KOTA tua Malang, yang 1 April lalu berumur 63 tahun ini, punya
rupa-rupa julukan. Kota Kembang Jawa Timur, Parijs van Oost Java
atau Zwitzerlandnya Indonesia.
Ada alasannya. Di masa penjajahan Belanda, Malang yang mula-mula
diperintah Dewan Kota (burgermeester) beranggotakan 11 orang (8
orang golongan Eropa, 2 Bumiputra dan seorang Timur Asing)
diketuai Asisten Residen, tak cuma dibangun secara apik. Tapi
juga mendapat perlindungan dan pemeliharaan amat cermat.
Misalnya setiap taman kota diberi tulisan 'dilarang mengganggu
tanaman', bukan sekedar sebagai hiasan. Tapi benar-benar
disertai sanksi undang-undang. Walau cuma menginjakkan kaki di
rumput, jika dipergoki polisi, yang bersangkutan pasti diseret
ke pengadilan. Hingga meski hawa Malang tak sedingin dan
selembab negeri Swiss, kota ini jadi tempat peristirahatan dan
waktu itu banyak didirikan vacantie kolonie. Yakni tempat
peristirahatan para siswa yang kurang sehat.
Sekarang? Tentu saja ada perobahan, berkat perkembangan dan
peningkatan pembangunan kota. Tapi diukur menurut umur atau
diakurkan dengan bunyi semboyan kota yang berganti-ganti,
tampaknya perobahan itu tak seberapa. Kalau tidak malah mundur
dalam hal mutu. Meski tentu saja masing-masing zaman memang
berbeda.
Tapi semboyan-semboyan kotanya terasa begitu muluk: Malang
nominor sursum moveor semboyan di zaman penjajahan yang berarti
"Malang namaku maju tujuanku" atau sekarang (buah fikiran Prof.
Dr. Poerbatjaraka) "Malangkucecwara" (Tuhan menghancurkan yang
bathil, menegakkan yang hak). Maksudnya "rahmat Tuhan Yang Maha
Esa dapat menghancurkan segala rintangan ke arah tercapainya
masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila". Ini kemudian
diwujudkan dalam lambang kota berbentuk 3 lingga yang
mencerminkan 3 tujuan kota: pendidikan, industri dan pariwisata.
Tiga arah kota itu, menurut Thoha Mashudy yang di tahun
1962/1963 jadi Ketua DPRDGR Kotamadya yang mensahkan pola atau
semboyan kota terakhir itu, ditetapkan sesuai dengan potensi
yang dipunyainya. Soal ini sayang tak bisa dimainkannya lebih
lanjut. Sedang Letkol R. Indra Soedarmadji (Walikota di
1968-1973) menganggapnya "bukan merupakan rencana yang
acak-acakan, melainkan telah dipertimbangkan dengan masak atas
dasar kenyataan serta kemungkinan perkembangan di masa datang".
Ini antara lain mengingat kenyataan pada waktu itu (1962/1963)
kota Malang "dibanjiri siswa-siswa dan mahasiswa dari seluruh
Jawa Timur yang ingin melanjutkan sekolahnya".
Tak Punya Toko Buku
Hal itu berlangsung sampai sekarang, seperti diakui R. Koesno
Soeroatmodjo, yang dikenal di sana sebagai "paunong praja tulen"
dan pensiunan Walikota Malang 1958-1966. "Tepat", katanya sambil
menambahkan bukti "adanya penambahan jumlah sekolah sampai
sekarang".
Pendeknya para sesepuh kota itu serempak akur menyebut Malang
sebagai kota pendidikan. Apalagi bila diingat kotamadya yang
luasnya 7.842 Ha terdiri 3 kecamatan itu punya 266 SD, 125 TK,
universitas (2 negeri, 5 swasta) 1 IKIP dan 10 Akademi.
Seluruhnya konon meliputi seantero cabang ilmu pengetahuan. Dan
Malang membanggakan diri sebagai kota "pelbagai percobaan di
bidang pendidikan."
Misalnya sekolah pembangunan yang tersohor dengan SD
Laboratorium IKIPnya Prof. Dr. Ny. Pakasi. "Kota ini mempunyai
iklim yang memenuhi syarat yang membuat pelajar dan mahasiswa
betah tinggal di sini. Juga lingkungannya cukup baik", komentar
Prof. Darji Darmodiharjo, SH, Rektor Universitas Brawijaya dan
Ketua Kopertis Wilayah VI. Dan diaminkan drs. Rosyidan, MA,
Rektor IKIP Malang. Sedang Ny. Pakasi yang sudah 43 tahun
berkecimpung di dunia pendidikan merasakan, "Malang yang tak
terlalu besar ini dalam menghadapi pengaruh modernisasi dan
kenakalan remaja, seumpama penggunaan narkotik dan dansa-dansi,
relatif kecil pengaruhnya".
Cuma Prof. drs. Wojowasito berpendapat lain. "Maaf belum bisa
disebut kota pendidikan", katanya kepada TEMPO di Malang.
Menurut ahli bidang ilmu bahasa, Guru Besar IKIP dan punya hobi
sejarah dan ilmu sosial itu, "Malang belum punya persyaratan
khusus yang menonjol buat disebut begitu". Kalau cuma jumlah
sekolah yang jadi ukuran, katanya, Surabaya, Bandung memiliki
syarat itu. "Toh kota-kota tersebut belum berani menyebut
kotanya sebagai kota pendidikan?" Bahkan malangnya, menurut sang
Prof., meski punya banyak lembaga pendidikan, Malang tak punya
toko buku yang representatif. Pernah ada Sari Agung, tapi
sekarang sudah angkat koper ke Medan. Perpustakaan cuma punya
sebuah, yakni Perpustakaan Kotamadya dengan koleksi buku tak
lebih dari 9.316 termasuk buku fiksi. Padahal Malang memiliki
12.000 mahasiswa di tahun 1976.
Bidang industri dan pariwisata? Sekitar 147 industri
makanan/minuman, 33 rokok/tembakau, 32 percetakan, 113
kayu/mebel, 23 pertekstilan dan lebih seratus lainnya, memang
cukup lumayan menopang Malang sebagai kota industri. Tapi
letaknya yang semrawut, membuat Malang menyedihkan. Dan Malang
tanpa obyek pariwisata, (Wendit, Selecta dan lainnya milik
Kabupaten Malang) kurang layak disebut sebagai kota pariwisata.
Apa boleh buat. Meski dengan semua itu Malang tak berarti
bernasib "malang".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini