Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Macet Setelah Jadi

Kota Payakumbuh, Sum-Bar, berbenah diri. Bangunan pertokoan yang sebagian besar masih bangunan lama di ganti. Tapi, kik yang menjadi sumber pembiayaan, macet setelah bangunan jadi.(kt)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama juga Pemda Kodya Payakumbuh bermaksud melaksanakan peremajaan toko yang ada di kota itu. Sebab kurang lebih dari 600 petak toko di kota itu, nyaris sebagian besar masih bangunan lama. Artinya sudah begitu sejak Payakumbuh masih jadi kota yang ibu kabupaten 50 Kota. Tentu saja Walikota drs. Soetan Oesman ingin mengadakan perubahan, menyusul adanya peningkatan status Payakumbuh jadi kotamadya sejak 6 tahun yang lalu. Lagi pula peremajaan macam itu memang dibutuhkan. Toko di pusat pasar sudah semakin sumpek. Sempit dan di sana sini juga terlihat jauh dari bersih. Ide peremajaan sudah dilemparkan sejak 2 tahun yang lalu kepada para pedagang. Ternyata sambutan ada. Sebab para pedagang di Payakumbuh tentu saja sadar kota-kota lain di propinsi yang sama sudah terlibat dalam kegiatan macam itu. Namun meski akur pedagang tak lupa wanti-wanti berpesan: peremajaan sesuai dengan kemampuan yang ada. Bulan Juni tahun silam peremajaan itupun dimulai. Dan syukur bulan April ini juga sudah selesai. Tahap pertama membangun 67 petak toko baru di atas bangunan lama yang dirubuhkan. Biaya seluruhnya Rp 96,9 juta. Pembiayaannya sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani para pedagang adalah liwat kredit investasi kecil, alias KIK. Pada mulanya semua berjalan lancar. Sama lancarnya juga dengan persekot tanda jadi dari pedagang. Begitu juga tanpa banyak tingkah para pedagang mengungsi ke tempat penampungan yang sudah disediakan. Meski begitu bulan lalu satu kejutan yang nyaris ricuh mulai melanda para pedagang. Apa soalnya? "KIK itu belum juga keluar. "Ini di luar dugaan", kata Walikota kepada para pedagang yang buru-buru dikumpulkan. Berita macam itu memang mengejutkan. Bukan saja pedagang, dan Walikota, tapi juga untuk pemborong. Sebab bangunan sudah jadi. Nah tentu saja yang terakhir ini tak mau dirugikan. Sebab itu uang yang digunakan untuk biaya bangunan adalah pinjaman dari pihak lain pula. Tentu ada bunga yang harus ditutup tiap bulan. Di depan Walikota, para pedagang tentu membela diri. Sebab mereka merasa sudah mematuhi aturan permainan yang ada. Jika KIK macet pedagang merasa bukan soal mereka. Walikota Soetan Oesman berkilah: "Untuk pengeluaran KIK itu perlu dilakukan survey ulangan". Rupanya survey tahun lalu yang dilakukan pihak Askrindo kurang meyakinkan. Paling tidak untuk BDN yang kemudian mengambil alih soal pemberian kredit macam itu. Maka Soetan Oesman mencari jalan keluar. Kepada para pedagang dikemukakan bahwa buat sementara biaya pembangunan toko baru itu akan dibayar Bank Pembangunan Daerah. Bukan KIK. Tapi kredit biasa. Jika begitu bunganya adalah 1 persen dari pinjaman pokok. Masa tenggang tak ada. Batas lunas 30 bulan. Sedangkan jika liwat KIK, bunga 1 persen dari sisa hutang, masa tenggang 6 bulan dan lagi masa pelunasan tak kurang dari 60 bulan. Sebagian besar pedagang merasa berat. Terutama pasal bunga itu tadi. "Hutang kita tinggal lagi Rp 20 ribu. Masa kita harus bayar Rp 50 ribu", kata seorang pedagang yang memerlukan pinjaman Rp 3 juta. Beberapa pedagang lain mengutarakan bahwa dengan kredit macam itu mereka harus sediakan dua kali lipat dari rencana semula. "Kita tak sanggup", katanya memperkuat rekannya yang lain. Walikota khawatir juga. Sebab ini baru tahap awal dari rencana peremajaan menyeluruh. Bisa-bisa kemudian para pedagang menolak, setelah melihat pengalaman itu. "Ini cuma sementara", kata Soetan. Sebab jika KIK itu keluar kredit kembali pada status semula. Meski begitu para pedagang memang sulit diyakinkan. "Kecuali jika bunga BPD 1 persen dari sisa hutang", kata pedagang yang lain lagi. Ini nyaris mewakili pendapat sebagian besar pedagang. Dan permintaan yang terakhir ini belum lagi dijawab. "Itu tak mungkin. Tidak ada preseden dan sistim macam itu", kata kalangan BPD kepada TEMPO. Jika begitu jalan keluar yang melegakan memang belum lagi ada. "Tapi kita tak punya pilihan lain", kata Walikota kepada Koresponden TEMPO Rabu 6 April yang silam. "Untung saja BPD mau. Sebab si pemborong itu PT Pembangunan Sumbar masih anak perusahaan bank itu", kata Soetan menambahkan. Walikota masih tetap optimis. Tentu ia berharap pedagang menerima jalan keluar macam yang dikemukakan. Tapi sebegitu jauh pedagang masih diam. Padahal bulan depan Walikota merencanakan akan meresmikan toko-toko baru itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus