Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH pekerjaan rumah yang telat dikerjakan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pada 1999, konsultan keuangan Arthur Andersen, yang mengaudit keuangan perusahaan setrum ini, menyelipkan sebuah rekomendasi penting: pembangkit listrik berbahan bakar solar harus diganti gas.
Proses penggantian, kata Arthur Andersen, sudah harus selesai pada akhir 2005. Semua pembangkit harus sudah bebas solar pada tahun ini. Menurut mantan Komisaris PLN, M. Ikhsan, dari sekian banyak pekerjaan rumah PLN, inilah yang paling krusial.
Alasannya, penggantian solar dengan gas bisa mengurangi biaya sangat signifikan. Solar menghabiskan duit 10 kali lipat lebih mahal dibanding gas. Kalau saja PLN bisa mengurangi jumlah pembangkit tenaga solar sebanyak lima persen, biaya pun bisa susut sampai Rp 20 triliun.
Kenyataannya, sekitar 30 persen pembangkit hingga kini masih menggunakan solar. Padahal, harga minyak dunia sejak tahun lalu melonjak gila-gilaan hingga mendekati US$ 70 per barel—tertinggi sepanjang sejarah. ”Ongkos keterlambatan ini sangat mahal dan harus dipikul rakyat,” kata Ikhsan.
Meski begitu, staf ahli Menko Perekonomian ini menambahkan, PLN tak bisa sepenuhnya disalahkan. Tak ada yang mengira harga minyak akan naik setajam itu. Mendapat pasokan gas pun, tak mudah pula bagi PLN, yang arus kasnya selalu ”berdarah”. Produsen gas kerap minta jaminan duit di muka. Karena itu, PLN harus menyerahkan standby letter of credit, artinya harus menyetor duit dulu ke rekening penampung.
Belum lagi adanya ketakutan orang-orang di PLN mengambil keputusan. Seorang teman Ikhsan yang ikut dalam negosiasi pembelian gas bercerita. Saat produsen menetapkan harga jual gas US$ 3/mmbtu, mereka tak berani menyetujui pembelian, sebab harga itu jauh di atas harga pasar, yang waktu itu hanya US$ 0,4/mmbtu. ”Mereka khawatir dinilai tak efisien dan masuk penjara,” katanya.
Direktur Pelayanan Pelanggan PLN, Sunggu Aritonang, mengatakan, PLN sedang dalam proses diversifikasi. Pada kertas kerja PLN sudah tidak ada lagi pembangunan pembangkit yang menggunakan solar. ”Ini keputusan yang tidak bisa ditawar lagi,” katanya.
Tiga pembangkit baru di Cilacap, Cilegon, dan Tanjung Jati B dengan daya 2.016 megawatt sudah bebas minyak. PLN sedang berupaya mengurangi penggunaan BBM di sistem Jawa-Bali. Namun, diakuinya, ini sulit diterapkan di luar Jawa. ”Minyak masih mendominasi,” katanya.
Sungguh tak tahu pasti apakah rekomendasi Arthur Andersen sama sekali belum dilakukan. Tapi, kalaupun ada keterlambatan, ia yakin masalahnya pasti soal ketersediaan gas dan pendanaan. ”Semangat PLN adalah menggantinya, sehingga tidak ada lagi pembangkit bertenaga solar,” ujarnya.
Buat PLN, persoalan dana memang jadi masalah. Sampai 2002, duit yang ada di brankas perusahaan hanya cukup untuk operasional. Baru pada 2003, PLN bisa melakukan investasi baru. ”Mereka disuruh efisien, tapi duitnya cekak,” kata Ikhsan.
Lepas dari persoalan itu, kalau saja PLN bisa merampungkan pekerjaan rumahnya tepat waktu, ribut-ribut soal kenaikan tarif listrik tentu tak akan separah ini. Direksi perusahaan setrum ini pun tak akan berteriak keras minta subsidi. Pemerintah juga tak perlu terlalu pusing mengutak-atik besaran kenaikan tarif listrik. Dan yang penting, rakyat tak makin tercekik karena beban hidup yang kian berat.
Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi kerak. Penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit baru bisa sepenuhnya optimal pada 2008. Yang mengkhawatirkan, Ikhsan memperkirakan pada 2007 Indonesia akan krisis energi. Suplai kurang karena investasi pada 2004-2005 nihil. ”Ongkos ’telat mikir’-nya teramat mahal,” katanya.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo