Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSIAPAN pesta dan upacara nyaris tanpa cela. Toh, masih ada yang mengganggu pikiran Erwin Aksa menjelang pernikahan adik keduanya, Sabtu pekan lalu. Bos PT Semen Bosowa itu rupanya tak bisa melupakan tarik-ulur rencana kenaikan tarif dasar listrik antara pemerintah dan parlemen.
Kemenakan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini khawatir akan masa depan bisnis semennya. ”Kami pasti akan terpukul kalau kenaikan tetap dilakukan,” katanya. Selama ini, listrik menempati porsi terbesar dalam struktur biaya produksi semen—sekitar 40 persen.
Kalau komponen ini naik, dipastikan harga semen akan ikut melompat. ”Bisa sampai 12 persen,” ujar Erwin. Rencana pertumbuhan pasar tujuh persen pasti tak akan tercapai atau malah mungkin jadi negatif.
Bukan itu saja yang dikeluhkannya. Selama ini pabriknya lebih banyak nombok karena urusan listrik yang tak ajeg mengalir. Normalnya mereka membutuhkan 30 megawatt, agar produksi berjalan lancar. Pasokan yang tak cukup memaksa mereka memangkas pemakaian dari pukul 18.00 hingga 22.00 setiap hari. Penurunan daya itu bisa mencapai 10 megawatt alias sepertiganya—setara dengan pengurangan produksi 500 ton semen per hari.
Suara keberatan juga terdengar dari kalangan industri lain seperti tekstil dan garmen, yang bahkan sudah ”mengancam” akan gulung tikar. ”Ancaman itu riil,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Para pelaku industri makanan dan minuman juga sudah bersiap-siap.
Mereka mengeluhkan beratnya beban akibat kenaikan harga BBM, Oktober lalu. Apalagi, paket insentif, yang dulu dijanjikan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie sebagai kompensasi kenaikan harga minyak, sampai saat ini belum sepenuhnya terwujud. ”Kecuali penurunan biaya penanganan kontainer di pelabuhan,” kata Benny.
”Kami mau bayar lebih,” kata Erwin Aksa. Tapi dengan syarat: pelayanan harus prima. Jika ada kerugian akibat pasokan listrik yang naik-turun, atau bahkan sering byar-pet, Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga harus bersedia menggantinya.
PT Semen Bosowa punya pengalaman tak sedap tentang soal ini. Mereka sempat bersitegang dengan PLN karena listrik yang kerap mati atau turun tegangan membuat mesin pabrik berhenti. Untuk menghidupkan kembali, daya yang diperlukan langsung melonjak sampai 5 megawatt di atas rata-rata dalam beberapa saat.
Lonjakan beban itulah yang jadi masalah. Bagi PLN, setiap beban yang digunakan konsumen harus tetap dibayar. Jumlah lonjakan itu, sejak Oktober 2003 hingga akhir 2004, mencapai Rp 2,3 miliar lebih.
Erwin keberatan membayar. ”Tapi, PLN ini kan kuasanya minta ampun,” katanya. Mereka akhirnya membayar setelah sempat tercantum sebagai penunggak dalam laporan audit PLN oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tahun lalu.
Lain ceritanya dengan mereka yang mengulur kabel dari tiang listrik untuk menerangi jalan atau yang terang-terangan mencuri untuk menggerakkan industri. PLN justru tak berkutik menghadapinya.
Sepanjang September tahun lalu, PLN sempat menggelar razia besar-besaran untuk mencabut lampu-lampu penerangan jalan yang dialiri listrik tanpa izin resmi. Operasi digelar di beberapa kota seperti Bandung, Cirebon, Depok, Banten, Jakarta, hingga Kediri, Blitar, dan Tulungagung. Puluhan ribu unit lampu disita.
Sebagai buntutnya, gugatan datang dari mana-mana. Apalagi, dalam aksinya, PLN menyertakan pasukan Brigade Mobil Polri bersenjata lengkap. Seratusan warga dari kompleks Perumahan Pertanian Atsiri Permai, Depok, datang ke kantor PLN setempat untuk memprotes. ”Kami sudah bayar 3 persen dari total tagihan buat penerangan jalan. Jumlahnya Rp 648 juta setahun,” kata salah satu ketua rukun warga.
Kini, lampu-lampu yang dulu sempat digulung sudah diganti dengan yang baru, meski tetap tanpa izin. Warga mengeluh, aksi kriminalitas meningkat tajam bila malam tak cukup diterangi lampu, sedangkan PLN tak juga memasang penerangan legal.
Kerugian akibat lampu jalan liar ini memang tak bisa dianggap kecil. Dalam hitungan kasar PLN, sekitar 33 persen lampu penerangan jalan umum tergolong liar. Di daerah distribusi Jakarta dan Tangerang, misalnya, terdapat 302.541 lampu jalan dengan daya terpasang 37,327 megawatt. Dari jumlah itu, 101.221 lampu jalan berdaya 6,658 megawatt yang liar.
Di Jawa Tengah, audit BPK menemukan kerugian akibat lampu jalan liar ini mencapai Rp 113 miliar sepanjang 2004. Di Kota Madya Depok, PLN memperkirakan kerugian itu mencapai Rp 100 juta setiap bulan. Sedangkan di Jakarta, kebocoran lebih dari Rp120 miliar setahun.
Pabrik setrum ini makin tekor karena pencurian dengan modus lain juga menggila. Yang kecil-kecilan dilakukan dengan mengutak-atik meteran ukur di rumah-rumah. Tapi yang secara kualitas paling merugikan biasanya dilakukan kalangan industri, dan umumnya bekerja sama dengan oknum petugas di lapangan.
Untuk jenis ini, PLN Banten menghitung tak kurang dari Rp 25 miliar kerugian yang harus mereka tanggung tiap tahun akibat penyusutan energi secara nonteknis ini. Pencurian atau penggunaan arus listrik ilegal memang tergolong dalam kategori ini. Sebab, penyusutan energi bisa juga terjadi karena faktor teknis, seperti jaringan transmisi yang terlalu tua, sehingga meningkatkan panas dan memakan arus.
Bila digabung, angka penyusutan itu secara nasional mencapai 16,87 persen pada 2003. Tingkat kehilangan itu turun pada tahun berikutnya hingga 11,29 persen. ”Tanpa diminta pun, PLN akan berupaya menurunkan susut jaringan itu,” kata Direktur Utama PLN, Eddie Widiono.
Dalam audit BPK, masalah susut jaringan ini mendapat porsi besar sebagai sorotan. Sebab, dalam banyak kasus, PLN dianggap tak tegas melakukan pemutusan aliran listrik setelah menemukan penyimpangan. ”PLN hanya melaksanakan pemutusan atas tunggakan sebesar Rp 480 miliar dari jumlah Rp 2,053 triliun,” begitu bunyi audit BPK yang rampung pada 31 Mei lalu. Padahal, BPK menemukan piutang yang umurnya sudah tiga tahun lebih.
Contoh piutang yang pasti macet adalah rekening milik PT Polysindo Eka Perkasa Tbk. (Texmaco Grup), yang dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung pada 15 Februari 2005. Jumlahnya Rp 108,5 miliar. Kebocoran lain yang tak kalah besarnya terjadi dalam tubuh PLN sendiri. Salah satu yang kini tengah disidik polisi, hingga menyeret para petinggi di kantor pusat sebagai tersangka, adalah soal pengadaan mesin pembangkit listrik tenaga gas di Borang, Sumatera Selatan.
Kerugian negara diperkirakan Rp 122 miliar akibat penggelembungan nilai proyek. Eddie Widiono turut pula diperiksa sebagai saksi selama sembilan jam di Markas Besar Polri, Kamis pekan lalu. ”Saya tidak tahu ada markup,” katanya pada Erwin Dariyanto dari Tempo.
Banyak pihak menduga kasus Borang bukan satu-satunya. Pada 28 Desember lalu, kasus lain dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yakni dugaan penyimpangan dalam proyek Pelayanan Informasi Pelanggan dan Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI).
Pelapornya adalah Forum Masyarakat Peduli Listrik. Forum ini meliputi beberapa lembaga, seperti Indonesia Corruption Watch, Transparency For Indonesian Electricity (Trafic), dan Information and Communication Technology Watch.
Mereka mempermasalahkan proyek untuk wilayah distribusi Jakarta dan Tangerang senilai Rp 137 miliar, yang dilakukan dengan menunjuk langsung PT Netway Utama. Mestinya proyek sebesar itu dilakukan melalui proses tender.
”Proyek serupa dilakukan di Jawa Timur senilai Rp 144 miliar, dan sekarang sedang mulai di Jawa Tengah dengan kontraktor yang sama,” kata Andianto dari Trafic. Mereka juga mendesak penghitungan ulang atas proyek-proyek pembangunan pembangkit lain karena menduga telah terjadi praktek yang sama dengan kasus Borang.
Kebocoran sebetulnya sudah terdeteksi pula oleh radar BPK. Di antaranya nilai kontrak jasa supervisi yang terlalu tinggi dalam pembangunan pembangkit tenaga uap Labuan Angin, sebesar US$ 87 ribu—setara dengan Rp 800 juta lebih. Ketidakjelasan pertanggungjawaban sisa uang muka supervisi proyek pembangkit tenaga air Peusangan, Aceh Utara, senilai 274 ribu yen lebih dan Rp 2,4 miliar.
”Ada 23 indikasi penyimpangan,” kata Ketua BPK, Anwar Nasution, kepada Ahmad Fikri dari Tempo, Jumat pekan lalu di Bandung. Tapi, ia mengingatkan, laporan audit itu masih dalam bentuk draf, yang harus dimintakan klarifikasi lagi dari PLN. ”Belum final,” katanya. ”Belum bisa digunakan sebagai dasar penyidikan polisi.”
Sekecil apa pun indikasinya, banyak mata kini sedang mengamati PLN. Karena itu, babak berikut pengusutan kasus-kasus itu sangat ditunggu. ”Jangan sampai kita juga yang harus menanggung semua kebocoran yang mereka buat sendiri,” kata Benny Sutrisno.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo