Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa gerangan yang menyelamatkan Shahrazad? Cerita 1001 Malam dimulai dengan ingatan. Sultan Shahriar adalah lelaki yang menyimpan dendam. Pada suatu hari permaisurinya berbuat selingkuh dan ia tak bisa melupakan nista itu. Baginda pun bertitah agar wanita itu dipancung, dengan tambahan sebuah program yang bengis: tiap hari ia akan mengambil seorang perempuan untuk jadi permaisuri selama semalam, dan esoknya, di fajar menyingsing, istri-24-jam itu harus dibunuh.
Baginya, wanita semuanya sama; perempuan hanya sebuah rumus. Tiap rumus menghalau ciri yang berbeda-beda dari benda dan manusia, dan merenggutkan mereka dari konteks. Tiap konsep mencopot mereka dari sejarah, melenyapkan yang khas dalam ruang dan waktu masing-masing. Walhasil, menurut konsep, ”perempuan” adalah ”perempuan”, di mana pun dan kapan pun.
Dari Sultan Shahriar kita tahu, konsep membuat persoalan jadi rapi, jelas, dan efisien: kita tak perlu terpesona dan mencermati beda Aminah dari Audrey. Mereka bukan manusia konkret dengan rasa riang dan kesunyian masing-masing. Mereka telah diringkus dan dibenamkan ke dalam definisi. Dari Shahriar kita tahu, tiap definisi mengandung kekerasan.
Tapi Shahrazad selamat. Dalam cerita yang termasyhur ini, gadis itu memang tak dapat menolak ketika ia diboyong ke istana untuk jadi permaisuri dan calon korban penyembelihan. Tapi ia punya siasat yang cerdas: ia menghibur Sultan Shahriar dengan dongeng yang memikat. Tak hanya itu: dongeng itu tak pernah selesai dalam semalam—dan sebab itu baginda ingin agar Shahrazad melanjutkannya esok harinya. Perempuan itu urung dibunuh. Ia bisa menunda kematiannya sampai 1001 malam.
Apa yang menyelamatkan Shahrazad sebenarnya? Bukan karena ia mendongeng, melainkan karena ia menunda. Kata ”tunda” berasosiasi dengan kata ”tandu”. Begitulah Shahrazad menjunjung dongengnya dan meletakkannya dalam posisi tergantung antara dua penopang yang bergerak. Ada ketegangan di situ, juga kesementaraan dan ketakpastian. Ada ketakselesaian yang membuat orang mengejer terus, seakan lapar.
Di situlah Shahrazad sebenarnya sudah melawan seorang laki-laki yang hendak membalas dendam dengan sebuah rumus.
Dalam sikap Sultan Shahriar sebenarnya tersimpan keangkuhan: dengan dendam ia bikin waktu berhenti. Masa lalu diperlakukannya seperti kotak tertutup. Ingatan dibekukan dan dirawat seakan-akan bisa lepas dari seluruh waktu yang ramai dan ranum.…
Sebaliknya Shahrazad. Bagi perempuan ini (ia sosok yang imajinatif) waktu tak bisa dijadikan kotak tertutup. Waktu bukan ruang. Waktu seperti arus sungai. Meskipun kita berdiri di titik yang sama di sungai itu, kita tak pernah dibasuh oleh air yang sama. Tiap saat adalah penundaan. Kita tak tahu apa arti ”selesai”. Sungai itu tak berhenti di muara. Arus akan mengalir terus dan terus, air baru akan datang tak henti-hentinya dari hilir, akan merasuk ke laut, dan laut akan bergerak, bergelombang, tanpa kendat. Dengan kata lain: sebuah cerita perubahan.
Berendam di tengah sungai, kita bisa hayati itu. Tapi berdiri dari jauh, kita akan lihat sungai itu bukan sebuah perubahan yang tak kunjung berhenti. Ia akan tampak sebagai kali yang itu-itu juga.
Dalam ”melihat” memang tersirat jarak. Tanpa jarak, tak akan tampak apa yang kita hadapi. Yang jadi rancu (tapi tak selalu kita sadari) ialah tatkala kita anggap ”melihat” sama dengan ”mengetahui”. Sultan Shahriar merasa ”tahu” apa arti ”perempuan” karena ia melihat dari sebuah jarak, dari atas takhta. Nun di ketinggian itu, ia seperti sebuah teropong; ia ”menangkap” sesuatu, dan meskipun tak seluruh tubuh dan dirinya jadi saksi, ia simpulkan bahwa semua perempuan sama.
Sebagaimana umumnya penguasa, ia mempertaruhkan kepastian kepada yang bisa dilihat: mengawasi; membuat peta; membentuk ruang; menyusun daftar dan membangun lajur—baik di jalan maupun di katalogus penduduk. Mereka ingin agar aturan ajeg dan tertib, maka mereka patri hukum ke dalam aksara yang tertangkap mata.
Di atas takhta, mereka memang suka yang ajeg—sebagaimana Shahriar suka akan rumus dan daftarnya sendiri: dalam daftar itu, dalam lajur ”perempuan”, tak akan ada sesuatu yang tak terduga.
Terhadap semua itu, Shahrazad melakukan subversi: ia tarik sang penguasa ke dalam sebuah dunia lain. Sejak malam pertama ia duduk bersimpuh di dekat baginda. Dari mulutnya akan keluar bunyi derap kuda para penyamun dan suara ”Sezaaaam!” di pintu gua. Dari bibirnya akan terdengar desah vokal dan konsonan melukiskan derak layar di kapal Sinbad.
Berangsur-angsur, baginda pun sadar bahwa dengan hanya ”melihat” ia tak akan sepenuhnya tahu. Mata hanya bisa menangkap sesuatu sebidang demi sebidang, meskipun selama berabad-abad, sejak Plato, manusia lupa akan hal itu. Orang Yunani menyamakan kemampuan mata dengan kemampuan kognitif dan orang Jawa menyebut pengetahuan dengan kawruh, yang berakar kata weruh (melihat).
Tapi Shahrazad mendongeng selama 1001 malam. Ia bawa Shahriar ke dalam situasi di mana weruh bukanlah segala-galanya. Telinga pun terbuka—dan berbeda dengan mata, telinga menerima dunia sekaligus. Tak kalah penting, lewat kuping, pengindraan bergerak bersama waktu. Suara seperti waktu: mengalir, datang, menghilang. Ia adalah kesementaraan.
Maka arti ”selesai” jadi nisbi—satu kenyataan yang akan mengagetkan seorang sultan yang merasa dapat menguasai hidup sebagai sebuah garis yang bisa ia tentukan titik akhirnya. Tapi bersama dongeng, bersama imajinasi, dalam keasyikan bersua dengan bermacam ragam sosok dan perangai selama 1001 malam, hidup tak sama dengan sebuah garis. Hidup tak lurus, tak pasti, tapi apa salahnya? Ia tak monoton.
Lebih penting lagi: hidup akan terasa seperti arus sungai, yang akhirnya lebur ke dalam laut, hilang tapi juga tak hilang.
Dengan itu Shahrazad tak hanya menyelamatkan dirinya sendiri. Ia juga menyelamatkan Shahriar.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo