HIRUK pikuk mengawinkan ayam jantan luar negeri jenis RIR
(Rhode Island Red) dengan ayam betina kampung di Kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, (TEMPO 10 Juli 1976) tampaknya terus
berkembang subur. Di pertengahan 1975, baru 3 kampung jadi
sasaran, sampai Januari lalu, sudah menjadi 39. Jumlah pejantan
yang mula-mula 540 ekor kini sudah meningkat jadi 20.000.
Tersebar di 15 kecamatan. Hingga di kampung-kampung kawasan
wewenang Bupati Haji Abdul Hanan Simatupang itu kini populer
istilah naloka (betina lokal) dan jalari (jantan luar negeri).
Untuk keperluan tersebut tak kurang dari 800 kader vaksinator
disiapkan Dinas Peternalan Kabupaten. Semula jumlahnya cuma 96
orang. Kader-kader ini tak cuma bertindak sebagai mak comblang.
Yakni mengatur tatacara perkawinan ayam berlainan jeni itu.
Tapi juga merawat dan menjaga kesehatan ayam pemacak mancanegara
yang kesohor manja itu. Juga yang lebih penting lagi ialah,
menjaga jangan sampai terjadi breeding (perkawinan sedarah).
Kalau ini sampai terjadi konon-bisa memerosotkan sifat jempolan
ayam yang dihasilkan dari perkawinan campuran itu. Untuk itu
pejantan-pejantan RIR itu harus dipindahkan dari satu kampung ke
lainnya. Ini harus dilakukan pada generasi filial ke-3.
"Tanpa kader-kader tersebut, proyek ini niscaya gagal", ujar M.
Siahaan, Kepala Dinas Peternakan Asahan. Begitu pentingnya
mereka, sampai-sampai Bupati Simatupang perlu menyematkan
lencana tanda pengenal di dada masing-masing, pertengahan
Pebruari lalu sekaligus untuk membedakan mereka dengan "mantri
gadungan" yang menyuntiki ayam rakyat buat cari untung. Sebab
menurut Siahaan. "ada mantri liar yang berobah obyek dari
menyuntik manusia ke menyuntik ayam". Padahal untuk keperluan
itu Dinas Peternakan Propinsi memberi bantuan 240 ribu dosis
vaksin dan Dinas Peternakan Kabupaten 256 ribu dosis. Sehingga
berhasil menekan angka kematian ayam ternak menurut Siahaan.
"hanya satu persen rata-rata setahun".
Telor Itu Perlu
Tapi itu semua baru angka-angka menggiurkan buat modal
berepot-repot sejak hampir 2 tahun itu proyek berlangsung.
Produksinya sendiri bagaimana? "Produksi telor di Asahan
meningkat". ucap 11. Siahan singkat kepada Amran Nasution
dari TEMPO. Lalu buru-buru ia menurunkan bukti bahwa produksi
telor pada Desember 1976 sebagian proyek sudah berproduksi
mencapai 4.139.757 butir setahun. Ini jauh meningkat dibanding
Desember 1975 - waktu proyek belum berproduksi - produksi telor
buat seluruh Asahan cuma 2.592.700 butir. Berrti meningkat
100o, begitulah.
Tapi tak berarti menggirangkan Siahaan. Sebab justru pada waktu
hampir bersamaan, persisnya 6 bulan lalu, harga telor di
seantero Sumatera Utara, jatuh. Dan yang paling terpukul tentu
saja, produsen telor di Asahan. Sebab tatkala proyek belum
berproduksi harga telor Rp 30 per butir. Tapi begitu mulai
menghasilkan harga anjlok jadi Rp 23. Bahkan pernah Rp
17-18."Saya pernah menyuruh buang saja telor ke sungai dari pada
dijual murah", tutur Siahaan. Dan cuma karena Bagansiapi-api,
Panipahan, Pulau Halang dan daerah-daerah di Kepulauan Riau
menangguk telor Asahan, hara sedikit tertolong.
Namun tak berarti menolong proyek yang tampaknya cepat
membengkak tanpa perhitungan cermat itu. Sebab peningkatan
produksi tak seimbang dengan jumlah penduduk Asahan yang tak
lebih dari 640.000 jiwa. Belum lagi usaha intensifikasi
pemeliharaan ayam rakyat, bebek dan itik, menambah kenaikan
produksi telor. Meski menurut Siahaan, dibanding kebutuhan gizi
manusia normal yang mestinya 40 butir per tahun Asahan masih
kekurangan telor. Hingga Siahaan sampai pada kesimpulan bahwa
salah satu sebab harga telor jatuh ialah karena rakyat belum
'telor minded'. Ini tentu saja disanggah dr. TM Panjaitan,
Kepala Dinas Kesehatan Asahan. "Sekarang masih banyak orang
beranggapan bahwa makan telor ayam itu perlu, kalau habis
bersenggama. Ini anggapan mesti dirobah", ujarnya sembari
garuk-garuk kepala.
Tapi tak kurang dari Profesor Hutasoit, Dirjen Peternakan
berpesan kepada Siahaan (keduanya bertemu di Medan beberapa
waktu lalu), "agar proyek itu tak usah dikembangkan sampai
meliputi seluruh desa di Kabupaten Asahan". Sebab bagaimanapun
menurut sang Dirjen "pemasarannya perlu difikirkan". Padahal
rencana semula Bupati Asahan di tahun 1981 kelak, 221 kampung
harus sudah memiliki proyek. Dengan tarjet Z0 juta telor. Dan
teguran Dirjen Hutasoit cuma mampu mendorong sang Bupati
mengeluarkan instruksi "sisakan 40 kampung".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini