Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI sudah 23 tahun berlalu, Eko Maryadi masih tak bisa melupakan peristiwa kelam itu. Ketika itu, polisi menangkap Eko karena terlibat dalam penerbitan majalah Independen. "Sebenarnya yang diincar bukan saya," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 2011-2014 itu, pertengahan Mei lalu. "Tapi polisi sepertinya salah tangkap."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, yang melaporkan redaksi Independen kepada Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya karena dianggap melawan pemerintah. Selain menangkap Eko, polisi menangkap dua awak redaksi media tersebut setelah mereka menghadiri acara halalbihalal Aliansi Jurnalis Independen pada Maret 1995. Polisi sesungguhnya, menurut Eko, mencari Sekretaris Jenderal AJI, Santoso. "Tapi saya dan kedua kawan sepakat pasang badan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan kemudian memvonis Eko bersalah karena melawan pemerintah. Ia divonis tiga tahun penjara. Karena mendapatkan beberapa kali remisi, Eko menghirup udara bebas pada akhir 1997.
Majalah Independen merupakan produk terbitan AJI, organisasi wartawan yang keberadaannya tak diakui pemerintah. Rezim Soeharto hanya mengakui Persatuan Wartawan Indonesia untuk menaungi para pekerja media. Aliansi Jurnalis Independen terbentuk setelah pemerintah membredel tiga media karena menganggap pemberitaannya menyudutkan rezim Orde Baru. Tiga media itu, yakni majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik, dibredel pada Juni 1994.
Setelah bredel, para jurnalis tiga media tersebut menggelar pertemuan di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1994. Pada hari itu seratusan wartawan menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Isi deklarasi menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen.
Menurut Eko, AJI merupakan salah satu organisasi yang dianggap terlarang oleh pemerintah. Alasannya sederhana, di era Orde Baru, hanya ada satu organisasi profesi yang diakui pemerintah untuk menaungi para pekerja di sektor jurnalistik. Orde Baru hanya mengakui Persatuan Wartawan Indonesia.
Eko mengatakan, untuk terus menjaga semangat Deklarasi Sirnagalih, AJI menerbitkan majalah Independen. Majalah ini pun dicetak sembunyi-sembunyi. Awalnya, Eko mengatakan, majalah tersebut hanya dicetak tidak sampai 50. "Namun lama-kelamaan terus naik," ujarnya. "Bahkan pernah ada laporan sampai tersebar 1.500 eksemplar karena digandakan mahasiswa."
Kementerian Penerangan awalnya tak terlalu khawatir akan keberadaan majalah Independen, yang mulai beredar pada pertengahan 1994. Belakangan, Menteri Penerangan Harmoko "kebakaran jenggot" ketika Independen sudah terbit hingga delapan edisi dan pernah tembus edar sampai 1.500 eksemplar. Sampai pada akhirnya dia melaporkan redaksi majalah itu ke polisi.
Kini, setelah 20 tahun reformasi, menurut Eko, tindakan represif pemerintah terhadap media sudah tidak terjadi seperti di era Soeharto. Setelah reformasi 1998, kebebasan pers memang dijamin oleh undang-undang. Tantangan terbesar media saat ini, menurut Eko, bukan tindakan represif pemerintah. "Tapi gerakan-gerakan intoleran yang ingin memaksakan kehendak mereka."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo