Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINYALEMEN bahwa semua kandidat anggota Komisi Yudisial punya ”cacat” merupakan peringatan bahwa komisi itu sedang menghadapi masalah besar. Menurut Koalisi Pemantau Peradilan—lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengamati proses seleksi—setiap kandidat setidaknya punya satu masalah: dari korupsi hingga menyontek karya ilmiah. Padahal sebentar lagi komisioner Komisi Yudisial harus lengser. Ketua Komisi saat ini, Busyro Muqoddas, sedang menjalani seleksi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Siapa pun yang terpilih menjadi Ketua Komisi Yudisial selayaknyalah menyadari bahwa lembaga itu merupakan elemen penting penegakan hukum di republik ini. Komisi berwenang memilih hakim agung—penentu putusan paling tinggi setelah hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Komisi juga punya hak menegur atau memecat hakim nakal. Undang-undang menyebutkan Komisi Yudisial bertugas ”menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”. Kita mafhum: salah satu unsur mafia pengadilan adalah hakim yang gampang main mata.
Tapi, lima tahun sejak didirikan, Komisi Yudisial boleh dikata tak melakukan gebrakan berarti. Sebanyak 6.000 laporan masyarakat kini menumpuk menunggu penanganan. Keterbatasan tenaga Komisi disebut-sebut sebagai kendala. Tapi, lebih dari itu: Komisi Yudisial telah salah menerapkan strategi. Menangani hakim bandel yang jumlahnya ribuan tentu bukan perkara mudah. Komisi harus proaktif. Salah satu yang layak dilakukan adalah membuat database dan mengklasifikasi hakim berdasarkan indeks integritas.
Mula-mula hakim diidentifikasi berdasarkan profilnya: daftar riwayat hidup dan daftar kekayaan mereka diperiksa dengan saksama. Hakim yang dicurigai memiliki kekayaan tak wajar ditelisik lebih jauh: kasus yang pernah ditanganinya diperiksa. Mereka yang mencurigakan bisa ditelusuri lebih lanjut. Lingkungan sekitarnya kalau perlu diwawancarai. Rekening bank mereka bisa juga dipelototi—dengan meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Klasifikasi hakim berdasarkan penelusuran berlapis ini akan mempermudah Komisi dalam menangani perkara. Laporan publik yang bertumpuk itu bisa disusun berdasarkan tingkat ”kenakalan” hakim yang dilaporkan. Semakin nakal, semakin diprioritaskan. Pembuktian jadi lebih mudah karena data pendukung sudah di tangan. Dengan kata lain: laporan masyarakat cuma ”gong” untuk menjewer hakim bandel.
Selanjutnya adalah pemantauan proses persidangan. Sidang-sidang yang dipimpin hakim ”nakal” dan ”setengah nakal”—jika perlu—dipantau dengan kamera pengawas. Menyadari dirinya diawasi, hakim diharapkan sungkan bertindak macam-macam. Intelijen Komisi perlu disebar di seputar pengadilan. Setiap interaksi dan transaksi yang mencurigakan diamati dengan saksama.
Kendala pendanaan untuk menjalankan gagasan ini tentu harus dipikirkan. Dibiayai negara, anggaran Komisi mungkin tak seberapa. Karena itu, Komisi tak boleh menutup pintu untuk kerja sama dengan pihak luar. Asalkan tak mengganggu integritas Komisi, bantuan pihak ketiga—yang punya komitmen dan dipastikan tak punya konflik kepentingan—bolehlah dipertimbangkan.
Indonesia membutuhkan Komisi Yudisial yang kuat. Pemimpin Komisi masa depan adalah pemimpin yang tak semata-mata bersih, tapi juga trengginas mencari ide untuk menghukum hakim nakal. Dengan kata lain: bukan komisioner yang cuma menadah bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo