Intelijen Negara dengan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggota Komisi Pertahanan DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, dan seorang politikus partai menengah menyebutkan, dalam rapat yang digelar tahun ini tersebut, Kepala BIN Budi Gunawan mengatakan senapan yang digunakan kelompok bersenjata di Papua juga berasal dari Thailand. Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto enggan berkomentar tentang isi rapat tersebut. “Saya konfirmasi dulu,” ujarnya.
Tak hanya membeli senjata, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat juga disebut-sebut mendatangkan perakit senjata dari Makassar untuk membuat senapan sendiri. Ketua Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan hasil investigasi lembaganya menunjukkan para pemberontak bahkan memiliki pabrik senjata di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Kepulauan Yapen. “Saya melihat langsung tempatnya, juga mesin yang digunakan untuk membuat senjata,” ujar Frits. Menurut dia, pembuat senjata di dua wilayah itu berasal dari Ambon. Senapan yang dibikin hanya bersifat dor siji alias dorji atau hanya untuk sekali tembak.
Frits menilai, mendapatkan senjata api bukan perkara sulit bagi pendukung gerakan Papua merdeka. Komnas HAM Papua memperkirakan, pada 2016, di Papua beredar lebih dari 100 pucuk senjata otomatis. Sedangkan jumlah senjata rakitan yang beredar mencapai lebih dari 150 pucuk. Maraknya peredaran itu mengakibatkan pertumpahan darah di Papua terus terjadi.
Frits menilai, mendapatkan senjata api bukan perkara sulit bagi pendukung gerakan Papua merdeka. Komnas HAM Papua memperkirakan, pada 2016, di Papua beredar lebih dari 100 pucuk senjata otomatis. Sedangkan jumlah senjata rakitan yang beredar mencapai lebih dari 150 pucuk. Maraknya peredaran itu mengakibatkan pertumpahan darah di Papua terus terjadi.
Berdasarkan catatan Komnas HAM Papua, sepanjang 2016-2018, sebanyak 13 penduduk sipil tewas, sementara 9 polisi dan 6 tentara meninggal akibat ditembak. Sedangkan polisi dan tentara menembak empat penduduk sipil bersenjata hingga tewas. Jumlah itu belum termasuk peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nduga. Hingga Jumat pagi pekan lalu, TNI mencatat 16 warga sipil dan satu tentara tewas.
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Sebby Sambom, membenarkan sebagian senjata yang dimiliki organisasinya berasal dari rampasan. “Kami mengambil senjata dari anggota TNI dan polisi yang kami bunuh,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat pekan lalu. Sebby juga mengakui ada personel Tentara Pembebasan yang membeli peluru dari TNI. Tapi dia menyangkal ada pembelian senjata dari Thailand. “Itu bohong,” katanya.
Sebby enggan menjelaskan asal-muasal dana yang diperoleh organisasinya untuk membeli senjata. Juga dari mana senjata-senjata itu dibeli. “Itu rahasia negara,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAMONO, DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI, AHMAD FAIZ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo