Dari madrasah lahir tokoh-tokoh Islam yang memimpin negara. Iran kini memiliki 5.000 orang hojatulislam, 100 ayatullah, serta beberapa ayatullah uzma. Madrasah Faizieh di Qom yang didirikan Ayatullah Haeri pada tahun 1920-an melahirkan pemimpin macam Khomeini. Selain gratis dapat uang saku. TEHERAN, 27 Juni 1981. Hojatulislam Ali Khamenei baru mengawali khotbah Jumat di masjid Abu Zar -- bagian selatan Teheran. Sebuah tape-recorder nampak tergeletak di depan mikrofon. Tiba-tiba... jedorrr. Tape yang teryata sebuah bom tersebut meledak. Pundak kiri Khamenei terluka. Beberapa -- dan 5.000-an - jamaah juga cedera. Sehari setelah ledakan tape maut itu,sebuah bom makan korban lagi. Hari itu para anggota majelis (parlemen) dan beberapa menteri sedang membahas perekonomian Iran yang memburuk. Saat itu pula, bom yang ditaksir berukuran 30 kg menggelegar, memporak-porandakan gedung. Enam puluh sembilan orang tewas seketika. Sebagian karena ledakan, yang lain karena tertimpa reruntuhan. Di antara mereka adalah Ayatullah Behesti, salah satu ulama yang paling dipercaya Ayatullah Khomeini. Esoknya, empat orang menyusul tewas karena insiden tersebut. Lalu pada saat pemakaman para korban, kepala penjara Evin tewas diberondong peluru penembak gelap. Suatu peristiwa susul-menyusul yang benar-benar memukul hati Ayatullah Khomeini. Sekiranya para seteru yang hendak mencelakakan Ali Khameini masih hidup -- entah siapa boleh jadi mereka menyesali: calon korbannya tak mati. Apalagi melihat khatib itu diangkat menjadi presiden setelah gagal dibunuh. Malah kini Khamenei terpilih pula menjadi pemimpin tertinggi Republik Islam Iran menggantikan almarhum Khomeini. Yang juga dirangkul nasib baik, lolos dari bencana, adalah Hojatulislam Hashemi Rafsanjani. Sewaktu bom menghancurkan segalanya dan menewaskan puluhan orang tersebut Rafsanjani baru saja meninggalkan gedung. Ia selamat dan masih menjadi penentu pemerintahan Iran di bawah Khamenei. Pembunuhan terhadap para tokoh agama tersebut terasa rawan dan aneh. Jatuhnya sekian banyak korban jelas menyedihkan. Apalagi para tokoh pilihan. Yang ajaib, kenapa para ayatullah dan kaum mullah masih juga dimusuhi -- setelah Revolusi berlangsung. Bukankah mereka para pemuka agama. Namun, ini Iran, Bung. Negeri para mullah, negerin yang pemerintahannya terasa amat egaliter (mungkin setingkat Libya). Tengoklah Kota Qom -- pusat teologi dan studi Islam Iran -- buat memahami bagaimana negara itu. Qom-lah, dan bukannya Teheran yang sebenarnya menjadi "kawah candradimuka" para pemimpin Iran sekarang ini. Sebelum diusir dari Iran, Ayatullah Khomeini juga sudah punya begitu banyak murid dan pengikut di Qom, tempat ia menulis buku Kashf al-Asrar (pembongkaran rahasia-rahasia) yang secara blak-blakan menyerang Syah Reza Khan yang berkuasa. Beberapa di antara murid Khomeini di Qom kini jadi pemimpin-pemimpin Iran. Di antaranya adalah Rafsanjani, Ali Khamenei dan Montazeri. Juga Imam Musa Sadr, pemimpin masyarakat Syiah di Libanon, adalah murid sang Imam. Itu sebabnya terdapat hubungan erat antara kelompok Syiah Libanon dengan para pemimpin Iran sekarang ini. Kini, hubungan Teheran-Qom sudah begitu cepat dan lapang. Delapan jalur jalan bebas hambatan menghubungkan kedua kota tua yang berjarak 144 km itu. Dan kendaraan seperti tak habisnya mengantarkan penumpang antara Teheran dan Qom. Biasanya, setiap bis yang menuju Qom berangkat, sang kondektur selalu berteriak, "shalawat... !" Serentak penumpang pun mengucap selawat. Allahumma solli 'alaa Muhammad wa Aali Muhammad. Mau tahu bagaimana Qom? Masjid-masjid dengan menaranya berjajar menghiasi kota. Qom adalah tempat hauzeh -- padepokan ilmu, dan ladang madrasah. Salah satu madrasah yang besar adalah Madrasah Faizieh yang didirikan Ayatullah Haeri pada tahun 1920-an dan melahirkan tokoh macam Khomeini. Madrasah lain yang dominan adalah Madrasah Imam Ali, Madrasah Al-Zahra, dan Madrasah Imam ash-Shadiq. Sekolah-sekolah itu pada umumnya dibangun secara sederhana. Kamar para santri juga tak istimewa. Sebuah kamar murid Indonesia di Qom, misalnya, hanya beralaskan sebuah karpet yang agak kusam, dengan dipan kecil dan sebuah kipas angin di atasnya. Tapi kamar itu dipenuhi buku. Di tengah kota terdapat masjid dengan makam di dalamnya. Ia diberi nama Haram Ma'shumeh, berhubung di makam itu dikuburkan seorang yang dianggap mulia dan suci Fathimah al-Ma'shumah, anak perempuan Imam Musa, putra Ja'far Shadiq, salah seorang tokoh Syiah Imam Dua Belas. Makam itu mirip dengan makam para Sunan di Indonesia dengan terali besi warna keemasan sebagai pagarnya. Qom memang kota tua dengan sejarah yang susah lekang. Jenghis Khan pernah menghancurkan Qom. Tapi Qom bangkit kembali. Syah Reza Pahlevi juga pernah menundukkan kota itu, tetapi belakangan ia sendiri yang terjungkir. Sejak dulu hingga sekarang ini Qom boleh disebut kota pelajar. Penduduk kota yang kini diperkirakan 200 ribu -- mayoritasnya adalah santriwan dan santriwati. Dan sekitar 12 college yang ada di Qom, para siswa mendapatkan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan -- lebih dan itu -- keinginan mereka. Beberapa pelajaran memang diwajibkan, seperti hukum Islam (fikih) sejarah Islam filsafat, dan perbandingan agama. Selain itu, mereka berpeluang untuk mempelajari sejarah Yunani, sejarah kebangkitan Eropa, sastra, ilmu pasti, dan ilmu-ilmu lainnya. Selain ilmu-ilmu dasar -- seperti -- nahwu (gramatika bahasa Arab), Mantiq (dasar-dasar logika) -- para siswa madrasah Qom biasanya juga mempelajari kitab seperti Tahrirul Washilah dan Minhajus Sholihin (karya Ayatullah al-Khooi). Pada tingkat lanjut, kitab yang banyak dipelajari antaranya adalah Al-Mustamsik, Kifayatul Ushul, Lum'ah, dan al-Mahasib. Para siswa sekolah agama di Qom semuanya mendapatkan beasiswa dari sekolahnya kendati ia bukan orang Iran. Selain gratis mereka juga mendapat uang saku. Besarnya uang saku ditentukan berdasarkan tingkatan sang siswa. Uniknya, selain fikih Syiah, para siswa juga mempelajari ushul fikih empat mashab besar Suni, termasuk karya-karya besar mereka seperti Al-Umm karya Imam Syafi'i. Itulah sebabnya ulama Syiah sering mampu melakukan perdebatan dengan ulama Suni, seperti terjadi dalam kitab Al-Muraja'at (Dialog Sunah-Syiah). Para siswa di Qom biasanya membuat kelompok-kelompok di dalam masjid. Kadang mereka berjumlah puluhan, kadang mencapai ratusan. Bila kuliah Studium Generale (Bahstul Khariji) sedang berlangsung, umpamanya sering peserta kuliah mencapai ribuan orang. Berhubung Studium Generale sering diberikan oleh seorang ayatullah uzma. Kuliah jenis ini memang sering jadi ajang diskusi yang sangat menarik mereka, sekaligus jadi arena untuk menguji kemampuan sang dosen. Bila seorang hojatulislam dosen sering tampil secara bagus pada Bahstul Khariji (baik dan segi isi maupun bahasa) dan sukses dalam perdebatan-perdebatan kelak ia bisa digelari ayatullah. Gelar-gelar hojatulislam dan ayatullah, konon, memang datang dari forum tidak resmi begini. Selintas dapat dikatakan bahwa Madrasah Faizieh di Qom juga madrasah lainnya di Iran, dapat dibilang merupakan sekolah tradisional. Tapi dari lembaga semacam itulah lahir tokoh-tokoh Islam yang kemudian memimpin Iran. Mereka mengisi lapis-lapis hierarki keagamaan versi Syiah. Yakni ayatullah uzma, ayatullah dan hojatulislam. Kini di Iran terdapat sekitar 5. 000 orang yang bersebutan hojatulislam, sekitar 100 ayatullah, serta beberapa ayatullah uzma. Selain Khomeini, Madrasah Faizieh juga melahirkan orang sekaliber Ayatullah Murteza Mutahhari. Seorang "ulama yang intelektual" yang oleh banyak orang sering disebut sebagai contoh "beginilah seharusnya ulama bersikap." Mutahhari adalah satu dari sekian ulama Syiah yang menguasai segala aliran filsafat, sejak Aristoteles sampai Santre. Ia melahap habis karya-karya Will Durant, Freud, Bertrand Russell, dan Alexis Carrell. Dalam usia 36 tahun Mutahhari sudah mengajar logika, filsafat, dan fikih (hukum Islam) di Fakultas Teologia Universitas Teheran. Tahun 1963 ia ditahan bersama Khomeini. Ketika Khomeini dibuang ke Turki, Mutahhari mengambil alih kepemimpinan agama dan menggerakkan para ulama mujahidin. Semasa hidupnya, ia sempat beberapa kali ditahan rezim Syah Pahlevi, sampai ketika datang syahidnya, tepat seusai revolusi Iran 2 Mei 1979 melalui seorang penembak gelap yang memberondongkan peluru ke tubuhnya. Nama lain yang harus disebut berkenaan dengan revolusi Iran adalah Ayatullah Sayid Mohammad Hussein Behesti. Ia lahir di kota peradaban dunia -- Isfahan. Kakeknya adalah ulama terkenal pada masanya Ayatullah Sadeq Modaress Khatoun. Nama Behesh makin melambung setelah 1978 ketika ia (bersama Ayatulah Murteza Mutahhari) mendirikan kelompok Mullah Bejuang di Teheran. Kelompok inilah yang menjadi cikal bakal Dewan Revolusi. Behesti sendiri punya nama yang sangat harum di kalangan rakyat Iran. Ia juga berperan besar dalam menggelindingkan revolusi Islam di Iran. Saking hebatnya nama Behesti sampai-sampai di hampir tiap sudut negeri Iran (termasuk juga di Hotel Hilton dan Laleh Intercontinental) terpampang poster-poster Behesti yang bertuliskan: Behesti was a Nation. Dalam politik Behesti juga liat. Ia menyukai panggung politik yang penuh intrik. Satu koran Iran mengomentari gaya politik Behesti, "yang sela]u menggoyangkan cangkir tanpa pernah menumpahkan isinya." Kabarnya, Ayatullah Montazeri pernah menggelari Behesti: Rasputin. Ia pulalah sebenarnya -- bukan Khomeini langsung -- yang berhasil mendepak Bani Sadr dari kursi kepresidenan. Behesti juga pendiri kelompok milisi Hizbullah di Iran untuk menopang gerak Pasdaran -- pasukan pengawal revolusi. Kalaupun Behesti dianggap "cacat", hanyalah karena ia tak pernah ditahan Savak -- dinas rahasia Iran tempo dulu yang sangat terkenal bengis. Bahkan saat Syah terguling, ia masih tercatat sebagai pegawai kementerian pendidikan. Karenanya, sejumlah orang dari pihak revolusioner sempat mencurigainya sebagai agen Savak. Tapi kematian Behesti lantaran ledakan bom menghapuskan "cacat" itu. Pendukung revolusi yang lain yang mau tak mau harus disebut adalah Ayatullah Mahmoud Teleghani. Di kalangan luas di Iran, nama ini mungkin sudah hampir terlupakan. Tokoh yang pernah mendekam di penjara Syah Iran selama 15 tahun ini pernah menjadi Ketua Dewan Revolusi. Sikapnya diterima di kalangan intelektual, kaum agama, juga masyarakat bawah. Namun, ia tak cukup meledak-ledak untuk dapat menjadi ayatullah yang populer. Teleghani oleh kalangan Barat sering dianggap tokoh kaum moderat yang ikut menopang jalannya Republik Islam Iran. Namun, sayang, Teleghani hanya dapat merasakan negara rintisan kaum mullah selama dua tahun. Serangan jantung, dan bukan tusukan peluru, mengakhiri hidupnya. Yang juga dianggap segaris dengan Teleghani adalah Ayatullah Kazem Syariat Madari. Pada beberapa tahun awal, Syariat Madari sempat dianggap sebagai dwitunggal dengan Khomeini. Mungkin serupa kedudukan Bung Hatta di samping Bung Karno. Tidak meledak-ledak tapi malah cenderung mendinginkan api revolusi. Syariat Madari pula yang pada tahun 1963 memimpin para ayatullah untuk membela Khomeini. Namun sikap politiknya lebih lunak ketimbang banyak agamawan Iran yang lain. Sewaktu Iran masih dikuasai monarki, Syariat Madari cuma menginginkan adanya pemerintahan monarki berparlemen. Sedangkan Khomeini tegas mencita-citakan bentuk Republik Islam, dengan lebih dulu menyingkirkan fondasi lama. Perlahan kemudian nama Syariat Madari menyayup. Konon, ia sempat berada dalam tahanan rumah. Rupanya, dalam beberapa hal Syariat Madari memang kurang sejalan dengan Khomeini. Bagi Syariat Madari, menurut seorang diplomat asing di Teheran, sesungguhnya agama tidak lagi terancam setelah kepergian Syah Iran sehingga tak perlu adanya suatu pemerintahan Wilayat Faqih. Tapi bagi Khomeini, Wilayat Faqih teramat perlu antara lain karena Iran telah begitu rusak karena ulah Syah dan Barat dulu. Sebuah dialog menarik pernah terjadi antara dua ayatullah besar ini di Qom. Isi anekdot itu kurang lebih menceritakan bahwa Madari memprotes Khomeini berhubung dalam negara yang demokratis hendaknya peran seseorang (pemimpin) tidak terlalu besar. Khomeini menjawab bahwa perannya yang besar itu adalah "kehendak rakyat". "Rakyat selalu menurnuti dan menuntut agar saya terus membimbing mereka," ujar Ayatullah Khomeini. "Ya. Tapi kan Anda bisa menggunakan pengaruh Anda itu, agar rakyat tidak terlalu mengagungkan Anda," tutur Madari lagi. Serta-merta, Khomeini menjawab, "Bagaimana sih Anda ini? Di satu pihak Anda menginginkan demokrasi, tapi di pihak lain Anda minta agar saya membatasi keinginan rakyat." Selain Madari, yang juga menyayup namanya menjelang wafatnya Khomeini adalah Ayatullah Hussein Ali Montazeri. Ayatullah kelahiran Isfahan ini adalah salah satu murid Khomeini yang paling menonjol. Ia juga memiliki karisma yang tinggi kendati tidak semenjulang Khomeini -- sampai kemudian terpilih untuk menjadi "calon pengganti Khomeini." Tapi agaknya ia tahu bahwa mengurus negara bukanlah unianya. Ia merasa lebih pas mengajar di pesantren dan mengurus masjid. Karenanya Montazeri mengundurkan diri dan jabatan "putra mahkota" tersebut. Khomeini -- betapapun dekatnya dengan Montazeri -- menyetujui pengunduran diri tersebut. "Memimpin negeri seperti Iran," tulis Khomeini pada Montazeri, "membutuhkan kesabaran yang lebih dari yang Anda punyai." Nama yang kini naik daun adalah Ali Khamenei. Khamenei belum bergelar ayatullah. Ia baru berstatus hojatulislam. Tapi ternyata Khamenei yang kebetulan sedang menduduki kursi kepresidenan untuk kedua kalinya -- dipilih oleh Dewan Ahli (alias Majelis Ahli Agama) untuk menjadi pemimpin tertinggi. Padahal, imam salat Jumat di Universitas Teheran itu sebenarnya lebih menyukai sesuatu yang sederhana. "Kalau boleh," katanya,. "saya ingin kembali mengajar di sekolah." Namun, bangsa Iran ternyata menuntut laki-laki yang luput dari incaran tape maut delapan tahun lalu ini berperan lebih dari sekadar mengajar. Pada banyak negara lain, penguasa dan ulama adalah orang yang berbeda. Tapi Iran memang lain. Di sana para ulama harus, dan memang, siap menjadi penguasa. Bukan cuma karena memperoleh legitimasi dari rakyat. Tapi juga karena meyakini bahwa merekalah yang mendapat tugas dari Allah untuk menjadi penguasa. Kenyataannya mereka lebih tidak mempunyai kepentingan pribadi ketimbang banyak pemimpin lain di dunia. Baik ambisi kekuasaan, apalagi harta. Moralnya pun terjaga. Keyakinan pula yang akhirnya mendasari seluruh langkah banyak -- tidak semuanya tentu -- tokoh Iran. Juga Khomeini almarhum. Sewaktu seseorang mengkhawatirkan rencana revolusi 1979 dengan mengatakan "bagaimana jika tentara terus membunuhi rakyat secara masal? Tidakkah rakyat cepat atau lambat akan merasa bosan dan putus asa?" Khomeini menjawab tenang, "Tugas kitalah untuk berjuang dengan cara demikian sedangkan hasilnya di tangan Allah." Di mata Khomeini menurut cendekiawan Hamid Algar, "justru kurangnya strategi, penolakan melaksanakan perhitungan matang padahal begitulah galibnya dalam politik, merupakan bentuk tertinggi strategi revolusi dalam konteks Islam." Dengan kata lain: tanpa strategi itulah strategi. Apakah sikap ini masih akan dipegang pemerintah Iran sepeninggal Khomeini? Entahlah.Zaim Uchrowi dan Syfiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini