Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Wacana perubahan masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode kembali mencuat.
Dari hasil survei, mayoritas responden menolak masa jabatan presiden tiga periode.
Istana menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Wacana perubahan masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode kembali mencuat. Sabtu pekan lalu, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, menggelar syukuran kantor Sekretariat Nasional Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 atau JokPro 2024 di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qodari merupakan penggagas Komunitas JokPro 2024. Direktur lembaga survei itu kini menjabat penasihat komunitas tersebut. Wacana presiden tiga periode sempat dilontarkan Qodari pada Februari-Maret lalu.
Qodari terang-terangan mendorong Jokowi bisa maju lagi dalam pemilihan presiden 2024. Dia sadar bahwa wacana itu bakal terbentur Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 lantaran masa jabatan presiden satu periode dan hanya bisa diperpanjang satu periode. Qodari pun mendorong dilakukannya amendemen konstitusi. "Ada aturannya di konstitusi. Itu bukan barang haram," ujarnya setelah acara syukuran kantor Seknas JokPro 2024.
Amendemen konstitusi diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan sejumlah syarat perubahan, di antaranya usul yang diajukan 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, usul tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota, dan keputusan amendemen disetujui 50 persen plus satu anggota MPR.
Qodari menilai ide perpanjangan periode masa jabatan presiden bukanlah pengkhianatan cita-cita reformasi. Pada era reformasi, setelah Soeharto lengser, upaya awal yang dilakukan adalah membatasi masa jabatan presiden. Menurut Qodari, ide perpanjangan waktu ini sekadar menambah sekali lagi masa jabatan presiden, bukan menghilangkan aturan masa jabatan presiden seperti Orde Baru. Qodari mengklaim gagasan lahirnya Komunitas JokPro 2024 dan dorongan agar Jokowi tiga kali menjabat sebagai presiden merupakan aspirasi masyarakat.
Presiden Joko Widodo menerima Dewan Pengarah Badan Ideologi Pembinaan Pancasila di Istana Negara, Jakarta, 9 Mei 2019. TEMPO/Subekti
Wacana masa jabatan presiden tiga periode bukan hal baru. Pada Maret lalu, mantan Ketua MPR sekaligus pendiri Partai Ummat, Amien Rais, menyebutkan adanya upaya pemerintah untuk mengubah batas masa jabatan presiden menjadi maksimal tiga periode.
Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya, Arief Poyuono, menyatakan pemerintahan Presiden Jokowi masih mendapat dukungan dari masyarakat. Menurut Arief, konstitusi menjadi satu-satunya halangan bagi masyarakat yang berkeinginan Jokowi memimpin lebih lama lagi. "Kalau konstitusinya nanti berubah dan Jokowi diminta oleh masyarakat Indonesia untuk maju kembali, pasti dia akan mau," ujar Arief, pada Maret lalu.
Tiga bulan setelah wacana tersebut mengemuka, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis survei nasional ihwal sikap publik nasional terhadap amendemen presidensialisme dan Dewan Perwakilan Daerah secara daring, kemarin. Hasil survei menyebutkan sebanyak 74 persen dari 1.220 responden ingin jabatan presiden dua periode dipertahankan. Sisanya, responden yang ingin masa jabatan presiden diubah hanya 13 persen. Sebanyak 13 persen juga menyatakan tidak bersikap. Walhasil, SMRC berkesimpulan bahwa gagasan mengubah aturan masa jabatan presiden saat ini tidak mendapat dukungan masyarakat.
Survei tersebut dilakukan dengan wawancara lapangan pada 21-28 Mei 2021 terhadap 1.220 responden secara acak. Adapun margin kesalahan sebesar 3,05 persen dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
Namun, dalam survei tersebut, saat ada pertanyaan "Setuju atau tidak Jokowi harus kembali menjadi capres 2024?", responden yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju mencapai 52,9 persen. Adapun responden yang menjawab sangat setuju dan setuju mencapai 40,2 persen. Sedangkan sisanya tidak tahu atau tidak menjawab. "Artinya, perubahan itu ada efek Jokowi," kata Direktur Komunikasi SMRC, Ade Armando, kemarin.
Majalah Tempo pekan ini menurunkan laporan bahwa isu amendemen UUD 1945 tentang perubahan masa jabatan presiden ditengarai menjadi agenda khusus sejumlah tokoh di Istana. Sepanjang pekan lalu, majalah Tempo menemui belasan petinggi partai politik, yang mayoritas berasal dari partai pendukung pemerintah, dan lembaga survei yang mengetahui manuver Istana. Sejumlah sumber menolak namanya disebut karena wacana ini terkait dengan "dapur Istana". Mereka membeberkan sejumlah menteri dan mantan pejabat yang dekat dengan Jokowi ikut merancang skenario kepemimpinan tiga periode. Para politikus itu mengaku telah didekati oleh orang-orang dekat Jokowi tersebut ataupun utusannya.
Mereka bercerita, ada dua skenario yang digulirkan. Pertama, membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Skenario kedua memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun. Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota DPR dan DPD. Namun masa jabatan kepala daerah mungkin tidak akan terpengaruh. Jika skenario tersebut berjalan, pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.
Skenario apa pun yang dipilih akan tetap membutuhkan amendemen UUD 1945. Perubahan konstitusi harus diusulkan minimal oleh sepertiga jumlah anggota MPR atau 237 dari 711 anggota DPR dan DPD.
Sejumlah politikus yang ditemui majalah Tempo memperkirakan bukan perkara sulit membuka pintu amendemen. Iming-iming perpanjangan masa jabatan sangat mungkin membuat anggota DPR dan DPD mendukung amendemen agar bisa lebih lama berada di Senayan tanpa perlu mengeluarkan duit miliaran rupiah.
Dua orang yang mengetahui skenario tiga periode mengatakan nantinya ada dua pasal dalam konstitusi yang akan berubah. Perubahan itu adalah menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan dalam keadaan darurat di Pasal 7 serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat. Ihwal kondisi darurat, kedua pejabat tersebut kompak menyebutkan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai alasan utama serta kelesuan ekonomi.
Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan mengaku mendengar kabar perpanjangan masa jabatan presiden serta para legislator. "Tapi baru nonformal. Perpanjangannya bukan lima tahun, tapi dua atau beberapa tahun," kata dia kepada Tempo, Selasa lalu. Politikus Partai Demokrat itu menduga gagasan perpanjangan tersebut akan mendompleng agenda amendemen soal pokok-pokok haluan negara yang masih dibahas di MPR.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid, mengatakan belum ada aspirasi bahkan penggodokan agenda amendemen khusus tentang masa jabatan presiden. Dia mengatakan MPR hanya membahas pokok-pokok haluan negara dalam rencana amendemen. Jazilul menyatakan PKB belum menyampaikan sikap resmi ihwal penambahan masa jabatan presiden. Namun, secara pribadi, ia mengatakan ide penambahan masa jabatan presiden bisa saja dilakukan asalkan melewati proses amendemen yang berdasarkan keinginan rakyat yang tecermin dalam fraksi di MPR. "Bukan melalui survei, jajak pendapat, atau buka posko relawan," kata dia menyoroti pembentukan Komunitas JokPro 2024.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah. TEMPO/Imam Sukamto
Adapun Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, mengatakan fraksinya sebatas mendukung amendemen terbatas tentang haluan pembangunan nasional. Selain terhadap isu tersebut, Basarah menyebutkan PDI Perjuangan tak akan memberikan dukungan di MPR. "Gagasan soal masa jabatan presiden jadi tiga kali itu jauh dari pandangan dan sikap politik kami," kata dia dalam diskusi virtual, kemarin.
Dalam diskusi virtual yang sama, Wakil Ketua MPR dari Partai NasDem, Lestari Moerdijat, mengatakan partainya belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi tentang dukungan terhadap wacana tiga periode Presiden Jokowi. Menurut dia, sikap Partai NasDem mengedepankan kajian akademis ketatanegaraan dan aspirasi masyarakat dalam menyikapi isu amendemen UUD 1945 untuk mengubah aturan masa jabatan presiden. "Boleh dilakukan dan sah-sah saja. Tapi jalan ke arah itu harus sesuai dengan dasar hukum yang kuat," kata Lestari.
Menanggapi wacana jabatan tiga periode, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman mengatakan Presiden Jokowi tetap memegang teguh UUD 1945. Fadjroel juga menyebutkan Presiden Jokowi setia terhadap hasil reformasi. Lagi pula, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menolak wacana masa jabatan presiden tiga periode. "Penegasan yang pertama pada 12 Februari 2019," ujar Fadjroel.
Presiden Jokowi sendiri beberapa kali menyatakan menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Pada awal Desember 2019, Jokowi mengatakan usul itu menjerumuskannya. Jokowi juga menganggap wacana itu diembuskan oleh orang yang sedang mencari muka kepadanya. "Saya produk pemilihan langsung. Waktu ada keinginan amendemen, saya bilang jangan melebar ke mana-mana," ujarnya ketika itu. Jokowi juga menyampaikan hal yang sama pada pertengahan Maret 2021. "Saya tegaskan, tak ada niat dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode."
INDRA WIJAYA | MAJALAH TEMPO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo