Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Seni Tari Bernama 'Sen'

Tari tunggal kontemporer hampir tak pernah muncul dalam pertunjukan kita. Para penari tak mengenal tubuhnya sendiri?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECOND JOURNEY
Penari: Sen Hea Ha, Erica Rebollar, Carol McDowell, Zahava Weiss, Eko Supriyanto, dan STSI Surakarta
Tempat: Teater Utan Kayu, Jakarta

SENI pertunjukan tari kontemporer banyak kekurangannya. Di antaranya, boleh dikata penampilan tari tunggal tak pernah muncul. Apa pasal? Karena berat syaratnya. Untuk menari sendirian di pentas, penari dituntut memiliki tubuh tahan banting, pola koreografi yang andal, dan penguasaan psikologis penonton. Menari sendirian selama lima menit saja perlu dibekali pengetahuan tentang peta tubuh sendiri secara detail. Dalam tari tradisi, tari tunggal justru dikenal. Tari tunggal ternyata lebih banyak untuk pria, semacam Gambir Anom, Klana Topeng, dan Gatutkaca Gandrung (Gatutkaca jatuh cinta).

Pada 1980-an, pernah muncul Sardono W. Kusumo yang menari tunggal dalam 10 Menit di Borobudur. Sejauh ini, seni—begitu juga seni tari—menuntut pertaruhan seluruh hidup sang seniman. Katakanlah, menari adalah hidup sang penari. Jika penari tak menari, matilah ia. Berkaitan dengan ini, beredarlah ke seluruh dunia para penari untuk unjuk kebolehannya. Di antaranya muncullah sejumlah penari dari Korea, Amerika, dan Indonesia, dalam pertunjukan bersama yang mereka namai Second Journey di Teater Utan Kayu, akhir September silam, sebagian menampilkan tarian tunggal.

Eko Supriyanto muncul menari tunggal dalam From the Time Piece. Dengan properti sebatang tongkat, Eko berputar menguasai ruang. Beberapa saat ia juga menggarap lantai. Tongkat bukan sebagai penopang tubuh, melainkan untuk menghias penampilan. Sedangkan pada penampilan nomor berikut, muncul Erica Rebollar dalam Place of No Tears. Dia seperti mencari sesuatu yang hilang. Penari putri ini melaju dalam beberapa irama. Di antaranya irama Timur Tengah, yang membuatnya meliuk. Apakah dia sphinx yang melontarkan pertanyaan kepada penduduk? Sedangkan Carol McDowell dalam In the Present memasukkan unsur-unsur yang berkembang dalam pengertian pop, sehingga tariannya terasa akrab. Lalu, muncul trio Erica, Carol, dan Zahava Weiss dalam Unexpected. Berdiri dan telentang, mereka mencoba menyeragamkan gerakan. Pertunjukan empat nomor di atas dilatarbelakangi dengan suara pembacaan puisi atau semacamnya, yang cukup mengganggu.

Kemudian muncul wakil dari STSI Surakarta. Sayang, penampilan lima penari putri dalam Beautiful Women Ibu-Ibu jauh dari harapan. Tarian mereka dimaksudkan untuk mengagumi tugas seorang istri (ibu) dan menghormatinya, sambil menyindir para suami. Mereka mencoba main-main, dan penonton bisa tertawa, tapi terasa amatiran. Ada contoh sederhana yang dapat diambil sebagai teladan: Jacky Chan. Pesilat Hong Kong ini selalu main-main dalam setiap filmnya (seolah mengatakan: "Film gue ini cuma nonsens."), tapi diikuti teknik pertarungan silat yang sangat prima. Tetapi, para penari Solo ini bergerak saja susah.

Dari pertunjukan bersama ini, yang pantas dicatat adalah penampilan Sen Hea Ha dari Korea. Penari putri ini pelontos seperti penyanyi Sinead O'Connor. Tubuhnya semampai, kulitnya halus, cukup tinggi. Parasnya cantik, penampilannya anggun, dan wataknya pendiam. Dia lebih mirip pendeta putri Shaolin dalam lakon-lakon film ataupun sinetron Hong Kong. Dalam nomor Are You a Good Witch or a Bad Witch?, Sen bermain dengan sapu bertongkat panjang yang biasa untuk menyapu jalanan. Dalam dongeng Barat, penyihir selalu terbang dengan naik sapu macam begini. Gerakan Sen sederhana, menjalin dialog dengan sapunya. Kadang dia mirip patung. Kadang dia mirip orang suci yang menyamar. Ketika tersenyum, barangkali senyum Buddha seperti itu.

Sementara itu, penampilan Sen dan Eko dalam Exile sungguh menakjubkan. Meski mereka tampil sebagai pasangan pria-wanita, mereka bukan pasangan cinta. Gerakan itu lebih mirip kasih sayang ibu kepada anaknya; seorang ibu yang melindungi, mendidik, dan mengembangkan anaknya. Inilah sebuah karya tari yang memancarkan kasih sayang. Lihatlah Eko yang dipeluk, dibopong, diangkat ke pundak oleh Sen. Eko yang tidur di haribaan Sen ketika keduanya telentang sambil tangannya menggapai ke atas, itulah cara seorang ibu mengajari anaknya mengenal segala sesuatu yang hidup di sekelilingnya. Postur tubuh Sen adalah keindahan tubuh seorang penari yang hidup dari lentur koreografi. Dia menghidupi seni tarinya. Sen adalah seni tari.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus