Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah bilik seluas sekitar 50 meter persegi di studio rekaman Lharos, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur, Victor Rayllaya takzim menyimak lagu yang tengah diputarnya. Sesekali Victor mengotak-atik program di komputer ketika musik lagu berjudul I Miss U yang dilantunkan biduanita Ratna Antika itu kurang pas di telinganya. Siang pengujung Maret lalu itu, Victor harus merampungkan proses mixing album Banyuwangi bertajuk Best of the Best Antika tersebut. ”Proses rekamannya sudah dilakukan awal Februari lalu,” katanya.
Studio Lharos, yang terletak di Jalan Argopuro, boleh dibilang cukup sederhana. Ruangan seluas 50 meter persegi disekat menjadi dua bagian dengan sebuah kaca di tengahnya. Satu ruangan untuk take voice, ruangan lainnya untuk operator. Seluruh dindingnya dilapisi karpet abu-abu untuk meredam suara. Selain dua layar LCD, di ruangan operator terdapat dua monitor studio, tiga buah organ, sebuah mixer, dan audio interface converter. Yang disebut terakhir, alat untuk mengubah suara analog menjadi digital. Menurut Victor, sebetulnya studio rekamannya itu masih berskala rumahan atawa home industry.
Meski sederhana, inilah salah satu studio yang mendorong bergairahnya industri rekaman di Banyuwangi belakangan ini. Berdiri pada 2002, Lharos merupakan hasil patungan antara Victor dan ayahnya, Johny M.C., dengan modal awal sekitar Rp 25 juta. Johny M.C. adalah pencipta lagu dan arranger musik yang sudah berkecimpung di dunia rekaman lagu Banyuwangi sejak 1985, bekerja sama dengan Nirwana Record, Surabaya. Sekitar 50 penyanyi dan 100 album pernah ditangani Johny M.C. Beberapa nama bahkan melejit menjadi penyanyi Ibu Kota, seperti Emilia Contessa dan Nini Carlina.
Memang, sebelum Banyuwangi memiliki studio rekaman sendiri, musisi harus merekam lagu di Surabaya. Padahal, jika rekaman di Surabaya, ongkos produksinya cukup besar. Menurut Victor, sewa studio di Surabaya dihitung per shift (enam jam), yang bisa mencapai Rp 450 ribu. Untuk album minimal 10 shift. Biaya ini belum termasuk transpor pulang-pergi, sewa hotel, dan makan-minum. ”Satu album bisa satu bulan nginep di hotel,” kata Victor. Bila rekaman sendiri di Banyuwangi, produser hanya cukup membayar sewa studio dan aransemen musik, yang besarnya sekitar Rp 12 juta per album.
Nah, peluang inilah yang kemudian ditangkap oleh Victor bersama ayahnya. Benar saja, sejak studionya berdiri, ia kebanjiran order rekaman. Banyak produser lokal yang memindahkan proses rekamannya dari Surabaya ke Banyuwangi. Victor kemudian membenahi peralatan studionya. ”Awalnya peralatannya sederhana, kemudian saya bertahap membeli yang lebih canggih,” ujar pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas ini.
Langkah Victor kian menggairahkan industri rekaman lokal Banyuwangi. Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan studio rekaman skala rumahan di Banyuwangi semakin marak. Diperkirakan jumlahnya mencapai lebih dari 50 studio yang tumbuh di desa-desa. Dan menjamurnya studio rekaman lokal itu diikuti dengan munculnya produser, pencipta lagu, dan penyanyi dadakan yang sebelumnya tak akrab di telinga masyarakat Banyuwangi. Album-album baru pun membanjiri pasar. Sebelum 2008, hanya ada 1-2 album baru, tapi kini jumlahnya lebih dari 15 album dalam sebulan. Harga rata-rata album tersebut sekitar Rp 10 ribu per kepingnya.
Gairah industri rekaman lokal juga meninggi di Ranah Minang, Sumatera Barat. Saat ini setidaknya ada lebih dari 26 produser rekaman lagu pop Minang dan beberapa di antaranya memiliki studio rekaman sendiri. Studio-studio rekaman tersebut bahkan banyak disewa oleh produser dari Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Salah satu studio rekaman Minang yang terkenal adalah Sinar Padang Record. Studio milik Haji Yuskal di Jalan Banda Bakali, Padang, ini mulai beroperasi sejak 1990-an. Sinar Padang telah melahirkan ratusan album dan penyanyi Minang. Banyak penyanyi terkenal Minang yang lahir dari tangan Yuskal sebagai produser, di antaranya Edi Cotok, Ajo Andre, Susi, Zalmin, Yan Juned, Anroy, Ucok Sumbara, dan Zalmon. ”Album yang paling meledak adalah Kasiek Tujuh Muaro, yang dinyanyikan Zalmon, mencapai 200 ribu kopi,” kata Yuskal.
Saat ini studio Sinar Padang tak hanya digunakan untuk rekaman album Minang, tapi juga kerap disewa produser daerah lain, seperti dari Sumatera Utara dan Jambi. ”Mungkin karena di sini lebih murah. Saya menyewakan untuk sekali rekaman sekitar Rp 2,5 juta, pembuatan rekaman album bisa hingga 10 hari,” ujar Yuskal. Sinar Padang juga pernah merekam album penyanyi Ibu Kota, seperti Obbie Messakh dan Eddy Silitonga.
Selain studio yang dimiliki sendiri oleh produser rekaman seperti Yuskal, di Sumatera Barat ada sejumlah studio sewaan yang lebih sederhana. Misalnya Delta Studio milik Jonpy di Aur Atas, Bukittinggi. Studio yang berdiri pada 2004 dengan modal tak sampai Rp 80 juta itu berada di rumah Jonpy dengan menggunakan tiga ruangan: ruang vokal yang kedap suara seluas 2 x 3 meter, ruang peralatan dan ruang operator 3 x 4 meter, serta ruang tunggu. ”Studio ini dibuat mengikuti perkembangan, karena sekarang untuk rekaman cukup dengan komputer,” kata Jonpy. ”Peralatan canggih bukan jaminan, karena yang paling penting adalah operator yang menjalankan.”
Bergairahnya industri rekaman lokal di Sumatera Barat sehingga mampu bertahan hingga sekarang karena ditunjang beberapa faktor. Menurut Suryadi, dosen dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oseania Universitas Leiden, Belanda, salah satunya industri rekaman daerah seperti di Sumatera Barat tergolong industri berskala kecil. ”Tipe industri seperti ini biasanya lebih tahan banting, lebih tahan menghadapi guncangan resesi ekonomi, tidak seperti industri berskala menengah dan besar,” ujar Suryadi, yang kini sedang menulis disertasi mengenai industri rekaman Sumatera Barat.
Hal senada diungkapkan Yuskal, produser dan pemilik studio Sinar Padang Record. Yuskal mengatakan, yang membuat industri rekaman di Sumatera Barat tetap bertahan adalah skalanya yang relatif kecil, sehingga biaya pembuatan album bisa lebih murah. ”Kalau di Jakarta bisa sampai ratusan juta rupiah untuk membuat satu album, sehingga tidak bisa bertahan apalagi menghadapi pembajakan,” katanya.
Selain di Banyuwangi dan Minang, gairah industri rekaman daerah juga terjadi di wilayah lain di Tanah Air, seperti di Bandung dan juga di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Di Bandung, misalnya, terdapat puluhan perusahaan rekaman lokal yang menelurkan album pop Sunda yang meledak di pasar. Salah satunya Whisnu Record, yang antara lain merilis album pop Sunda milik Darso dan Nining Meida. Yang paling fenomenal adalah album Nining Meida berjudul Kalangkang (1986). ”Sampai sekarang masih ada yang cari. Penjualan albumnya hingga kini mencapai lebih dari satu juta kopi,” ujar Mariska, pemilik Whisnu Record.
Industri rekaman daerah menciptakan mata rantai yang saling bergantung antara produser, pencipta lagu, dan penyanyi atau musisi. Tapi hubungan itu umumnya tak diikat seketat industri rekaman tingkat nasional atau label rekaman besar. Tidak ada perjanjian hitam di atas putih di antara mereka. Pun, tak ada pembagian royalti.
Menurut Johny M.C., pembuatan album di Banyuwangi dilakukan dengan sistem lepas. Artinya, produser hanya membayar satu kali, mulai honor penyanyi, pencipta lagu, aransemen musik, dan grup musik pendukung. Honor pencipta lagu Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta per lagu. Honor penyanyi paling murah Rp 300 ribu dan termahal Rp 4 juta per lagu. Besarnya honor penyanyi bergantung pada popularitas mereka. Penyanyi baru biasanya paling rendah. Setelah itu, karya musik menjadi milik produser seutuhnya. ”Apabila album meledak di pasar, ya, produser diuntungkan,” katanya.
Johny M.C. menambahkan, sistem lepas itu juga berlaku pada jual-beli master. Dalam sistem ini, musisi menjual master album yang telah didanainya sendiri kepada produser. Kalau produser tertarik, master akan dibeli dan menjadi hak produser sepenuhnya. Harga master ini biasanya dua kali lipat dari ongkos produksi. Johny M.C. biasanya membanderol master albumnya hingga Rp 50 juta.
Sistem lepas juga berlaku di Minang. Menurut Yuskal, untuk semua penyanyi yang membuat album di Sinar Padang Record, ia menerapkan sistem jual putus alias tak ada royalti. ”Biasanya penyanyi dikontrak tiga tahun. Misalnya, satu album Rp 15 juta dan tidak ada royalti,” ujarnya.
Jika album meledak, Yuskal akan memberikan bonus walaupun tak ada dalam kontrak. ”Saya menggunakan cara kekeluargaan. Kalau saya untung, penyanyi juga kebagian. Bonusnya bertingkat, mulai dari gelang emas, motor, hingga mobil,” katanya. ”Penyanyi Zalmon dan Edi Cotok, misalnya, saya beri bonus mobil saat albumnya meledak.”
Adapun untuk pencipta lagu, rata-rata Yuskal membeli lagu Rp 500 ribu. Tapi, untuk pencipta baru, ia menghargai Rp 250 ribu. Lalu, untuk pencipta lagu terkenal, ia beli Rp 1 juta per lagu. Kini rata-rata setiap album dicetak 2.000 hingga 3.000. Bila ada yang meledak, albumnya akan dikopi ulang. ”Untung bagi produser sebenarnya kecil, karena banyaknya pembajakan,” ujar Yuskal.
Maraknya industri rekaman daerah juga melahirkan bintang lokal. Di Banyuwangi, ada Catur Arum, Reni Farida, Dian Ratih, dan Adistya Mayasari. Di Bandung muncul Nining Meida, Rika Rafika, dan Darso. Lalu di Minang, antara lain, terdapat Edi Cotok, Zalmon, dan Budi Setiawan alias Buset. Lagu-lagu mereka digandrungi, albumnya laris-manis tak hanya di daerah masing-masing, tapi hingga ke luar negeri. Mereka juga memiliki penggemar berat yang jumlahnya ribuan hingga jutaan.
Namun fenomena baru juga muncul. Di mana-mana muncul produser dadakan. Di Pematangsiantar, Sumatera Utara, misalnya, seorang pengusaha organ tunggal bernama Openri Saragih menjual alat-alat musiknya demi membangun sebuah studio rekaman. Hingga akhir Maret 2011, studio milik Openri itu telah merekam 10 album penyanyi lokal. ”Saya yakin usaha rekaman ini akan sukses dan berumur panjang,” kata Openri, yang membangun studionya dengan modal awal hanya Rp 43 juta.
Di Banyuwangi lain lagi. Muhammad Sandi, 35 tahun, pemilik perusahaan rekaman Sandi Record, meninggalkan bisnis elektronik dan kemudian terjun total menjadi produser. Album perdana yang diproduserinya berjudul Kangen langsung meledak di pasar, terjual lebih dari 70 ribu keping.
Masih di Banyuwangi, banyak orang yang tak memahami seluk-beluk dunia rekaman musik tiba-tiba ingin menjadi produser. Beberapa dari mereka adalah petani biasa. ”Saya sering didatangi produser baru yang ingin merekamkan lagu. Setelah saya tanya, ternyata mereka itu cuma petani biasa,” ujar Victor Rayllaya. ”Padahal, kalau albumnya tidak laku, ya, habislah mereka.”
Nurdin Kalim, Ika Ningtyas (Banyuwangi), Febrianti (Padang), Anwar Siswadi (Bandung), Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo