Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shakuri,Garden, Chinoise Flower
Koreografer : Kota Yamazaki
Tempat : Graha Bhakti Budaya - Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta
Kota Yamazaki adalah jerat pesona. Siapa yang intens mengikuti berlangsungnya ''1999 Indonesian Dance Festival" tentu masih ingat pelbagai ragam tema dan gaya tarian, yang disajikan para koreografer serta penari Indonesia dan luar negeri. Dan siapa yang menikmati secara cermat tari-tarian itu niscaya belum sepenuhnya bebas dari gerak tari yang ditebar Kota Yamazaki.
Pada pembukaan festival yang diramaikan koreografer dan penari dari Korea, Jepang, Cina, Amerika, dan Indonesia itu—di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki--Kota Yamazaki menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang bintang. Melalui tarian tunggal Shakuri, ia berhasil menggamit imajinasi penonton dan mengajaknya mengembara ke alam fantasi bawah air. Repertoar ini, meski tanpa menggunakan plot pengadeganan yang transparan, berhasil memanifestasikan tema yang hendak disorongkan. Keindahan tak hanya memancar dari gerak-gerik yang lentur dan mengalir, tetapi juga dari kesanggupannya menyatakan gagasan. Tubuh Kota yang ramping dan seakan tak bertulang itu sekaligus memproyeksikan dua kondisi yang bertolak belakang: yang fisik dan metafisik, tubuh dan roh, rasa dan perasaan, ketegangan dan ketenangan.
Dua kondisi yang bersatu dalam tindakan dan penghayatan itu membersitkan pencitraan yang kuat perihal debar jantung dua pihak yang berseberangan. Ini terjadi pada satu mometum, saat dua situasi kejiwaan tertautkan. Peristiwa itu bak debar seorang pemancing yang berada dalam satu resonansi dengan debar ikan, ketika mata kail menujah kerongkongan sang ikan. Dari detik ke detik, Kota seolah berubah wujud menjadi pemancing, ikan, menjadi genangan dan arus air, dan sesekali menjadi gelembung udara. Perubahan itu terjadi berkesinambungan, sehingga memunculkan kesan bahwa semua itu berlangsung bersamaan. Tata cahaya yang didominasi warna biru temaram, musik minimalis yang memadukan bunyi denting air dan denging keras-panjang seakan dirambatkan oleh sebentang senar, juga taburan serbuk dari udara, menyempurnakan visualisasi tentang kehidupan kolam, mungkin lautan.
Koreografi yang diciptakan Kota tahun 1995 itu hanya mendapat imbangan dari Lux Aeterna, yang dipentaskan oleh koreografernya sendiri, Sen Hea Ha dari Korea.
Pada malam yang sama, Kota juga menegaskan keandalannya sebagai koreografer yang menguasai beberapa metode dan teknik tari, tradisi dan modern. Melalui repertoar Garden, yang dipentaskan oleh sejumlah penari dari IKJ Dance Company, ia terkesan mencipta karya yang memberi kebebasan bereksplorasi kepada para pemain sekaligus menawarkan komposisi gerak yang membentuk pola-pola pengadeganan. Dalam hal kebebasan, yang spiritnya digali Kota dari tradisi butoh, para penari IKJ itu tampak lebih berhasil dibandingkan dengan pencapaiannya menghidupkan komposisi dan pola gerak ala balet. Kendati begitu, di bawah arahan Kota, kelompok dari IKJ ini telah menyuguhkan sajian yang gurih dan segar melampaui karya mereka sendiri.
Kota Yamazaki memang unik. Sebagai penari, ia telah memperdalam butoh dan balet klasik. Dan di dalam proses kreatifnya ia juga mendapat pengaruh dan inspirasi dari tarian kontemporer Prancis. Barangkali lantaran bekalnya itulah, ketika ia bersama grupnya, Kota Yamazaki-rosy Co., mementaskan Chinoise Flower di Gedung Kesenian Jakarta, akhir September lalu, yang mengesankan adalah kombinasi dari ketiga unsur tadi, tapi juga tak gampang diidentifikasi sebagai aktualisasi dari salah unsurnya. Dengan kata lain, Kota mampu menghasilkan gaya yang unik, terbebas dari ikatan aliran atau kategori tradisi tari mana pun yang dikuasainya. Maka, wajar jika Eko Supriyanto, koreografer dan penari dari Surakarta, menyampaikan kesaksian, ''Setahu saya, hanya dia yang mampu menari seperti itu."
Gaya unik itu, sebagaimana dikesankan Chinoise Flower, seakan muncul dari penghayatannya atas urgensi gerak yang bebas dan dinamis, yang diberi arah oleh pola dan teknik tari yang lebih pakem. Repertoar itu pun mengisyaratkan bahwa Kota dan para penarinya tak hanya memahami tubuh, melainkan juga menyadari seluruh potensi gerak yang dikandungnya.
Sitok Srengenge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo