Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSTITUTE for Transportation & Development Policy (ITDP) Indonesia mulai menyoroti akses transportasi yang ramah difabel pada 2020. Organisasi non-pemerintah di bidang transportasi umum di Jakarta itu mengajak sejumlah orang jalan-jalan menggunakan transportasi publik, seperti bus Transjakarta, kereta Commuter Line, dan moda raya terpadu (MRT). Mereka juga mengajak penyandang disabilitas, seperti disabilitas netra dan daksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saat ikut dengan kami, masyarakat non-disabilitas jadi bisa belajar bagaimana membantu masyarakat disabilitas ketika hendak naik transportasi umum. Terkadang banyak di antara kita yang mau membantu, tapi tidak tahu caranya seperti apa,” kata Deliani Poetriayu Siregar, Urban Planning and Inclusivity Manager ITDP Indonesia, kepada Tempo pada Ahad, 25 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan-jalan seperti itu kini menjadi kegiatan reguler ITDP. Hasilnya mereka ajukan antara lain dalam diskusi kelompok terarah (FGD) untuk mendorong pemerintah daerah DKI Jakarta mewujudkan fasilitas transportasi yang ramah difabel. “Ini bentuk audit kami untuk tahu seberapa inklusif layanan transportasi di Jakarta,” ujar Deliani.
Kewajiban pemerintah Jakarta menyediakan fasilitas transportasi bagi penyandang disabilitas tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Ini merupakan aturan turunan Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Perda tersebut menyebutkan ada beragam fasilitas yang perlu dibangun pemerintah untuk memberikan akses kepada beragam penyandang disabilitas, seperti kursi prioritas, ruang tenang, dan ubin pemandu.
Peraturan itu juga mengatur bahwa pemerintah Jakarta perlu memberikan insentif kepada penyandang disabilitas karena mereka menanggung biaya lebih selama beraktivitas dibanding yang non-disabilitas. Ada pula anjuran melakukan audit transportasi umum yang mengikutsertakan organisasi penyandang disabilitas di bidang transportasi publik.
Deliani menilai kualitas transportasi publik di Jakarta terus meningkat dari tahun ke tahun. Kursi prioritas kini sudah banyak tersedia di berbagai tempat. Ada pula ubin pemandu yang membantu disabilitas netra saat berjalan. Pemerintah juga memberikan Kartu Layanan Gratis (KLG) untuk penyandang disabilitas yang memakai Transjakarta dan Mikrotrans.
Pemerintah juga melibatkan organisasi non-pemerintah, seperti ITDP dan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN)—organisasi penyandang disabilitas yang mengadvokasi penyediaan infrastruktur publik yang ramah difabel—dalam perencanaan pembuatan transportasi publik yang inklusif. Namun masih ada berbagai sandungan untuk mewujudkannya. “Kami—ITDP dan beberapa organisasi seperti GAUN—memang selalu dilibatkan dalam perencanaan pembangunan trotoar baru dan jaringan rute Transjakarta baru. Namun ada kesenjangan pengetahuan hingga proses pembangunan dan pemeliharaan,” ucap Deliani.
Deliani menuturkan bahwa mereka sudah memberikan catatan sejak tahap perencanaan, tapi ada saja hal yang mengganjal dalam proses pembangunan dan finalisasi. Masalah bisa terjadi pada kontraktor pemenang tender pembangunan yang ternyata belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai akses untuk kaum difabel.
Deliani mencontohkan, dalam membangun sebuah halte di salah satu rute baru Transjakarta, prototipe halte ramah difabel sudah dibuat dan perencanaan sudah matang. Namun ternyata kontraktor yang membangunnya tidak bisa menyediakannya. Mereka, misalnya, tak memiliki bahan bangunan dengan huruf Braille untuk fasilitas tersebut.
Ruang tenang juga masih jarang ada, padahal ruang itu diperlukan bagi disabilitas mental yang tiba-tiba mengalami tantrum. “Di Indonesia ruang tenang biasanya digunakan di musala atau ruang kesehatan. Sebaiknya jangan digabung karena, ketika ada yang tantrum, bisa mengganggu yang lain,” kata David Tjahjana, Accessibility Advisor GAUN.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan visi Jakarta adalah membangun sarana transportasi yang inklusif. Dalam setiap pembangunan, ia dan tim selalu memikirkan fasilitas untuk difabel dan orang lanjut usia. “Kami coba susun sedemikian rupa agar halte dan stasiun di Jakarta ramah untuk masyarakat dengan kebutuhan khusus,” tuturnya. Saat ini ia juga sedang menyiapkan Pelabuhan Kali Adem Muara Angke agar inklusif.
Liputo menambahkan, organisasi difabel juga selalu dilibatkan guna mendengar pandangan mereka dalam setiap pembangunan transportasi publik. “Kami terus mendengarkan masukan dari masyarakat demi membangun transportasi yang inklusif,” ucapnya.
Salah satu tantangannya, kata Liputo, adalah kapasitas sumber daya manusia. Ia mengakui timnya masih perlu dididik mengenai isu disabilitas. “Walau terkadang pengguna difabel hanya satu atau dua orang (dalam sehari), buat kami, sosialisasi ini penting,” ujarnya.
Penyandang disabilitas netra menunjukkan Kartu Layanan Gratis (KLG) Transjakarta. TEMPO/Ilham Balindra
Tantangan lain yang dihadapi Lupito adalah keterbatasan anggaran. Menurut dia, hal ini membuat timnya tidak serta-merta dapat membangun semua transportasi publik yang ramah difabel. “Harus bertahap. Mana yang lebih urgen, itu yang diprioritaskan,” katanya.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 2024 sebesar Rp 5,194 triliun. Alokasi terbesar, yang senilai Rp 3,90 triliun, untuk kebutuhan subsidi Transjakarta.
David menyatakan anggaran tidak akan menjadi isu penting bila akses disabilitas di transportasi umum dilakukan sejak tahap perencanaan. Menurut dia, pemantauan pembangunan yang inklusif perlu dilakukan agar hasil yang dibangun selaras dengan rancangan. “Beda halnya kalau keterlibatan disabilitas terjadi setelah aksesnya sudah jadi sehingga harus dibongkar kembali bila tidak inklusif,” tuturnya.
Belum lagi, kata David, bila ada temuan transportasi publik itu tidak inklusif, petugas enggan mengubahnya karena menyangkut prestasinya. “Kalau dibongkar, artinya penilaian prestasinya berkurang. Padahal hal itu menghambat masyarakat disabilitas,” katanya. “Jadi sebaiknya, kalau bisa, libatkan teman difabel sejak awal.”
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Yoga menilai pembangunan fasilitas transportasi publik yang ramah difabel penting dikawal sejak tahap penganggaran hingga implementasinya. Dia mengakui memang tidak ada sanksi bila pemerintah tak menyediakan transportasi publik yang inklusif. “Walau tidak ada sanksi, pemerintah jangan kendur dalam menyediakan akses itu untuk masyarakat,” ujarnya.
Adanya peraturan daerah mengenai fasilitas tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah. Nirwono menyarankan para anggota Dewan mengecek kembali apakah akses yang dibangun itu sudah berfungsi dan tepat sasaran. Kenyataannya, banyak transportasi publik yang tidak bisa digunakan oleh yang berhak. “Contohnya saja trotoar. Anggaran sudah ada, pembangunan trotoar sudah dilakukan, tapi ternyata tidak fungsional. Tidak bisa digunakan. Wakil rakyat cek dong, apakah anggaran yang sudah digunakan benar bermanfaat atau tidak,” kata dosen Universitas Trisakti itu.
Nirwono mengingatkan bahwa transportasi umum yang inklusif menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk kegiatan yang lebih luas. Ketika transportasi publik sudah ramah difabel, kaum difabel bisa beraktivitas secara mandiri. Tahap selanjutnya, kata dia, para pemangku kebijakan dapat meningkatkan perkantoran hingga sekolah agar ramah difabel.
Serial liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung oleh International Media Support