Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI telah berusia lebih dari setengah abad, gedung Lokananta masih tampak berdiri kukuh dan cukup megah. Gedung bercat krem yang berdiri di atas area sekitar 20 ribu meter persegi di Jalan Jenderal Ahmad Yani 379, Solo, Jawa Tengah, itu masih terawat. Rumput yang terhampar di halaman luas tertata rapi. Begitu juga sejumlah tanaman, semuanya baik-baik saja.
Namun, di balik gedung megah dan terlihat baik-baik itu, sebenarnya kondisi Lokananta sungguh memprihatinkan. Perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia milik negara itu terancam bubar karena tak mendapat dukungan dana yang memadai. ”Tidak ada dukungan modal sama sekali dari pemerintah. Untuk memproduksi sebuah rekaman saja, karyawan Lokananta harus patungan. Kami harus swasembada,” kata Pendi Haryadi, pemimpin Lokananta, saat ditemui Tempo pada Maret lalu.
Pendi mengakui sungguh berat menjaga dan memelihara aset Lokananta jika tak ada dukungan dari pihak lain. Dengan hanya mengandalkan penjualan jasa rekam ulang lagu-lagu lama serta menyewakan sebagian properti Lokananta untuk kantor asuransi dan usaha futsal, jelas Lokananta tak bisa menyejahterakan 20 karyawannya. ”Apalagi berangan-angan bisa bersaing dengan industri rekaman modern lainnya di Indonesia,” ujarnya.
Lokananta berawal dari sebuah pabrik piringan hitam sederhana yang dirintis dua pegawai Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, Oetojo Soemowidjojo dan Raden Ngabehi Soegoto Soerjodipoero, pada 1950. Sekitar enam tahun kemudian, tepatnya 29 Oktober 1956, Lokananta resmi berdiri dengan nama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementerian Penerangan RI di Surakarta.
Fungsi utama Lokananta adalah merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran 27 studio RRI di seluruh Indonesia. Jadi sifatnya nonkomersial. Tapi Lokananta kemudian diperbolehkan menjual piringan hitam produksinya kepada umum melalui Pusat Koperasi Angkasawan RRI (Pusat) Jakarta.
Dalam perjalanannya, Lokananta sempat beberapa kali mengubah statusnya. Pada 1961, Lokananta diubah menjadi perusahaan negara dan mulai memperluas bidang usaha, yakni untuk produksi fonogram (piringan hitam dan pita suara kaset atau bentuk media rekam lainnya).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24/2001, Lokananta telah dilikuidasi dan ditetapkan sebagai penambahan penyertaan modal Perum Percetakan Negara RI. Dan sejak 2004, Lokananta menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta, dengan cakupan tugas sebagai salah satu pusat multimedia, rekaman (kaset dan CD), remastering, dan pengembangan percetakan serta jasa grafika, plus kegiatan di dunia penyiaran hingga sekarang.
Lokananta sempat mengalami masa keemasan sepanjang 1970-an hingga 1980-an. Perusahaan ini juga menjadi label rekaman yang legendaris. Di tempat ini, sejumlah musisi dan seniman besar Indonesia merekam karyanya. Musisi keroncong Gesang dan Waldjinah pernah menikmati masa kejayaannya melalui karya-karyanya yang direkam dan dipasarkan melalui Lokananta. Dalang kondang Ki Narto Sabdo juga secara rutin merekam pentas pertunjukan wayangnya di Lokananta. Selain itu, Narto Sabdo, yang juga sangat produktif mencipta gending Jawa, merekam karyanya itu di Lokananta.
Tak hanya itu. Di Lokananta juga terdapat koleksi penting dan sangat langka, rekaman pidato kenegaraan Presiden Sukarno serta pidato para kepala negara asing yang sedang berkunjung ke Indonesia. Lokananta bahkan memiliki rekaman lagu Indonesia Raya versi tiga stansa yang sempat menjadi polemik. Tempat ini juga menyimpan bukti rekaman sekitar 5.000 lagu daerah dari seluruh Indonesia, termasuk rekaman lagu Rasa Sayange dari Maluku yang sempat dibagikan kepada kontingen Asian Games pada 1962. Beberapa waktu lalu lagu ini juga sempat diklaim Malaysia sebagai miliknya.
Sampai saat ini Lokananta masih menyimpan sekitar 40 ribu keping piringan hitam yang pernah diproduksi, dari lagu daerah, lagu hiburan (pop), keroncong, wayang, gending Jawa, hingga pidato kenegaraan. Koleksi piringan hitam itu kini disimpan dalam rak-rak di salah satu ruang berukuran 6 x 8 meter di kompleks Lokananta. ”Dulu, sisa produksi itu ditumpuk di gudang. Sebagian bahkan sudah rusak dimakan rayap. Ini hanya sebagian yang masih bisa diselamatkan,” kata Bemby Ananto dari bagian remastering Lokananta.
Menurut Bemby, masyarakat bisa membeli koleksi piringan hitam produksi Lokananta yang kini disimpan di ruang khusus itu. Hanya, yang bisa dibeli adalah album rekaman yang stok produksinya masih banyak. Album rekaman (baik gending Jawa, wayang, keroncong, lagu daerah, maupun lagu pop) yang stoknya sudah minim tak lagi bisa diperjual-belikan. ”Harganya sekitar Rp 250 ribu per keping piringan hitam. Memang cukup mahal, namun kualitasnya masih sangat baik,” ujarnya.
Di ruangan lain, yang kini difungsikan sebagai museum, tersimpan perangkat mesin perekam yang pernah digunakan sepanjang 1950-an hingga 1980-an. Mesin perekam itu semuanya produksi Jerman dengan merek Studer. Dulu mesin itu hanya ditumpuk di gudang. Setelah dibersihkan, kini sebagian ditempatkan di ruangan 6 x 10 meter, yang menjadi museum.
Selain mesin perekam, di ruangan itu tersimpan mikrofon yang pernah digunakan untuk rekaman. Mikrofon bermerek Neumann buatan Jerman ini adalah yang terbaik pada zamannya. Ada delapan mikrofon Neumann yang disimpan di lemari kaca dengan kunci pengaman.
Bemby menyatakan banyak orang asing yang tertarik dengan koleksi mikrofon tersebut. Mereka ingin membelinya dengan harga tinggi. ”Kami jelas menolak karena ini koleksi museum,” katanya. ”Saya tidak tahu persis berapa harganya. Namun kabarnya satu mikrofon ini bisa untuk membeli satu buah mobil.”
Koleksi lain yang masih tersimpan di Lokananta adalah 5.000 master rekaman berisi lagu-lagu pop tempo dulu, keroncong, gending Jawa, dan wayang. Master rekaman berupa pita reel itu disimpan di lemari besi dalam ruangan khusus yang tak boleh dimasuki umum.
Saat ini Bemby dan rekan-rekannya tengah melakukan remastering, yakni memindahkan isi rekaman dalam pita reel yang masih dalam bentuk analog ke data digital di komputer. Menurut Bemby, data digital itulah yang kemudian diproduksi dalam format CD (cakram digital). ”Setelah digandakan kemudian bisa dibeli oleh masyarakat,” ujar Bemby.
Sebenarnya, Lokananta juga memiliki studio rekaman dengan fasilitas yang cukup baik. Mesin perekamnya sudah menggunakan perangkat modern, meski bukan yang mutakhir dan paling canggih. Hanya, frekuensi penggunaan studio rekam ini tak terlalu sering. Kendala utamanya masalah permodalan.
Kini nasib Lokananta memang tak seindah namanya, yakni gamelan kayangan yang bersuara merdu tanpa ditabuh. Untuk menghidupi 20 karyawan dengan gaji yang relatif rendah (Rp 500 ribu hingga Rp 1,3 juta), Pendi Haryadi harus berakrobat dan membuat pelbagai siasat. Misalnya, sebagian gedung di kompleks Lokananta yang sudah tidak berfungsi itu disewakan untuk lembaga lain, seperti jasa asuransi. Bahkan ada yang kemudian dialihfungsikan menjadi arena futsal. ”Itu semua harus saya lakukan untuk menambah pemasukan,” katanya. ”Kami harus bisa memperpanjang roda operasional perusahaan ini.”
Pendi mengakui Lokananta sebagai perusahaan rekaman tertua milik negara memang butuh dukungan pemerintah. Saat ini Pendi giat mempertemukan direksi PNRI dengan Wali Kota Solo Joko Widodo. ”Saya sudah mengirim surat ke direksi di Jakarta untuk bisa bertemu dengan Wali Kota untuk membahas nasib Lokananta ke depan itu seperti apa,” ujarnya.
Pendi menambahkan, ”Menurut saya, harus ada campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan Lokananta. Kalau tidak ada support, Lokananta memang terancam gulung tikar.”
Heru c. Nugroho (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo