Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMBANG Lauk (ikan) mengalun keras dari sebuah radio yang diputar penjual ikan di Pasar Simpang Haru, Padang, Sumatera Barat. Lagu Minang penuh humor yang didendangkan penyanyi Budi Setiawan atau populer dengan nama Buset itu terdengar pas sekali dengan suasana pasar ikan tersebut di suatu pagi pada Maret lalu. Lauk bercerita tentang keseharian tukang ikan yang melayani bermacam pembeli serta impiannya memiliki pesawat terbang.
Lagu-lagu Budi memang tengah digandrungi. Lirik lagu-lagunya penuh humor dengan bumbu musik rap serta istilah-istilah gaul anak muda Pariaman, Sumatera Barat. Albumnya, berjudul Radio Si Buset, meledak di pasar. Di tengah menggilanya pembajakan, CD album itu terjual lebih dari 30 ribu keping. Ini rekor cukup fantastis buat penyanyi Minang pendatang baru, yang biasanya paling banter hanya terjual 15 ribu keping.
Budi langsung mencuri hati khalayak karena lagu-lagunya tampil beda dengan tembang Minang terbaru lainnya, yang umumnya bernada maratok (beriba hati) atawa mellow (melankolis). Selain itu, tema lagu-lagu biduan berusia 28 tahun ini dilantunkan dengan gaya rap penuh lawakan. Misalnya lagu Bato Prend (kenapa seperti itu teman). Tembang itu bertema kritik terhadap anak muda sekarang yang suka mengkonsumsi narkoba, bercelana melorot, mabuk-mabukan, dan mengganggu cewek di pasar. Dengan gaya lawakan, Budi menakut-nakuti mereka akan azab di dalam kubur berupa siksaan nan mengerikan.
Di mata para penggemarnya, Budi adalah penyanyi multitalenta. ”Dia masih muda, tapi superkreatif. Mencipta lagu sendiri, membuat klip video sendiri,” kata Marwan. ”Ia juga pemerhati sosial. Hal-hal yang disentil dalam lagu-lagunya ada benarnya. Kalau diibaratkan, Buset itu seperti Ahmad Dhani-nya Sumatera Barat,” guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pariaman itu menambahkan.
Budi memang fenomenal. Ia bukan penyanyi yang lahir dari panggung atau festival. Ia hanya anak muda biasa yang punya hobi nongkrong dan bernyanyi dengan gitar bersama teman-temannya di depan rumah orang tuanya di Kampung Pondok, Kota Pariaman. ”Kalau sudah pegang gitar, apa saja yang tampak di jalan saya jadikan lagu. Bahasanya pakai istilah-istilah anak muda yang dekat dengan saya,” katanya.
Sekitar empat tahun lalu, perkenalan Budi dengan Remon Kuantan, musisi lokal di Pariaman, membawanya ke dapur rekaman Planet Record. Hingga kini Budi telah meluncurkan lima album, dan rata-rata laku di pasar. Lagu-lagunya, terutama Radio Si Buset dan Bato Prend, diputar di radio-radio dan menjadi buah bibir. Budi juga kebanjiran undangan pentas di mana-mana. Tak hanya di Sumatera Barat, tapi juga ke luar daerah, hingga Papua, bahkan ke Malaysia.
Sebagai penyanyi yang kariernya tengah berkilau, Budi mendapat penghasilan lumayan dari album-albumnya. Hanya, ia enggan menyebut angka persisnya. ”Kalau albumnya meledak, saya diberi bonus, seperti sepeda motor dan uang. Cukuplah untuk menghidupi keluarga,” ujarnya.
Pundi-pundinya juga bertambah dari pelbagai tawaran pentas yang datang saban pekan, mulai menjadi pengisi acara tetap di Plaza Ramayana, Bukittinggi, pesta pernikahan, hingga sunatan. Lalu, jika diundang ke luar daerah, Budi mematok tarif minimal Rp 10 juta, ditambah tiket pesawat dan akomodasi, yang ditanggung pengundang. Ia bebas menerima undangan pentas karena kontraknya dengan produser sebatas album.
Meski telah menjelma sebagai superstar baru di ranah Minang, Budi masih seperti orang biasa. Sampai saat ini, Budi tinggal di rumah kontrakan di Bukittinggi bersama istri dan seorang anaknya. Ia sedang mempersiapkan membangun rumah di Lubuk Alung, Padang Pariaman. ”Jadi penyanyi ini rezeki harimau, kadang laku kadang enggak,” ujarnya.
Lain Minang, lain Banyuwangi. Banyuwangi, Jawa Timur, juga memunculkan superstar lokal. Salah satunya Adistya Mayasari. Namanya meroket lewat album Kangen, yang dirilis pada 2006. Album kolaborasi Adis dengan Rogojampi Orkestra Lare Asli Banyuwangi itu terjual lebih dari 100 ribu keping. Sejak itu, biduanita 26 tahun ini kebanjiran tawaran pentas di sejumlah tempat. ”Dalam satu bulan, jadwal selalu penuh,” katanya.
Sedari kecil, perempuan berkulit kuning langsat ini memang gemar menyanyi. Ia mulai masuk dapur rekaman pada akhir 2001. Saat itu, Adis, yang masih duduk di kelas I sekolah menengah atas, mengikuti lomba menyanyi lagu daerah tingkat kabupaten dan menyabet juara II. Ternyata event itu dihadiri sejumlah produser lokal.
Setelah acara itu, produser Aneka Safari Record meminangnya mengisi album bertajuk Angger-angger. Setahun berikutnya, Adis diajak berkolaborasi dengan grup Patrol Orkestra Banyuwangi, kelompok musik yang memadukan musik tradisional patrol dengan elektrik. Melalui nomor hit berjudul Semebyar, nama Adis mulai dikenal dan meramaikan jagat musik Banyuwangi.
Selain penyanyi, Adis adalah pencipta lagu, terutama tembang berbahasa Using (bahasa khas Banyuwangi). Hingga kini, Adis memiliki enam album, yang hampir semuanya laris. Lima puluhan lagu ciptaannya juga laku di pasar. Soal honor, ia tak mau blak-blakan. Adis hanya menyebut, honor rekaman awalnya sekitar Rp 800 ribu, kemudian bergerak di atas Rp 1,5 juta per lagu. ”Dari honor nyanyi, alhamdulillah, bisa beli beberapa meter tanah,” katanya, malu-malu.
Akan halnya di tanah Batak ada superstar bernama Tongam Sirait. Albumnya, Beta Hita, sangat populer di wilayah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Album itu terjual sekitar 45 ribu kopi. Kini ia acap kali mendapat tawaran pentas. ”Lagu-lagu Tongam disukai karena tidak cengeng. Ada spirit dalam lirik lagu-lagunya. Ia mengajak kita membangun kampung halaman,” ujar Tigor Munthe, General Manager Radio Pelita Batak FM, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang memutar lagu-lagu Batak.
Dari bumi Parahyangan lahir pula superstar lokal Nining Meida. Penyanyi Sunda ini berkibar sejak merilis album berjudul Kalangkang pada 1986. Nining, yang mulai masuk dapur rekaman pada usia 13 tahun, telah menghasilkan puluhan album. Ia memang sangat produktif. Dalam setahun, ibu tiga anak ini bisa empat kali melakukan rekaman album baru. Coraknya pop Sunda, dangdut, kliningan, degung, dan jaipongan. Ia memiliki rumah dan mobil, yang mengantarnya menyanyi di berbagai tempat. Kini biduanita yang awet muda itu juga menjalankan bisnis bingkisan serta hiburan lewat bendera Nining Meida Entertainment dan Promina Record di Bandung.
Selain Nining, tanah Sunda memiliki superstar yang sangat fenomenal: Darso. Penyanyi bernama lengkap Hendarso ini menjadi legenda hidup di wilayah Jawa Barat. Gaya dan penampilannya di atas pentas, yang mirip mendiang raja pop Michael Jackson, sangat memikat para penonton. Lagu-lagunya, baik dalam versi calung maupun pop Sunda, tetap digemari masyarakat sampai saat ini, terutama kalangan bawah. Lagunya yang sangat populer dan legendaris antara lain Kembang Tanjung, Panganten Anyar, Mawar Bodas, Tanjung Baru, Mega Bodas, Cucu Deui, Dadali Manting, Tanjakan Burangrang, Sarboah, Amparan Sajadah, Kabogoh Jauh, dan Cang Cing Cong.
Di dunia musik lokal, kiprah Darso terentang lebih dari empat dekade, dari 1960-an hingga sekarang. Di Bandung, dia seangkatan dengan musisi rock Deddy Stanzah dan Gito Rollies. Pria 66 tahun itu memulai karier pada 1962. Ia bergabung dengan grup Nada Karya. Setelah itu, ia masuk band Baskara dan menyanyikan lagu-lagu pop Sunda untuk mengisi RRI Bandung. Pada 1970-an, Darso ikut kelompok calung kakaknya, Uko Hendarto, sebelum akhirnya membentuk grup sendiri: Calung Darso.
Darso sangat produktif merilis album. Hingga kini sudah ratusan album ia hasilkan, dan sebagian besar mengalami booming. ”Darso membawakan lagunya dengan jiwa dan sederhana,” kata Miftahul Malik. ”Warna vokalnya terdengar seperti suara orang pedesaan, dan lagunya mudah dicerna,” ujar dosen Universitas Islam Nusantara, Bandung, yang menikmati lagu-lagu Darso sejak usia 5 tahun itu.
Dari bonus yang diberikan produsernya, Darso mempunyai rumah tipe 45 di Kampung Cirateun, Wangunsari, Lembang, Bandung Barat. Ia juga memiliki mobil Karimun kuning cerah. Bersama anaknya, Asep Darso, kini ia giat melatih anak-anak dan remaja bermain musik Sunda, khususnya calung.
Sebagai superstar lokal, Darso mematok tarif pentas bagi yang mengundangnya. Untuk pengundang kalangan menengah-atas atau perusahaan dan bank, ia memasang tarif Rp 5 juta jika tampil sendiri dan Rp 15-20 juta bila bersama kelompok musiknya. Tapi ia rela menyanyi gratis bagi warga miskin. ”Saya mah cukup didoakan, enjoy saja,” katanya.
Febrianti (Padang), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Anwar Siswadi (Bandung), Soetana Monang Hasibuan (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo