Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Malam Minggu Bersama <font color=#990000>Habib</font>

Kegairahan beragama di Indonesia menyuburkan majelis taklim yang dipimpin sejumlah habib, keturunan dari Hadramaut. Mereka mengajarkan agama lewat akhlak dan kecintaan kepada Nabi Muhammad. Sekaligus mematahkan tuduhan Islam dibawa dengan kekerasan.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.

Jaket hitam, kopiah putih, dan bendera yang bergelombang gagah merupakan lambang identitas anak-anak muda yang melupakan hedonisme remajanya, seraya menghabiskan malam Selasa bersama habib. Dan harus diakui, ini juga merupakan simbol menyebalkan bagi pengemudi metromini dan ribuan komuter para penduduk Depok, Bogor, Cimanggis, dan sekitarnya yang telah lelah bekerja tapi harus berjuang menembus hiruk-pikuk jalanan ini.

”Ngaji kok nyusahkan orang, dasaaar…,” sopir metromini berlogat Jawa Timur memaki. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi meng injak gas dan rem silih berganti. Rohim, Yakub, dan kawan-kawannya tidak mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Tapi, seperti melihat pendukung kesebelasan lokal, Jakmania, yang bergerak berkelompok, sopir ini berusaha menghindari tiap benturan dengan anak-anak muda yang memacu sepeda motor sonder helm itu.

Sang habib memang sosok populer. Gambarnya tampak di mana-mana: dari baliho yang mencolok berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga dinding rumah penduduk yang bersembunyi di gang-gang sempit. Tidak memiliki majelis yang menetap awalnya, habib ini lalu mengandalkan sebuah masjid jami masjid yang biasa dipakai untuk sembahyang Jumat sebagai basis dakwah nya di Pancoran, Jakarta Selatan. Dan manakala pengikut majelis yang dibina sejak 1998 ini berkembang menjadi ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu orang, tidak bisa tidak terganggulah lalu lintas di daerah sepanjang masjid itu. Kendaraan padat merayap di jalan depan masjid, dua sisi, hingga satu kilometer. Area rumah toko di kanan-kiri masjid pun menjadi tempat parkir dadakan.

Dia Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 37 tahun. Dakwah yang dulu dilakoninya secara bersahaja dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar yang bercabang banyak. Habib Munzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor, dan Kuala Lumpur. Majelis Rasulullah sendiri mengisi acara bim bingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.

Belajar bahasa Arab dan kemudian syariah dari beberapa habib ternama yang menguasai bidang itu di Jakarta, Munzir mengikuti tradisi panjang para habib: belajar agama di Hadra maut. Hadramaut belakangan menjadi destinasi belajar agama yang memikat bagi para pelajar yang berasal dari Indonesia, karena Mekah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing. Maka, di pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bim bingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz, ia mendalami ilmu fikih, tafsir Quran, ilmu hadis, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.

”Habib Umar bin Hafidz secara eksplisit melarang murid-muridnya berdemonstrasi atau ikut politik praktis,” kata Ismail Fajrie Alatas, sejarawan, kandidat doktor University of Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat, yang memperhatikan diaspora orang-orang Hadrami di Asia Tenggara. Habib Umar mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Allah dan Rasul tetap merupakan rujukan paling substansial. Namun ia tidak mengizinkan murid-muridnya mengkritik keras mazhab yang tidak sehaluan dengannya.

Habib Umar menekankan kesalehan individu, dan hasilnya bisa dilihat pada Munzir al-Musawa, bekas murid Ma’had Darul Mustafa dengan ceramahnya yang banyak menawarkan tasawuf dalam kemasan populer itu. ”Saya berdakwah dengan mengenalkan kelembutan Allah dan rasul-Nya yang jarang dibahas oleh para dai masa kini,” kata Habib Munzir al-Musawa.

Habib Munzir tak berhenti di situ. Baliho, umbul-umbul, drum band, live streaming video yang memungkinkan audiens lebih luas menyaksikan acara yang tengah berlangsung di Majelis Rasulullah, dan perencanaan matang layaknya yang dilakukan sebuah event organizer dikerahkan serentak. Mereka menawarkan gabungan antara dakwah dan showmanship. ”Masjid dan halaman penuh, sampai jalanan,” kata Taufik, orang Majelis Rasulullah, salah satu anggota panitia dalam acara Senin malam di Masjid Al-Munawar.

Satu ruas Jalan Pasar Minggu Raya mendadak jadi pasar malam. Maka terbentanglah arena jual-beli sepanjang 500 meter, dipenuhi pedagang yang menjual aneka rupa perlengkapan pengajian, dari kopiah, tasbih, gamis, sampai minyak wangi. Dua puluh ribu orang dalam acara malam Selasa, satu juta orang dalam acara spesial seperti malam Nuzul Quran di lapangan Monumen Nasional, Kamis malam dua pekan lalu, begitulah kesimpulan Taufik.

Tidak semua anak muda Ibu Kota lantas jatuh hati kepada Habib Munzir. Di bilangan Kebagusan, Pasar Minggu, seorang habib telah memulai langkahnya dengan kemasan yang tak kalah memukau. Membidik segmen yang sama, Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, pendiri Majelis Nurul Musthofa, di kawasan ini, memang berusaha meyakinkan anak-anak muda bahwa menghabiskan malam Minggu di majelis taklim itu tidak membosankan. Maka, tiap malam Minggu, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain. ”Bisa puluhan ribu orang datang,” kata Habib Abdullah bin Ja’far, Ketua Yayasan Nurul Musthofa, adik Habib Hasan bin Ja’far Assegaf.

Raungan arak-arakan sepeda motor dan letusan petasan biasa mengawali majelis taklim yang ajarannya berpusat pada gagasan yang berkembang di kalangan habaib ini: cinta Allah dan Rasul. Meniru gaya Wali Songo yang banyak memberikan tempat untuk budaya lokal, ia pun mengatakan, ” Syiar harus mengetahui apa yang disukai (umat).” Mungkin bisa dipahami mengapa Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, 33 tahun, yang menimba ilmu dari Pondok Pesantren Darul Hadits di Malang, Jawa Timur, kemudian suka menyitir cerita tentang wali dalam dakwahnya. Dan ini berbeda dengan Habib Munzir, yang berpendidikan Hadramaut dan gemar berkisah tentang keteladanan dalam keluarga Rasul.

Sama-sama berusia di bawah 40 tahun, punya karisma tinggi, kedua habib sadar akan kemasan dan teknologi. Dua majelis taklim besar di Jakarta dan sekitarnya itu mempunyai website dengan informasi lengkap, seperti jad wal majelis, kajian, dan perangkat identitas dari jaket sampai helm. Website kedua majelis itu misalnya bisa diakses di www.majelisrasulullah.org dan nurulmusthofa.org. Dari pemantauan, kedua website cukup rutin di-update, sedikitnya sepekan sekali.

Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf dari Yayasan Nurul Musthofa menggambarkan hubungan kedua majelis ini sangat positif. ”Tepatnya berlomba dalam kebaikan. Majelis lain sukses, kita juga harus bisa,” katanya. Seandai nya terjadi ketegangan di tengah jalan, Habib Munzir punya resep mujarab untuk mengatasinya. ”Dengan metode Nabi: berakhlak baik kepada semua, mencium tangan orang yang lebih tua, banyak tersenyum, dan tidak berat untuk memuji dan memuliakan orang lain walau di majelis saya sendiri, maka kita tak punya musuh,” katanya.

l l l

Ramadan tak lama lagi berakhir, dan Yakub, si pemegang bendera, menjadi sibuk luar biasa. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, malam-malamnya diisi dengan agenda kegiatan yang demikian padat: di kawasan Empang Bogor pada 21 Ramadan malam, di makam Habib Kuncung, Kalibata, pada 22 Ramadan malam, di majelis Al-Hawi di Condet pada 23 Ramadan malam, di Kwitang pada 25 Ramadan malam, dan di Pekojan (Hb. Ibrahim Kramat Pulo) pada 27 Ramadan malam. Seperti ayahandanya, Yakub pengunjung setia majelis taklim habaib yang tersebar di Jakarta dan Bogor. Kegiatan sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadan ini diawali dengan membaca ratib bersama, kemudian membaca asmaul husna, mendengarkan tausiah, salat isya, dan ditutup dengan tarawih bersama.

Dan satu lagi, demi menjaga perasaan hadirin di majelis-majelis tradisi onal itu, ia cukup mengenakan kopiah putih dan setelan baju koko putih, tanpa jaket hitam kebanggaan pengikut pengajiannya. Yakub sengaja menghindari eksklusivitas kelompok. Dengan begitu, ia mudah berbaur dengan massa dari majelis lain yang mengharapkan kedatangan lailatulkadar. Yakub telah menjalankan tradisi turun-temurun keluarganya dan ia telah memperlihatkan sebuah local wisdom dalam keputusannya itu.

l l l

Rohim dan Yakub dari Jagakarsa, Taufik dari Kalibata, semua bergerak mendekati nukleus yang berdaya tarik besar: Munzir al-Musawa, Hasan bin Ja’far Assegaf, dan sejumlah habib lain. Delapan dasawarsa silam, seorang habib kelahiran Betawi yang mengenyam pendidikan agama di Hadramaut dan Hijaz pulang kampung dan mulai melakukan sesuatu yang rutin, sederhana, tapi berakibat besar.

Ia seorang pedagang yang berdomisili di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Pagi-pagi sang habib sudah membuka tokonya yang terletak di Tanah Abang. Melayani pembeli dan kebutuhan lainnya, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi kemudian bersiap-siap pulang ketika matahari tinggi, pukul 11.00-12.00. Ya, ia pulang, tapi tidak langsung ke rumah. Mengendarai kuda, ia bergerak sampai jauh, dari kampung ke kampung, menawarkan dagangannya, sembari berbincang-bincang mengenai pelbagai masalah agama dengan kiai-kiai setempat.

Bertahun-tahun ia menjalani rutin itas ini sampai akhirnya terbentuklah jaringan yang luas, dan terbitlah gagas an untuk membangun sebuah majelis taklim yang menjadi wadah tempat kiai-kiai lokal itu membawakan pidatonya. Waktu dan tempat ditetapkan, Minggu pagi, di Kwitang, dan sejak itu berlangsunglah tradisi hadir tiap Ahad pagi di tempat yang sama, hingga kini. Dan saking populernya pengajian ini, tak ada kiai di Betawi yang menyelenggarakan pengajian pada Minggu pagi.

Habib Ali al-Habsyi dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang adalah sosok yang paling berjasa mempopulerkan maulud di Jakarta. Maulud adalah teks yang bercerita tentang kelahiran Nabi yang selalu dibacakan dalam aneka peristiwa penting, seperti kelahiran dan sunatan. Maulud menjadi penting karena naskah ini juga menyentuh satu konsep teologi bahwa Tuhan meletakkan nur Muhammad sebagai sebuah ciptaan yang merupakan awal dari segala makhluk, karena ia manifestasi dari cahaya Tuhan sendiri. ”Maka orang Betawi dulu, kalau bikin maulud, harus ada habib. Belum ada habib belum afdal,” kata Ismail Fajrie Alatas.

l l l

Dua puluh ribu orang dalam pengajian harian, sejuta orang dalam pengajian-pengajian istimewa, seperti maulud, Nuzul Quran, dan Isra Mikraj. ”Cara mereka berdakwah itu menunjukkan ada kecocokan di tengah-tengah masya rakat, sehingga masyarakat mau berduyun-duyun datang ke majelis-majelis mereka,” kata Menteri Agama Surya dharma Ali. Tidak dimobilisasi, tidak diberi bus, tidak dikasih makan, mereka datang dengan sukarela, dengan ikhlas. ”Saya orang partai, memobilisasi orang 10 ribu, busnya disediakan, nasi bungkusnya disediakan, memang cost-nya tinggi. Ini malah enggak.” Ia melihat sisi positifnya: daripada tawuran, anak-anak muda diajak berzikir, berselawat.

Empat dasawarsa sepeninggal Habib Ali Kwitang (1875-1968), sesuatu yang alamiah terjadi: regenerasi habaib. Se iring dengan perkembangan zaman, pola dakwah dan pendidikan para habib pun banyak berubah. Tapi, dalam kurun sepanjang ini, mungkin ada satu yang tidak banyak berubah: godaan dari para politikus. Habib Abdurrahman al-Habsyi, kini penyelenggara acara hadir tiap Ahad di Kwitang, mengingatkan. ”Massa besar pasti jadi incaran, padahal rayuan politik kadang halus, tak terasa,” katanya.

Idrus F. Shahab, Harun Mahbub, Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus