Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Telor, Sisakan 40 Kampung

Mengawinkan ayam jantan luar negeri jenis RIR dengan ayam betina kampung di Asahan, Sum-Ut, giat dilaksanakan. Bupati sendiri merasa perlu turun tangan menyematkan tanda pengenal kepada vaksinator.

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIRUK pikuk mengawinkan ayam jantan luar negeri jenis RIR (Rhode Island Red) dengan ayam betina kampung di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, (TEMPO 10 Juli 1976) tampaknya terus berkembang subur. Di pertengahan 1975, baru 3 kampung jadi sasaran, sampai Januari lalu, sudah menjadi 39. Jumlah pejantan yang mula-mula 540 ekor kini sudah meningkat jadi 20.000. Tersebar di 15 kecamatan. Hingga di kampung-kampung kawasan wewenang Bupati Haji Abdul Hanan Simatupang itu kini populer istilah naloka (betina lokal) dan jalari (jantan luar negeri). Untuk keperluan tersebut tak kurang dari 800 kader vaksinator disiapkan Dinas Peternalan Kabupaten. Semula jumlahnya cuma 96 orang. Kader-kader ini tak cuma bertindak sebagai mak comblang. Yakni mengatur tatacara perkawinan ayam berlainan jeni itu. Tapi juga merawat dan menjaga kesehatan ayam pemacak mancanegara yang kesohor manja itu. Juga yang lebih penting lagi ialah, menjaga jangan sampai terjadi breeding (perkawinan sedarah). Kalau ini sampai terjadi konon-bisa memerosotkan sifat jempolan ayam yang dihasilkan dari perkawinan campuran itu. Untuk itu pejantan-pejantan RIR itu harus dipindahkan dari satu kampung ke lainnya. Ini harus dilakukan pada generasi filial ke-3. "Tanpa kader-kader tersebut, proyek ini niscaya gagal", ujar M. Siahaan, Kepala Dinas Peternakan Asahan. Begitu pentingnya mereka, sampai-sampai Bupati Simatupang perlu menyematkan lencana tanda pengenal di dada masing-masing, pertengahan Pebruari lalu sekaligus untuk membedakan mereka dengan "mantri gadungan" yang menyuntiki ayam rakyat buat cari untung. Sebab menurut Siahaan. "ada mantri liar yang berobah obyek dari menyuntik manusia ke menyuntik ayam". Padahal untuk keperluan itu Dinas Peternakan Propinsi memberi bantuan 240 ribu dosis vaksin dan Dinas Peternakan Kabupaten 256 ribu dosis. Sehingga berhasil menekan angka kematian ayam ternak menurut Siahaan. "hanya satu persen rata-rata setahun". Telor Itu Perlu Tapi itu semua baru angka-angka menggiurkan buat modal berepot-repot sejak hampir 2 tahun itu proyek berlangsung. Produksinya sendiri bagaimana? "Produksi telor di Asahan meningkat". ucap 11. Siahan singkat kepada Amran Nasution dari TEMPO. Lalu buru-buru ia menurunkan bukti bahwa produksi telor pada Desember 1976 sebagian proyek sudah berproduksi mencapai 4.139.757 butir setahun. Ini jauh meningkat dibanding Desember 1975 - waktu proyek belum berproduksi - produksi telor buat seluruh Asahan cuma 2.592.700 butir. Berrti meningkat 100o, begitulah. Tapi tak berarti menggirangkan Siahaan. Sebab justru pada waktu hampir bersamaan, persisnya 6 bulan lalu, harga telor di seantero Sumatera Utara, jatuh. Dan yang paling terpukul tentu saja, produsen telor di Asahan. Sebab tatkala proyek belum berproduksi harga telor Rp 30 per butir. Tapi begitu mulai menghasilkan harga anjlok jadi Rp 23. Bahkan pernah Rp 17-18."Saya pernah menyuruh buang saja telor ke sungai dari pada dijual murah", tutur Siahaan. Dan cuma karena Bagansiapi-api, Panipahan, Pulau Halang dan daerah-daerah di Kepulauan Riau menangguk telor Asahan, hara sedikit tertolong. Namun tak berarti menolong proyek yang tampaknya cepat membengkak tanpa perhitungan cermat itu. Sebab peningkatan produksi tak seimbang dengan jumlah penduduk Asahan yang tak lebih dari 640.000 jiwa. Belum lagi usaha intensifikasi pemeliharaan ayam rakyat, bebek dan itik, menambah kenaikan produksi telor. Meski menurut Siahaan, dibanding kebutuhan gizi manusia normal yang mestinya 40 butir per tahun Asahan masih kekurangan telor. Hingga Siahaan sampai pada kesimpulan bahwa salah satu sebab harga telor jatuh ialah karena rakyat belum 'telor minded'. Ini tentu saja disanggah dr. TM Panjaitan, Kepala Dinas Kesehatan Asahan. "Sekarang masih banyak orang beranggapan bahwa makan telor ayam itu perlu, kalau habis bersenggama. Ini anggapan mesti dirobah", ujarnya sembari garuk-garuk kepala. Tapi tak kurang dari Profesor Hutasoit, Dirjen Peternakan berpesan kepada Siahaan (keduanya bertemu di Medan beberapa waktu lalu), "agar proyek itu tak usah dikembangkan sampai meliputi seluruh desa di Kabupaten Asahan". Sebab bagaimanapun menurut sang Dirjen "pemasarannya perlu difikirkan". Padahal rencana semula Bupati Asahan di tahun 1981 kelak, 221 kampung harus sudah memiliki proyek. Dengan tarjet Z0 juta telor. Dan teguran Dirjen Hutasoit cuma mampu mendorong sang Bupati mengeluarkan instruksi "sisakan 40 kampung".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus