Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Superbody Tersandung Korupsi

Reformasi melahirkan sejumlah lembaga baru. Ada yang digerogoti kasus korupsi dan dipreteli kewenangannya.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Superbody Tersandung Korupsi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA bermodalkan undang-undang dan keputusan presiden, Jimly Asshiddiqie memulai kiprah Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2003. Ia bersama delapan hakim konstitusi lainnya pontang-panting menyiapkan lembaga peradilan baru yang dibentuk sebagai amanat amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dan reformasi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah Konstitusi saat itu belum mendapat kucuran anggaran dari kas pemerintah ataupun gedung kantor. Pada tahap awal, Jimly mencantumkan nomor telepon seluler pribadinya sebagai nomor kontak resmi Mahkamah Konstitusi. "Kami mulai kerja dengan tergesa-gesa," ujar Jimly, mengenang awal pendirian Mahkamah Konstitusi, akhir April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jimly terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2003. Ia satu di antara tiga hakim yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat. Total ada sembilan hakim konstitusi dengan komposisi tiga orang perwakilan DPR, presiden, dan Mahkamah Agung. Delapan hakim konstitusi lainnya adalah Letnan Jenderal (Purnawirawan) Ahmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, Mukthie Fadjar, Harjono, Ahmad Syarifuddin Natabaya, Sudarsono, Muarar Siahaan, dan Mohammad Laica Marzuki.

Setelah tiga bulan bekerja, mereka baru memperoleh dana talangan dari Menteri Keuangan. Saat itu mereka sudah mendapat limpahan 13 perkara dari Mahkamah Agung, yang selama setahun sebelumnya menjalankan fungsi dan tugas yang belakangan menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi, lembaga yang lahir setelah amendemen konstitusi yang ketiga pada 2001. Pembahasan undang-undangnya di DPR terbilang berlangsung sangat cepat, hanya sebulan.

Menurut Jimly, pemerintah awalnya terkesan ogah-ogahan membentuk Mahkamah Konstitusi karena kewenangannya tergolong istimewa dan bisa mengancam posisi presiden. Selain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, menyelesaikan sengketa kewenangan antar-lembaga negara dan sengketa pemilihan umum, serta membubarkan partai politik, Mahkamah berwenang meneliti kesahihan impeachment.

Kewenangan terakhir inilah yang membuat pemerintah senat-senut. "Saat itu ada isu Sukhoi-gate. Presiden khawatir dimakzulkan jika Mahkamah Konstitusi dibentuk," ucap Jimly. Pembelian empat pesawat asal Rusia yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri itu dipersoalkan karena tidak ada dalam alokasi anggaran Tentara Nasional Indonesia.

Karena kekhawatiran ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam pemakzulan. Kepada Yudhoyono, Jimly meyakinkan agar presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri, tidak khawatir di-impeach karena Mahkamah tak bakal serampangan melakukan tindakan peradilan seperti itu. Jimly juga meyakinkan Yudhoyono bahwa presiden dipilih rakyat sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tak bisa seenaknya memutuskan pemberhentian.

Dalam perjalanannya, Mahkamah Konstitusi tak pernah mendakwa presiden yang tengah berkuasa. Lembaga ini lebih banyak mengurusi uji materi undang-undang dan sengketa pemilihan kepala daerah. Putusannya bersifat mengikat dan final. Ada putusan uji materi yang benar-benar sesuai dengan harapan publik. Sebaliknya, ada juga putusan yang menimbulkan kontroversi. Salah satu contohnya adalah putusan uji materi perluasan ruang lingkup praperadilan yang memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek yang bisa diuji.

Kredibilitas Mahkamah Konstitusi belakangan terpuruk setelah dirundung skandal suap Akil Mochtar, yang saat itu menjabat ketua lembaga tersebut. Skandal suap di lembaga ini berulang ketika salah satu hakimnya, Patrialis Akbar, menerima suap US$ 10 juta dari pengusaha Basuki Hariman. Belakangan, lembaga ini diguncang kasus pelanggaran etik ketuanya, Arief Hidayat, yang terbukti bertemu dengan anggota Komisi Hukum DPR. Pertemuan itu diduga bertujuan memuluskan jalannya sebagai calon hakim konstitusi.

Dengan kewenangan yang begitu besar, yang membuat sebagian kalangan menyebutnya "lembaga superbody", Mahkamah, melalui putusannya, bisa mengurangi kewenangan lembaga lain yang juga lahir berkat reformasi. Mahkamah Konstitusi, misalnya, mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang MK. Uji materi yang diajukan sejumlah advokat itu mempersoalkan pelibatan Komisi Yudisial dalam pengajuan calon hakim konstitusi. Mahkamah mengabulkan gugatan tersebut. Jimly dalam beberapa kali kesempatan membantah jika lembaganya itu disebut superbody.

Dua tahun berselang, Mahkamah Konstitusi kembali memangkas kewenangan Komisi Yudisial. Kali ini giliran 31 hakim agung yang mempersoalkan wewenang Komisi Yudisial mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Mahkamah mengabulkan gugatan tersebut meski tak ada satu pun hakim konstitusi yang bertindak mewakili penggugat. Dengan adanya putusan itu, Komisi Yudisial hanya menjadi subordinat. Wewenang Komisi Yudisial yang tersisa hanyalah merekrut hakim agung. "Padahal lembaga ini dibentuk karena lembaga peradilan kita sudah menjadi alat atau instrumen dari kekuasaan yang korup," kata Ketua Komisi Yudisial periode pertama, Busyro Muqoddas.

Pada 2015, kewenangan lembaga ini dalam menyeleksi hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara juga diamputasi. Mahkamah Konstitusi berpendapat seleksi hakim tiga pengadilan itu merupakan wewenang Mahkamah Agung. "Akibatnya, kinerja Komisi Yudisial tak maksimal," ujar Ketua Komisi Yudisial periode 2015-2020, Aidul Fitriciada Azhari.

Atas makin tak berdayanya Komisi Yudisial, Aidul mengupayakan perbaikan pola hubungan dengan lembaga-lembaga lain. Caranya, meninggalkan pendekatan konfliktual serta tidak terlalu berorientasi pada pembentukan opini. Sebaliknya, dia akan mengedepankan relasi kritis konstruktif sebagai pelaksanaan mekanisme check dan cross-check antarlembaga. Secara internal, Komisi Yudisial akan meningkatkan kapasitas birokrasi agar dapat menunjang tugas.

Aidul pun menempuh beberapa langkah agar Komisi Yudisial kembali bertaring. Pertama, prosedur pengawasan dibenahi agar lebih efektif. Kedua,kewenangan penyadapan yang dimiliki akan dioptimalkan dengan kerja sama Kepolisian RI. Ketiga, Komisi sedang mengembangkan layanan karakterisasi putusan berbasis digital yang diharapkan dapat menjadi instrumen peningkatan kapasitas hakim. Keempat, secara kelembagaan, Komisi akan dilengkapi dengan jabatan deputi agar sekretaris jenderal dapat membagi tugas teknis operasional.

Jimly mengatakan rontoknya kewenangan Komisi Yudisial disebabkan oleh lemahnya desain konstitusional dalam lembaga itu. Dia mempersoalkan kewenangan Komisi Yudisial tentang rekrutmen hakim agung yang bisa dilakukan panitia seleksi. "Harus ada evaluasi," ujar Jimly.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus