Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masih Ada Waktu untuk Mega

Persaingan Mega, Gus Dur, dan Habibie semakin keras. Koalisi PDI Perjuangan dan PKB rontok saat voting di babak awal. Siapa bakal melenggang?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU kuning buat Megawati. Sinyal gawat ini menerawang dekat di Ruang Nusantara, Senayan. Dalam arena voting membahas perubahan tata tertib di Rapat Paripurna II Sidang Umum MPR, mulai Sabtu hingga Ahad dini hari kemarin, ternyata barisan pendukung calon presiden ini tiga kali mengalami kekalahan telak—diselingi protes munculnya selisih suara yang bikin gaduh. Lihat saja pertarungannya. Saat membahas penetapan fraksi-fraksi di MPR, sebagaimana diatur pasal 13 ayat 1, ternyata Golkar, PAN, PPP, PBB, dan partai kecil lainnya berbaris dalam satu suara. Mereka memenangi voting dan meraih 379 suara. Sedangkan PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang berada di satu kubu, hanya meraih 250 suara. Fraksi diputuskan berdasarkan partai politik hasil pemilu, TNI/Polri, dan utusan golongan. Kekalahan kubu Mega kembali terjadi ketika memutuskan pemilihan ketua dan wakil ketua majelis, seperti tertera pada pasal 21. "Koalisi" PDI Perjuangan dan PKB hanya mendapat 248 suara. Sedangkan deretan Golkar, PPP, PAN, PBB, TNI/Polri, dan partai lainnya meraup 391 suara. Majelis akhirnya akan dipimpin seorang ketua dan tujuh wakil ketua—mencerminkan partai politik yang memenuhi electoral threshold, TNI/Polri, dan utusan golongan. Kedua kubu ini kembali harus menelan pil pahit saat voting tentang tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua majelis. Gagasan musyawarah mufakat yang dipilih PDI Perjuangan dan PKB kandas. Mereka cuma meraih 230 suara. Sedangkan kelompok seteru mereka, di bawah Golkar dan kawan-kawan, memborong 405 suara. Pimpinan majelis akhirnya dipilih dari calon yang diajukan fraksi. Ancaman buat Mega? Bisa jadi. Kekalahan telak para suporter ini memang baru pada babak awal: soal tata tertib. Pergulatan yang sesungguhnya, tentunya, saat pemilihan presiden dan wakilnya, 20-21 Oktober mendatang. "Soal kalah tak jadi masalah. Namun, kami menyesalkan sikap sekretariat jenderal yang selalu salah melakukan voting," kata Sabam Sirait dari PDI Perjuangan. "Ini pelajaran buat kita semua dalam berdemokrasi," kata Megawati sambil tersenyum. Karena itulah, mungkin, barisan Mega bikin ancang-ancang. Strategi "pengamanan" dilakukan begitu ketat, sampai-sampai ratusan satuan tugas PDI Perjuangan yang bertubuh tegap dan berseragam merah menyala dikerahkan. Pasukan Banser pro-PKB juga siaga. Mereka berkerumun di Hotel Indonesia, di pusat kota Jakarta, tempat wakil partai banteng ketaton itu menginap. Lift yang menuju lantai atas juga dikawal. Setiap pengunjung yang mau masuk lift akan ditanyai keperluannya. Bukan karena keamanan utusan banteng perjuangan itu terancam. Mereka khawatir kalau ada "musuh" politik menyelinap ke kamar-kamar, membagi-bagikan uang, dan menggoyahkan tekad bulat memenangkan Megawati sebagai presiden. Karena itu, kamar-kamar hotel bebas dari "orang luar". Keluarga dan tamu yang datang berkunjung terpaksa menunggu di lobi. Telepon buat anggota DPR harus melewati skrining sekretariat partai. "Kami dilarang memberitahukan kamar tempat anggota dewan menginap," kata resepsionis hotel. Kekhawatiran PDI Perjuangan tampak pada hari pertama Sidang Umum MPR. Mereka, misalnya, berkeras merancang agar sidang umum cukup dilaksanakan satu tahap pada 1-14 Oktober 1999. Semua agenda acara, dari penyusunan tata tertib sampai pemilihan presiden, dimampatkan di situ. Tujuannya agar tidak ada waktu jeda hingga para anggota DPR bisa "dibeli". Agenda acara yang ditawarkan partai lain memang memungkinkan jeda itu selama 17 hari. Toh, pertahanan PDI Mega bobol. "Kami merasa dikeroyok habis-habisan," kata seorang sumber TEMPO di PDI Perjuangan. Rapat fraksi untuk membangun benteng pertahanan yang dilaksanakan sejak pukul 8.30 sampai pukul 4 dini hari tak berhasil membendung arus tekanan tersebut. Tapi PDI Perjuangan tampaknya mendapat konsesi. Meski dilakukan dua tahap, sidang pembahasan tata tertib memutuskan tidak ada jeda antara sidang umum tahap pertama dan kedua. Jadi, dari sisi jadwal sidang, kandang Mega selamat. (Lihat: Bermula pada Tata Tertib.) Sebetulnya, kans Mega untuk melenggang ke kursi presiden cukup besar. Bagaimanapun, ia adalah calon presiden dari partai politik pemenang pemilu. Di kertas, dengan 153 kursi di tangan (atau sekitar 21 persen dari total 700 anggota MPR) ditambah kursi utusan daerah, ia bisa paling dulu mencapai garis finish dibandingkan dengan calon partai lain. Apalagi dua calon lainnya, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid dan Habibie, bukannya tanpa masalah. Ambil contoh Gus Dur. Ia muncul sebagai calon presiden setelah dipompa Amien Rais dari poros tengah. Meski menggebu-gebu, belakangan ketahuan ternyata poros ini bukanlah kelompok yang solid. Dukungan Amien kepada Gus Dur sebagai calon presiden lebih berwarna "Amien Rais" ketimbang "poros tengah". Yusril Ihza Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang, yang juga tergabung dalam poros itu, menyangkal pencalonan bulat untuk Gus Dur. "(Pencalonan itu) belum final walau sementara ini Gus Dur yang dicalonkan Amien Rais," kata Yusril kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO. Suara beredar menyebutkan Gus Dur akan "dibuang" ke posisi Ketua MPR. Ini pun boleh jadi akan dihadang pasukan PKB, yang sementara ini dikomandani Matori Abdul Jalil. Kartu yang akan dimainkan Matori adalah soal asal Gus Dur. Ia masuk Senayan dari utusan golongan, bukan dari PKB. Matori akan diusulkan PKB menjadi Ketua MPR. Akibatnya, Gus Dur tidak bisa maju karena secara organisasional Matori lebih kuat. "Masa, mau mengajukan dua nama? Kan, enggak mungkin," kata Ketua PKB Alwi Shihab. Gus Dur juga akan terbentur pohon beringin. Golkar dari kubu Marzuki Darusman kabarnya akan serius menghadang si Gus sebagai calon presiden. Mereka akan memasukkan pasal presiden yang harus sehat secara fisik—ini aral serius bagi kiai Ciganjur yang kesehatannya belum pulih itu. "Tapi pasal itu terlalu kentara untuk menjatuhkan Gus Dur. Akan terjadi rikuh politik jika kelemahan Gus Dur itu diperdebatkan," kata seorang anggota DPR dari kubu Marzuki. Kiki—begitu Marzuki kerap disapa—juga bersalaman dengan Matori. Keduanya bertemu di Hotel Le Meridien, Jumat pekan lalu, untuk mematangkan skenario. "Bocoran dari kalangan dalam" menyebutkan, kalau pasal "kesehatan fisik" ini tidak gol, ada cara lain yang akan digunakan: membujuk PKB agar tidak menjagokan Ketua Umum Nahdlatul Ulama yang sering disebut "Guru Bangsa" itu. Lalu, siapa calon mereka? Untuk sementara, jago Golkar kubu Kiki adalah Ketua Umum Akbar Tandjung. Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) Golkar pada 18 Oktober mendatang, kandidat rencananya akan digeser: bukan lagi calon tunggal Habibie, melainkan menjadi lima calon kembali seperti keputusan sebelum rapim Mei lalu. Kelima calon itu adalah Habibie, Akbar Tandjung, Wiranto, Ginandjar Kartasasmita, dan Sultan Hamengku Buwono X. Menurut Ade Komaruddin dari kubu Kiki, hanya dengan cara ini Habibie bisa diturunkan tanpa membuat yang bersangkutan kehilangan muka. (Lihat: Mengintip Skenario Beringin.) Kebetulan Habibie punya rapor buruk—selain nilai bagus untuk beberapa hal, termasuk kebebasan pers. Wiranto tidak populer karena blunder militer. Adapun Ginandjar sebelah kakinya sudah pindah ke PDI Perjuangan dan Sultan HB X sudah hilang dari peredaran. Tapi perhitungan pasukan pro-Akbar memang tak seberapa. Kubu Kiki sadar betul dengan kondisi itu. Apalagi ada kekuatan besar banteng perjuangan menghadang. "Akbar memang disiapkan hanya sebagai wakil presiden," kata Kiki. Meski didera isu negatif, Habibie masih bersikukuh. Itu tampak ketika ia bertemu dengan tujuh partai politik pemenang pemilu di Patra Kuningan, Rabu pekan lalu. Ketika itu, Gus Dur bersama Amien Rais (PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Nur Mahmudi Ismail (Partai Keadilan), Alwi Shihab (PKB), Hamzah Haz (Partai Persatuan Pembangunan), dan K.H. Syukron Makmun (Partai Nahdlatul Ummat) datang ke rumah Habibie untuk menyampaikan hasil pertemuan mereka sehari sebelumnya. Di akhir pembicaraan, Gus Dur berucap, "Alangkah baiknya Pak Habibie bersedia untuk tidak dicalonkan lagi menjadi presiden oleh Partai Golkar." Hal yang sama diulang kemudian oleh Amien Rais. Habibie kabarnya kaget mendengar permintaan itu. Tapi dengan tenang ia menjawab akan tetap maju. Jawaban ini disahuti oleh Gus Dur dengan caranya yang guyon, "Pak Habibie tidak usah memaksa menjawab sekarang. Sebaiknya salat istikharah dulu." Putra Parepare itu mengangguk-angguk mendengar khotbah Gus Dur ini. "Tembakan" mematikan buat Habibie ini belakangan diperburuk dengan terpilihnya Kiki sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR. Tapi benarkah bahwa jika Habibie melorot, Mega bisa melenggang? Belum tentu juga. Jika Habibie rontok di jalan—misalnya ia "dikandangkan" Kiki dan kawan-kawan dalam rapim mendatang—Mega akan vis a vis dengan Gus Dur. Kiai asal Jombang itu punya banyak keunggulan dibandingkan dengan Mega. Si Mbak bukanlah tokoh yang populer di kalangan Islam. Suara pendukung Habibie yang rata-rata menganggap penting variabel Islam ini akan beralih kepada Gus Dur. Mega bisa kehilangan pegangan dan meluncur turun karena bandul suara beralih ke Kiai Ciganjur. Dengan kata lain, Mega ternyata membutuhkan Habibie sebagai lawan tanding untuk menahan laju Gus Dur. Dengan hitung-hitungan ini, paket presiden dan wakilnya memang tidak mudah dibaca. Bisa Mega-Akbar, Gus Dur-Akbar, dan tidak tertutup pula lahirnya duet lain. Soalnya, Hamzah Haz, Amien Rais, dan Matori bisa juga menjadi kartu cadangan di hari-hari terakhir penentuan calon presiden dan wakilnya. Atau bisa juga semua skenario itu berubah total karena ada faktor-X yang tak terkira-kira. Jawaban pastinya tentu masih harus menunggu beberapa hari lagi. Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti, Arif Kuswardono, Andari Karina Anom, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus