Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nasibnya, dulu dan sekarang

Karena indahnya, di zaman kolonial, kota malang dijadikan tempat peristirahatan oleh para siswa. kini kota itu mau dijadikan kota pendidikan, industri dan pariwisata. (kt)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA tua Malang, yang 1 April lalu berumur 63 tahun ini, punya rupa-rupa julukan. Kota Kembang Jawa Timur, Parijs van Oost Java atau Zwitzerlandnya Indonesia. Ada alasannya. Di masa penjajahan Belanda, Malang yang mula-mula diperintah Dewan Kota (burgermeester) beranggotakan 11 orang (8 orang golongan Eropa, 2 Bumiputra dan seorang Timur Asing) diketuai Asisten Residen, tak cuma dibangun secara apik. Tapi juga mendapat perlindungan dan pemeliharaan amat cermat. Misalnya setiap taman kota diberi tulisan 'dilarang mengganggu tanaman', bukan sekedar sebagai hiasan. Tapi benar-benar disertai sanksi undang-undang. Walau cuma menginjakkan kaki di rumput, jika dipergoki polisi, yang bersangkutan pasti diseret ke pengadilan. Hingga meski hawa Malang tak sedingin dan selembab negeri Swiss, kota ini jadi tempat peristirahatan dan waktu itu banyak didirikan vacantie kolonie. Yakni tempat peristirahatan para siswa yang kurang sehat. Sekarang? Tentu saja ada perobahan, berkat perkembangan dan peningkatan pembangunan kota. Tapi diukur menurut umur atau diakurkan dengan bunyi semboyan kota yang berganti-ganti, tampaknya perobahan itu tak seberapa. Kalau tidak malah mundur dalam hal mutu. Meski tentu saja masing-masing zaman memang berbeda. Tapi semboyan-semboyan kotanya terasa begitu muluk: Malang nominor sursum moveor semboyan di zaman penjajahan yang berarti "Malang namaku maju tujuanku" atau sekarang (buah fikiran Prof. Dr. Poerbatjaraka) "Malangkucecwara" (Tuhan menghancurkan yang bathil, menegakkan yang hak). Maksudnya "rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat menghancurkan segala rintangan ke arah tercapainya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila". Ini kemudian diwujudkan dalam lambang kota berbentuk 3 lingga yang mencerminkan 3 tujuan kota: pendidikan, industri dan pariwisata. Tiga arah kota itu, menurut Thoha Mashudy yang di tahun 1962/1963 jadi Ketua DPRDGR Kotamadya yang mensahkan pola atau semboyan kota terakhir itu, ditetapkan sesuai dengan potensi yang dipunyainya. Soal ini sayang tak bisa dimainkannya lebih lanjut. Sedang Letkol R. Indra Soedarmadji (Walikota di 1968-1973) menganggapnya "bukan merupakan rencana yang acak-acakan, melainkan telah dipertimbangkan dengan masak atas dasar kenyataan serta kemungkinan perkembangan di masa datang". Ini antara lain mengingat kenyataan pada waktu itu (1962/1963) kota Malang "dibanjiri siswa-siswa dan mahasiswa dari seluruh Jawa Timur yang ingin melanjutkan sekolahnya". Tak Punya Toko Buku Hal itu berlangsung sampai sekarang, seperti diakui R. Koesno Soeroatmodjo, yang dikenal di sana sebagai "paunong praja tulen" dan pensiunan Walikota Malang 1958-1966. "Tepat", katanya sambil menambahkan bukti "adanya penambahan jumlah sekolah sampai sekarang". Pendeknya para sesepuh kota itu serempak akur menyebut Malang sebagai kota pendidikan. Apalagi bila diingat kotamadya yang luasnya 7.842 Ha terdiri 3 kecamatan itu punya 266 SD, 125 TK, universitas (2 negeri, 5 swasta) 1 IKIP dan 10 Akademi. Seluruhnya konon meliputi seantero cabang ilmu pengetahuan. Dan Malang membanggakan diri sebagai kota "pelbagai percobaan di bidang pendidikan." Misalnya sekolah pembangunan yang tersohor dengan SD Laboratorium IKIPnya Prof. Dr. Ny. Pakasi. "Kota ini mempunyai iklim yang memenuhi syarat yang membuat pelajar dan mahasiswa betah tinggal di sini. Juga lingkungannya cukup baik", komentar Prof. Darji Darmodiharjo, SH, Rektor Universitas Brawijaya dan Ketua Kopertis Wilayah VI. Dan diaminkan drs. Rosyidan, MA, Rektor IKIP Malang. Sedang Ny. Pakasi yang sudah 43 tahun berkecimpung di dunia pendidikan merasakan, "Malang yang tak terlalu besar ini dalam menghadapi pengaruh modernisasi dan kenakalan remaja, seumpama penggunaan narkotik dan dansa-dansi, relatif kecil pengaruhnya". Cuma Prof. drs. Wojowasito berpendapat lain. "Maaf belum bisa disebut kota pendidikan", katanya kepada TEMPO di Malang. Menurut ahli bidang ilmu bahasa, Guru Besar IKIP dan punya hobi sejarah dan ilmu sosial itu, "Malang belum punya persyaratan khusus yang menonjol buat disebut begitu". Kalau cuma jumlah sekolah yang jadi ukuran, katanya, Surabaya, Bandung memiliki syarat itu. "Toh kota-kota tersebut belum berani menyebut kotanya sebagai kota pendidikan?" Bahkan malangnya, menurut sang Prof., meski punya banyak lembaga pendidikan, Malang tak punya toko buku yang representatif. Pernah ada Sari Agung, tapi sekarang sudah angkat koper ke Medan. Perpustakaan cuma punya sebuah, yakni Perpustakaan Kotamadya dengan koleksi buku tak lebih dari 9.316 termasuk buku fiksi. Padahal Malang memiliki 12.000 mahasiswa di tahun 1976. Bidang industri dan pariwisata? Sekitar 147 industri makanan/minuman, 33 rokok/tembakau, 32 percetakan, 113 kayu/mebel, 23 pertekstilan dan lebih seratus lainnya, memang cukup lumayan menopang Malang sebagai kota industri. Tapi letaknya yang semrawut, membuat Malang menyedihkan. Dan Malang tanpa obyek pariwisata, (Wendit, Selecta dan lainnya milik Kabupaten Malang) kurang layak disebut sebagai kota pariwisata. Apa boleh buat. Meski dengan semua itu Malang tak berarti bernasib "malang".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus