Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARUSNYA Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang mengeluarkan instruksi 17 solusi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota, bukan Wakil Presiden Boediono. Gubernurlah yang bertanggung jawab menyusun strategi penyelesaian kemacetan di Jakarta, bukan lembaga lain. Meski sejumlah kementerian, juga kepolisian, punya kewenangan mengurai kemacetan Jakarta, Gubernur DKI mestilah berfungsi sebagai ”kepala proyek” solusi kemacetan akut tanah Betawi itu.
Harus diakui, banyak langkah yang bersinggungan dengan wilayah kerja sejumlah kementerian. Menerapkan pungutan biaya untuk jalur tertentu, meneruskan Transjakarta, mempercepat pembangunan kereta bawah tanah mass rapid transit, dan membentuk otoritas transportasi Jabodetabek tak mungkin berjalan tanpa melibatkan instansi lain. Kementerian Perhubungan, Keuangan, Pekerjaan Umum, dan pemerintah provinsi sekitar Jakarta memang punya andil yang tak sedikit. Namun Gubernur DKI Jakarta seharusnya tampil sebagai leader untuk pekerjaan besar ini.
Siapa pun tahu, masalah yang ada di Jakarta membutuhkan penanganan dan penyelesaian lintas otoritas. Tidak hanya kemacetan, tapi banjir, urbanisasi, dan pembiayaan proyek-proyek pun tak cukup hanya mengandalkan otoritas yang dimiliki gubernur. Namun gubernurlah yang harus berada di depan: dari mengambil inisiatif, menyusun rencana, mengatur koordinasi antarlembaga, hingga melakukan implementasi. Bila soal penyelesaian kemacetan sudah ”diambil alih” pemerintah pusat, itu pertanda penguasa wilayah ”sudah lempar handuk” untuk mengurus daerahnya.
Publik pantas kecewa terhadap kinerja Gubernur Fauzi. Sejak dia menjadi gubernur melalui pemilihan langsung sekitar tiga tahun lalu, harapan warga Jakarta cukup tinggi. Fauzi, yang sudah berada di dalam Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama tiga dekade, punya latar belakang pendidikan impresif, yaitu master arsitektur dan perencanaan kota, juga gelar doktor dari perguruan tinggi di Jerman. Sehingga slogan ”serahkan pada ahlinya” yang dia dengungkan semasa kampanye sangat meyakinkan.
Kini slogan itu sering kita dengar sebagai cemooh belaka. Sebab, publik tidak merasa ”sang ahli” telah melakukan pembenahan berarti. Gubernur Fauzi malah kerap terdengar defensif, seperti mengungkapkan keterbatasan kewenangannya atau menyalahkan pihak lain, misalnya menuding banyaknya sepeda motor sebagai penyebab kemacetan. Keluhan Gubernur itu tak berdampak apa pun. Kemacetan lalu lintas semakin gila-gilaan saja. Di Jakarta, bila lalu lintas lancar, orang malah bertanya-tanya apa sebabnya. Menurut sebuah penelitian, kerugian ekonomi akibat pemborosan bahan bakar dan dampak kesehatan mencapai Rp 12,8 triliun per tahun. Jakarta diprediksi bakal mampet total pada 2014.
Tak mudah mengurus trafik Jakarta. Tapi tak ada pejabat yang boleh menyerah. Banyak kota di dunia dengan tingkat kemacetan melebihi Jakarta bisa sukses keluar dari problem besar dan rumit itu. Curitiba dan Bogota adalah dua kota yang berhasil mengembangkan angkutan massal bus jalur khusus—yang ditiru di sini dengan proyek Transjakarta. Bangkok, ibu kota Thailand, sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu berkat pembangunan monorel.
Gubernur Fauzi bisa mencoba resep yang sama. Dia juga boleh mencoba ”kereta ringan” di jalur yang sekarang dipakai busway, misalnya. Dia juga harus berteriak lebih kencang soal ide megapolitan yang kini tak terdengar lagi. Jakarta akan semakin salah urus bila tak ditangani sejak besok pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo