Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Konflik agraria di wilayah IKN sudah berlangsung lama.
Ada 12 masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan IKN Nusantara.
Proyek pembangunan IKN bakal mengancam keberadaan mangrove dan hewan endemik.
JAKARTA – Berbagai pihak gusar atas rencana pembangunan berbagai proyek di ibu kota negara (IKN) baru, yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Mereka khawatir berbagai megaproyek ibu kota baru itu nantinya akan mengancam penguasaan tanah adat dan tanah masyarakat lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pembangunan IKN ini akan memperpanjang konflik mengenai hutan adat atau wilayah adat di sana," kata juru bicara Lembaga Adat Paser, Eko Supriyadi, Kamis, 20 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan, konflik agraria antara masyarakat adat di Penajam Paser Utara dan perusahaan pemilik konsesi sudah terjadi jauh sebelum Undang-Undang IKN disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Konflik tanah ini bakal makin runyam karena pemerintah pusat mengklaim bahwa kawasan ibu kota merupakan milik mereka, setelah mencabut sejumlah izin konsesi korporasi di sana. Padahal selama ini masyarakat adat menganggap bahwa lahan tersebut milik mereka secara turun-temurun, tapi dicaplok secara sepihak lewat pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan. Izin itu berupa perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan tambang.
Eko berpendapat, pemindahan ibu kota tidak akan menyelesaikan akar masalah konflik agraria ini. Ia justru menduga pemerintah akan memanfaatkan konflik agraria itu dan mengesampingkan pengakuan hak masyarakat adat atas hutan atau wilayah adat mereka.
Sepengetahuan Eko, masyarakat adat semakin risau setelah DPR mengesahkan UU Ibu Kota Negara, Selasa lalu. Sebab, pengesahan ini memastikan proses perpindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara. Apalagi dalam UU IKN sama sekali tidak diatur ihwal perlindungan hak masyarakat adat di sana.
Masyarakat adat juga pasti kalah jika menggugat pemerintah lewat hukum atas penguasaan tanah adat mereka. Sebab, masyarakat adat hanya menguasai wilayah hutan secara turun-temurun, tanpa surat kepemilikan.
"Kami sesungguhnya berharap ada payung hukum yang mengatur perlindungan masyarakat adat. Jangan hanya mengistimewakan pemilik konsesi," kata Eko.
Luas wilayah ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara mencapai 256 ribu hektare, atau empat kali lebih luas dari DKI Jakarta. Adapun kawasan inti Nusantara seluas 56 ribu hektare. Selain pusat pemerintahan, kawasan inti rencananya menjadi pusat badan penelitian dan inovasi, ekowisata, bisnis, medis, industri, dan pendidikan. Sejumlah proyek mercusuar akan dibangun dalam wilayah kawasan inti, seperti istana negara dan kantor pemerintah.
Suasana Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, April 2020. penajamkab.go.id
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN menilai berbagai rencana proyek di ibu kota baru bakal mengancam keberadaan masyarakat adat di Penajam Paser Utara. Sebab, pemerintah tidak mengatur perlindungan hak masyarakat adat dalam UU IKN. "Padahal hak masyarakat adat diatur di konstitusi," kata Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN.
Hak masyarakat adat diatur dalam Pasal 18B ayat 2 UUD yang mengatur pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Lalu, ada Pasal 28I ayat 3 UUD yang mengatur bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Abdon berpendapat, seharusnya UU IKN mengadopsi ketentuan UUD tersebut. Namun, kata dia, pemerintah dan DPR hanya memasukkan frasa masyarakat adat dalam poin penjelasan UU IKN. Isinya, proses pengadaan lahan di kawasan IKN harus memperhatikan hak tanah masyarakat dan masyarakat adat yang tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 dan 3 UU IKN. Rumusan frasa ini dianggap sangat lemah karena hanya ditempatkan di bagian penjelasan, bukan dalam batang tubuh undang-undang.
"Kami menyimpulkan bahwa penggagas pembuat undang-undang ini mengabaikan konstitusi," ujarnya.
Abdon menganggap proses penyusunan UU IKN minim partisipasi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Dari 12 masyarakat adat yang berada dalam kawasan ibu kota, tak satu pun dilibatkan saat penyusunan draf undang-undang hingga pembahasan di DPR. Selama pembahasan, pemerintah dan DPR hanya berkonsultasi dengan masyarakat adat yang tak berada dalam kawasan ibu kota, seperti Majelis Masyarakat Adat Dayak Nasional dan Dewan Adat Kalimantan Timur.
"Padahal kita tahu mereka tidak secara langsung memiliki hak ulayat di kawasan IKN," kata Abdon.
Menurut Abdon, pembangunan IKN Nusantara nantinya berpeluang besar menimbulkan konflik dengan masyarakat adat. Masyarakat adat pasti akan mempertahankan wilayahnya, meski berhadapan dengan pemerintah. "Jika konflik agraria sebelumnya masyarakat adat dengan korporasi, sekarang dengan pemerintah. Tidak ada orang yang akan menerima tanahnya dirampas," katanya.
Senada dengan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menguatkan pendapat AMAN. Direktur Walhi Kalimantan Timur, Yohana Tiko, mengatakan pembangunan di IKN Nusantara dipastikan mengancam keberadaan 150 keluarga suku Balik serta 10 ribu masyarakat pesisir dan nelayan. Pembangunan itu juga mengancam kelestarian hewan endemik, seperti bekantan, pesut, dan dugong. "Pembangunan IKN juga mengancam keberadaan mangrove seluas 2.603 hektare di Teluk Balikpapan," kata Yohana.
Hasil riset Walhi, rencana pembangunan IKN Nusantara bakal memperparah krisis sumber air bersih di Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda. Proyek-proyek di IKN nantinya juga bakal mengancam keberadaan kawasan lindung dan konservasi Teluk Balikpapan. Sebab, letak IKN Nusantara berada di antara Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, Hutan Lindung Sungai Wain, dan Hutan Lindung Manggar. "Kami tegas menyatakan penolakan sejak awal rencana IKN ini dilontarkan," kata Yohana.
Direktur Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Mia Amalia; Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah; serta Ketua Tim Komunikasi IKN, Sidik Pramono, belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal kritik masyarakat sipil ini. Sebelumnya, Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan prinsip rencana induk pembangunan ibu kota baru nantinya didesain sesuai dengan kondisi alam, keragaman, keterhubungan, mudah diakses, rendah emisi karbon, sirkuler dan tangguh, aman dan terjangkau, serta nyaman dan efisien.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo