Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa para imam memimpin iran

Profil pemimpin tertinggi republik islam iran, ayatullah ruhollah khomeini. ia mengguncang dunia dengan segala sepak terjangnya yang dianggap kontroversial, menimbulkan rasa benci dan simpati.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khomeini yang mengguncang dunia dengan segala sepak terjangnya yang dianggap kontroversial, menimbulkan rasa benci dan simpati. Mengapa ayatullah uzma itu memiliki otoritas yang begitu dahsyat? Mengapa kaum mullah -- seperti Ali Khamenei atau Rafsanjani -- menguasai kepemimpinan Iran? MASSA yang berlinang air mata itu terus meratap berkepanjangan sambil merangsek maju. Sekitar sepuluh juta manusia -- seperlima penduduk Iran, dua kali jumlah warga Teheran -- bagai lautan hitam, histeris, Selasa pekan lalu. Helikopter meraung-raung di atas mereka, mencarikan jalan bagi Ali Khamenei, pemimpin baru Iran, ke pemakaman. Tapi massa tak peduli. Mereka gemuruh, mendesak, menarik-narik keranda, bahkan mencabik-cabik kain kafan. Akhirnya jenazah sempat terguling jatuh ke tanah. Ribuan orang tergencet, puluhan yang tewas diungsikan secara berantai lewat atas kepala. Orang-orang yang berduka itu tak dapat diatur lagi. Masing-masing merasa berhak mengantarkan tokoh pujaannya: Ayatullah Ruhollah Khomeini. Tak pernah ada kematian yang mampu menggerakkan luapan manusia sedemikian hebat dan membawa korban sebegitu banyak, dalam sejarah. Tak juga kematian Hirohito beberapa waktu lalu. Bangsa Iran telah berkata pada dunia: beginilah orang Iran mencintai pemimpinnya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tak ada tokoh yang namanya diobral sesering Khomeini. Baik untuk dicaci maupun disanjung. Inilah tokoh yang mampu mengguncang dunia. Tidak hanya di belahan Barat, seperti yang dilakukan Hitler, tapi juga menyapu hingga ke ufuk timur. Di mata Barat, bagi Saddam Hussein sang penguasa Irak, serta pada banyak negara Islam tradisionalis yang khawatir terbakar oleh "ekspor Revolusi Iran", Khomeini adalah nama yang patut, dan harus, dicurigai. Juga dicaci. Kalaupun diucapkan, sepantasnya diucapkan dengan bibir monyong. Namun, sebaliknya bagi jutaan manusia lain. Terutama di Iran. Juga bagi kalangan muslim muda yang dengan senang hati -- dan bangga -- memasang poster Khomeini di balik daun pintu kamarnya, almarhum adalah idola. Khomeini, bagi mereka, bukan sekadar Ayatullah Uzma -- strata keagamaan tertinggi di Iran. Bukan cuma wali fakih atau pemegang otoritas tertinggi "atas nama Allah". Almarhum yang memiliki sorot mata yang menggetarkan hati dunia (termasuk Ronald Reagan) adalah simbol kebangkitan. Pemilik lidah yang telah menyeru seluruh mustad'afin, kaum yang tertindas, agar "bangkit melawan segala bentuk penindasan." Sebuah seruan yang lantang dan menakutkan musuh-musuhnya. Orang boleh berbeda penilaian tentang Khomeini. Semua itu tak mengurangi kenyataan bahwa kakek itu telah menanam tonggak pada sejarah dunia sedemikian dalam. Pada tahun 1979, ia "memungkinkan sesuatu yang hampir-hampir mustahil." Di ambang usia 80 tahun, ia berhasil menggerakkan massa untuk mendongkel dinasti yang berkuasa selama 2.000 tahun. Hanya dengan menyeru dari pengasingan, lewat kaset, Khomeini membalik kompas sejarah Iran. Dari sebuah negara di Asia yang sering merasa diri "Barat", menjadi negara yang diharapkan - mempunyai identitas diri. Dan sebuah monarki, menjadi sebuah republik. Berbagai sepak terjang Khomeini, oleh sementara pihak, memang dianggap kontroversial. Iran segera dijadikan negeri Laa Saharqiyah, Laa Gharbiyah. Tidak Timur dan tidak Barat. Amerika Serikat dan Uni Soviet disebutnya "setan", karena mendominasi kekuatan politik dunia. Para pemusik diseru supaya diam karena dianggap hanya akan melemahkan jiwa. Salman Rushdie "divonis bunuh' setelah dinilai memperolok Islam. Lalu, yang paling dramatis, tudingan telunjuk Khomeini telah menyebabkan ribuan, bahkan mungkin jutaan, bangsa Iran berbondong menjemput maut yang mereka yakini sebagai mati "syahid" dengan menyerbu "si setan kecil Saddam." Yang sering menjadi pertanyaan kalangan luar: mengapa orang tua itu punya otoritas yang begitu dahsyat? Mengapa kaum mullah - seperti juga Ali Khamenei atau Rafsanjani - menguasai kepemimpinan negara Iran? Mengapa rakyat mempercayai mereka yang notabene "cuma lulusan pesantren"? Bukan pada Bani Sadr yang doktor dari Sorbonne? Akankah kaum berserban itu terus menguasai Iran sepeninggal Khomeini yang sedemikian karismatik? Jawaban untuk pertanyaan terakhir jelas "ya", kendati kaum oposisi di pengasingan seperti Bani Sadr dan Massoud Rajavi tentu tak suka. Iran memang khas. Bukan cuma karena negeri itu mempunyai akar kesejarahan yang panjang tanpa terputus. Tapi juga memiliki ciri keagamaan yang oleh banyak muslim yang lain belum sepenuhnya terpahami. Sejarah hidup Khomeini, juga para ayatullah lain, secara tidak langsung dapat menjelaskan nilai-nilai apa yang dipergunakan masyarakat Iran untuk membangun dan menjalankan negaranya. Tahun 1902 (ada yang menyebutkan 1900) Khomeini lahir, dan mendapat nama Rohullah Hendi. Ia lahir di kota kecil Khomein yang berdebu, yang konon bertepatan dengan kelahiran Fatimah - putri Nabi yang menurunkan para imam Syiah. Selagi Khomeini baru berusia lima tahun, ayahnya, Sayed Mustava Mussavi, berziarah ke Irak. Harap dicatat bahwa, bagi kaum Syiah, berziarah ke makam para imam adalah sesuatu yang dipentingkan. Dalam perjalanan itu, Mussavi tewas terbunuh. Ada yang mengatakan Mussavi dibunuh agen pemerintah dinasti yang dilawannya. Sumber lain meyakini ia tewas oleh pengawal bangsawan lokal. Atau karena konflik soal pemilikan tempat perairan. Yang pasti, darah telah mengalir. Darah? Ya, itu biasa bagi orang-orang Syiah. Bukankah Ali bin Abu Thalib - sepupu dan menantu Nabi Muhammad yang belakangan mereka sebut sebagai "imam pertama" - tewas di ujung pisau? Bukankah kematian Imam Hussein, yang dipenggal kepalanya atas perintah Yazid di padang Karbala kini wilayah Irak - selalu direkonstruksi dan didramakan sebagai "lambang penindasan"? Setiap tahun, setiap tanggal 10 Muharam, masyarakat Iran (baca: Syiah) masih memperingati kematian itu. Di antaranya dengan cara yang - bagi kalangan luar - mengerikan. Yakni dengan memukuli dan melukai diri, sehingga darah bersimbah ke sekujur tubuh. Kalaulah tidak sedang berseteru dengan Irak, tentulah mereka akan selalu berkunjung ke Karbala -- hingga abad lalu banyak di antdra orang Syiah yang sengaja menyimpan jenazah kerabatnya untuk dapat dibawa ke Karbala pada "hari kematian" Hussein itu. Pada Khomeini kecil telah tertanam bahwa mati dengan cara terbunuh, seperti yang menimpa ayahnya, adalah kematian terhormat. Cara kematian yang sama mungkin saja dapat menjemput dirinya dan kawan-kawannya yang lain, kelak. Pada Khomeini memang tak terbukti, karena nyawanya diputus oleh serangan jantung. Tapi sejumlah sahabat dekaynya meninggal dalam darah. Ayatullah Mutahhari dan Ayatullah Behesti, misalnya. Oleh ibunya, Khomeini ditempa untuk menjadi seorang yang gigih menghadapi musuh Islam. Ia belajar Quran sama antusiasnya dengan bila bermair bola. Ketika Khomeini berusia 15 tahun, ibu dari bibinya meninggal. Ia lalu tumbuh di bawah pengawasan kakak sulungnya. Baru pada usia 19 tahun, Khomeini berguru pada Ayatullah Abdul Karim Haeri - seorang teolog Iran terkemuka waktu itu, yang tinggal di Kota Arak. Tahun 1922, Sang Guru pindah ke Qom. Khomeini ikut. Ayatullah Haeri membangun Qom menjadi kota pusat budaya muslim yang baru, dan mendirikan Madrasah Faiziah - sekolah yang ternyata banyak melahirkan kaum mullah. Di Qom, Khomeini kemudian menetap? dan hanya diselingi oleh kepergiannya ke pengasingan. Di Qom pula api revolusi mulai marak membakar dada Khomeini dan para mullah lain. Khomeini sesungguhnya juga seorang yang lembut. Pada tahun-tahun awal di Qom, ia acap menulis puisi. Dalam usia senja, di tengah galaknya revolusi Iran, seorang murid dan sekaligus sahabat terdekat, Mutahhari, tewas (1979). Seperti ditulis Jalaluddin Rakhmat pada pengantar buku terjemahan karya Mutahhari, untuk itu Khomeini berkata haru, "Saya kehilangan seorang putra yang sangat tercinta. Khomeini memperdalam pengetahuan agamanya untuk menjadi ulama. Ia sadar bahwa dalam Islam seorang ulama tak cukup hanya menjadi guru ngaji dan tukang berfatwa. Tapi juga pemimpin umat. Dan Qom adalah tempat terbaik buat menggodok diri. Khomeini lalu memperdalam hukum-hukum Islam dan yurisprudensi. Ia menyantap pikiran Plato dan Aristoteles sama baik dengan menyantap ajaran tasawuf. Selain menjadi guru yang menghasilkan 1.200-an mullah, yang sekarang memimpin Iran, ia tak pernah absen dari pergerakan menentang Syah. Pertikaian Khomeini-Syah berkembang tajam di tahun 1963. Tentara Syah menyerbu Madrasah Faiziah. Dua belas mullah muda tewas. "Bila rezim Iran yang kejam mau memerangi kaum ulama," kata Khomeini, "mengapa mereka harus merobek Quran seraya menyerang Madrasah Faiziah?" Keadaan ini menaikkan pamor Khomeini, yang segera mendapat dukungan mahasiswa. Demonstrasi pecah di Teheran dan kota lainnya. Jutaan manusia turun ke jalanan. Lalu puluhan korban berjatuhan lagi dan Teheran pun dinyatakan dalam keadaan darurat. Syah mencoba membujuk Khomeini. Tapi Khomeini menolak. Bulan Juni tahun itu pula, ia ditangkap lalu divonis mati. Namun -- tulis Michael M.J. Fischer -- ia diselamatkan oleh beberapa ayatullah yang dipimpin oleh Ayatullah Syariat Madari. Selain menyatakan bahwa hukuman mati terhadap Khomeini hanya akan membahayakan pemerintah, mereka juga menghadiahi Khomeini gelar Ayatullah Uzma, lapis tertinggi ayatullah. Tahun 1964, Khomeini dibuang ke Turki. Tapi pemerintah setempat waswas. Kehadiran Khomeini di sana menyalakan gerakan mahasiswa setempat. Setahun berikutnya Khomeini pindah ke Nejef, di Irak. Sebuah tempat dekat makam Ali. Ia menetap di sana hingga tahun 1978. Kemudian tokoh itu pergi ke Prancis untuk menggalang kekuatan yang bakal menjungkirkan Syah Iran. Sewaktu di Nejef pula seorang anaknya meninggal secara misterius, yang diduga dilakukan oleh agen Savak -- dinas rahasia Iran ketika itu. Syah jijik pada ayatullah ini, karena Khomeini dianggapnya tak dapat diajak kompromi. "Khomeini?" cetus Syah sinis pada tahun 1976. "Tak seorang pun di Iran menyukainya kecuali teroris." Walaupun kemudian pernyataan Syah tersebut terbukti salah. Khomeini bukan orang yang mudah dipatahkan, juga tidak oleh Syah. Ia bukan saja menguasai rawzeh, suatu bentuk retorik tertentu yang mampu mengetuk hati khalayak dan menggalangnya. Tapi ia juga melangkah berdasar keyakinan. Dengan pemahaman keislamannya, ia -- dan para mullah -- menyusun konsep dan menjalankan Pemerintah Iran. Konsep itu tentu saja tak terpisahkan dengan konsepsi Syiah. Inilah yang membedakan Iran dengan negara Islam yang lain. Sebagai muslim, masyarakat Iran yakin bahwa "hanya Tuhanlah yang berhak menentukan hukum." Nabi hanyalah pelaksana hukum-hukum Tuhan. Mereka juga percaya -- tapi kepercayaan ini ditolak oleh mayoritas muslim -- status "pelaksana hukum" diwariskan pada dua belas imam. Imam terakhir lalu "menghilang" untuk kelak muncul kembali di akhir zaman. Di masa "imam masih bersembunyi" fukaha -- ahli hukum Islam -- yang menerima mandat menjadi pelaksana hukum-hukum Allah. Dialah yang disebut wali fakih. Dalam kehidupan modern hanya setelah Revolusi 1979, masyarakat Iran dapat memberlakukan konsep tersebut dalam kehidupan bernegara. Ayatullah Khomeini, juga para pengganttinya adalah wali fakih. Tak mengherankan bila tokoh tunggal macam Khomeini punya otoritas sedemikian tinggi, yang dapat memerahbirukan masyarakat. Tidakkah kekuasaan sebesar itu akan menjadikan seseorang sebagai diktator? Di tempat lain, mungkin saja. Tapi ternyata tidak di Iran, setidaknya semasa Khomeini. Khomeini sendiri adalah seorang egaliter. Ia hanya mengambil keputusan penting saja dan menyerahkan pemerintahan pada para pembantunya. Pada presiden, pada parlemen, serta institusi-institusi lain. Ia menghormati putusan para pembantunya. Sikap Khomeini terlihat jelas sewaktu menghadapi Ayatullah Montazeri. Dan semula Khomeini sebenarnya tak suka bila Montazeri diangkat menjadi bakal penggantinya. Ia kenal persis pada muridnya yang ia sebut "buah hatiku" ini. Montazeri pun lebih suka mengurusi masjid ketimbang menjadi "calon pengganti Khomeini". Dewan para mullah ternyata tetap memilih Montazeri. Menimbang sikap para mullah tersebut, Khomeini dan Montazeri menyetujui. Belakangan baru terbukti bahwa ayatullah itu memang bukan pilihan cocok pengganti Khomeini. Montazeri lalu mengundurkan diri. Khomeini mempertegas sikapnya, menunjukkan bahwa Montazeri terlalu lemah untuk memimpin negera yang belum dingin dari hangatnya revolusi. Kini ternyata Ali Khamenei yang memainkan tongkat Ayatullah Khomeini. Sebenarnya Khamenei belum berstatus ayatullah, melainkan baru hojatulislam. Tapi wasiat Khomeini sebagai wali fakih jelas menyebut namanya, yang selama ini cuma sebagai presiden untuk menjadi pemimpin tertinggi Republik Islam Iran. Apakah di tangan Ali Khamenei kaum berserban itu masih akan mengocok dunia? Selain waktu makin mengantarkan Iran menjauh dari panasnya revolusi, Ali Khamenei jelas tidak sekarismatik pendahulunya, yang lebih suka diam, bicara seperlunya, dan hidup bersahaja. Jauh dari Kota Qom -- di Jakarta -- seorang pengunjung bertanya pada penjaga stan pameran buku Islam, "Kamu tahu siapa Khomeini?" Yang ditanya menjawab sungguh-sungguh. "Ya! Ia tak suka menyuruh orang melakukan sesuatu buat dirinya. Ia masih sempat mencuci piringnya sendiri. Juga selalu bangun pada jam tiga dini hari untuk bermunajat pada Allah." Kini laki-laki pengguncang dunia itu tidak bisa lagi mencuci piringnya. Zaim Uchrowi dan Yulizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus