Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mat Intel Main Sendiri

Tentara dan pemerintah mulai menggandeng warga untuk melawan terorisme. Bibit intel baru di dunia telik sandi.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBANTU Letnan Satu A. Arbai sibuk memanasi sepeda motornya pagi itu. Sesekali ditepuk-tepuknya kendaraan dinas kesayangannya tersebut. Setelah dirasa cukup, ia berpamitan kepada istrinya, Eka, dan menuju lapangan Koramil 01, Bekasi Barat. Di sana sudah berkumpul 33 rekannya sesama Bintara Pembina Desa (Babinsa) untuk apel pagi.

”Komandan hanya memberi pengarahan biasa, juga kegiatan yang harus dipantau hari ini,” ujar Arbai kepada Tempo seusai apel. Setelah itu, ia menuju Kelurahan Margajaya tempat ia biasa bertugas. Hari-hari ini, sesuai dengan instruksi, ia mesti menggiatkan upaya pendataan warga di kawasan binaannya. ”Ini kami lakukan sebagai upaya pencegahan aksi teroris,” katanya.

Di Kelurahan Margajaya, yang terdiri dari enam RW dan 32 RT, cukup banyak rumah kontrakan dan tempat kos. Apalagi di sekitar kawasan itu banyak pula pabrik sehingga pergerakan pendatang baru relatif cepat. Menurut instruksi yang diterimanya, rumah kos rawan menjadi tempat persembunyian para teroris.

Peran Babinsa untuk mengamankan wilayah memang dilirik lagi setelah Bali kembali diguncang bom awal bulan ini. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutartolah yang berinisiatif menggalakkan kembali sepak terjang aparat di tingkat terbawah rantai komando teritorial tentara itu.

Di Jakarta, gagasannya lekas disambut Panglima Kodam Jaya Mayjen Agustadi Sasongko Purnomo. Pekan lalu, sekitar 1.680 Babinsa di bawah koordinasi delapan Komando Distrik Militer (Kodim) se-Jakarta Raya kembali diterjunkan ke kampung-kampung. Ada satu Babinsa yang memegang satu desa/kelurahan. Tetapi ada pula yang mengawasi dua sampai tiga desa. ”Kinerja Babinsa ini ditingkatkan untuk membina masyarakat bersama-sama melawan terorisme,” kata Agustadi.

Bom Bali jilid II menyisakan rasa masygul di kalangan penyelenggara negara. Mungkin juga menyelipkan rasa kecolongan. Karena itu, kini tidak hanya tentara yang ingin menggandeng masyarakat untuk diajak menghadapi para tukang teror. Departemen Dalam Negeri pun sudah berancang-ancang mengerahkan perangkatnya menggalang kekuatan masyarakat.

Menurut Sudarsono, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, kelak potensi masyarakat bakal dihimpun dalam sebuah lembaga bernama Forum Kewaspadaan Dini (FKD). Forum ini akan dibentuk berjenjang dari tingkat desa hingga provinsi.

Adalah para tokoh masyarakat yang bakal menjadi anggota forum setiap level. Mereka berkumpul di sana untuk mencermati dinamika yang terjadi di masyarakat. Hasil pengamatan itulah yang bakal disampaikan kepada kepala daerah setempat. Misalnya, FKD tingkat desa akan melakukan koordinasi dengan kepala desa, FKD kecamatan dengan kepala kecamatan, demikian seterusnya.

Sudarsono menegaskan, upaya memperkuat kesadaran tertib masyarakat di kalangan warga sudah tak bisa ditunda lagi. Dia menunjuk lolosnya Noordin M. Top yang bahkan sempat menikah dua kali dalam pelariannya. ”Bagaimana bisa terjadi demikian?” tanya dia. Dari hal-hal semacam inilah, menurut dia, muncul gagasan Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf untuk menciptakan sistem yang dapat menjamin kewaspadaan dini di tingkat masyarakat paling bawah. FKD-lah jawabannya.

Forum ini sepertinya bakal melengkapi sepak terjang Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda) yang dibentuk atas dasar instruksi presiden, Juni silam. Hanya, Sudarsono menegaskan, pola hubungan keduanya belum dirumuskan. ”Yang jelas, titik temunya ada di kepala daerah,” ujarnya kepada Tempo, pekan lalu.

Memang, berdasar perintah presiden itu, Bakorinda dibentuk dengan memberdayakan Dinas Kesatuan Bangsa, namun tetap bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. FKD dibentuk berdasar Undang-Undang No. 32/2004 yang antara lain menyebut bahwa kepala daerah berkewajiban menjamin ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Artinya, di meja kepala daerahlah laporan kedua perangkat itu bakal bertemu.

Maka, tak lama lagi, jika ”alat-alat pengawas” masyarakat itu benar-benar terbentuk, kehadirannya bakal makin meramaikan dunia intelijen di Tanah Air. Sebelum ini, beberapa instansi sudah memiliki satuan intelijen sendiri-sendiri. Mereka ada di TNI, polisi, kejaksaan, Departemen Dalam Negeri, imigrasi, bea dan cukai, Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Departemen Kehutanan.

Tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa para telik sandi itu lebih suka beraksi sendiri-sendiri. Pengamat intelijen Andi Wijayanto menggambarkan kerja tiap intelijen itu terkotak-kotak tanpa koordinasi. Akibatnya, tak jarang malah memicu persaingan di antara mereka.

Celakanya, menurut Andi, justru berkaitan dengan penangkalan terorisme itulah selama ini tak ada kerja sama yang padu. Tiap agen maunya bekerja sendiri-sendiri, dan terkadang lepas tangan kalau terjadi insiden. ”Tidak ada perubahan signifikan di tubuh intelijen di masa reformasi ini,” kata Andi.

Hal senada disampaikan Kepala Biro Hukum Setjen Departemen Pertahanan, Brigjen TNI Sugeng Widodo. Bahkan, kata Sugeng, miskinnya koordinasi itu kadang malah berakibat fatal. Misalnya, karena seorang intel merasa temuannya menjadi wewenang polisi, informasi itu tidak dibagi kepada rekan sejawat. ”Sehingga banyak kejadian lepas dari pengawasan,” kata dia. Ibarat kesebelasan sepak bola, tim intelijen memang lebih suka membawa bola sendiri ketimbang membagi kerja dengan sesama anggota tim.

Cerita itu bukan omong kosong. Seorang intel di lingkungan Poltabes Semarang, sebut saja Ata, mengakui selama menjalankan tugas intelijen tak pernah menjalin koordinasi dengan intel dari institusi lain. ”Di lapangan, kami bekerja (sendiri-sendiri) sesuai dengan tugas masing-masing,” ujarnya. Sehari-hari, pria gempal ini bertugas dalam kesatuan intel politik sosial. Kesatuan lain yang dimiliki Poltabes Semarang adalah satuan politik dan keamanan, dan satuan anti-terorisme.

Menyadari ”permainan solo” tak bisa lagi dipertahankan, Biro Hukum Setjen Departemen Pertahanan sudah menyiapkan RUU Intelijen yang bakal mengatur kerja sama antar-intelijen. Kelak seluruh aparat yang banyak bermain di wilayah abu-abu ini bakal bekerja di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara (BIN), sehingga seluruh laporan pengamatan pun nantinya masuk ke meja BIN. Maka, dengan undang-undang ini, misalnya, tak ada lagi alasan seorang intel TNI tak melaporkan informasi mengenai terorisme karena merasa itu tugas polisi. ”Nantinya, itu akan jadi tugas intel TNI juga.”

Namun, RUU ini baru akan dirilis tahun 2007, meski jika muncul desakan dari masyarakat bukan tak mungkin bakal digeber pada 2006. Tapi rencana penyatuan koordinasi itu sudah menimbulkan antipati Ata, intel dari Semarang itu. ”Penyatuan hanya akan membuat panjang jalur birokrasi. Gerak intel polisi tidak bisa cepat lagi,” katanya. Waduh.

Tulus Wijanarko, Muchamad Nafi, Siswanto, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus