Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mata-mata Seni Rupa Pak Harto

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Dermawan T.

  • Kritikus, penulis buku-buku seni rupa

    Sebagai pemimpin negara yang amat berkuasa, Pak Harto tidak cuma pernah jadi lakon yang menawarkan ketegangan dalam panggung sosial politik di Indonesia. Ia juga mampu meluruhkan mental para pemain yang berkubang di pentas seni rupa. Alkisah pada 1977 di Galeri Senisono Yogyakarta, dalam pameran ”Kepribadian Apa”, muncul lukisan Ronald Manulang yang menggambarkan state portrait Pak Harto. Lukisan itu oleh Ronald sengaja tidak diselesaikan, sehingga ada bagian-bagian yang masih kosong. Dan lukisan itu pun diberi judul Presiden yang Tak Pernah Selesai.

    Beberapa hari setelah pembukaan pameran, Ronald diinterogasi polisi.

    ”Presiden yang tak pernah selesai, apa maksudnya?” tanya polisi.

    ”Oo, itu artinya lukisan saya tentang seorang presiden tak kunjung selesai juga. Susah sekali menuntaskannya,” kata Ronald santai.

    ”Bohong. Ada kecurigaan Saudara memprovokasi masyarakat untuk mendongkel kekuasaan Kepala Negara,” kata polisi lagi. Ronald Manulang terbelalak. Dan sejarah seni rupa tahu, pameran itu ditutup polisi sebelum jadwal berakhir.

    Waktu bergulung berbelas tahun, sampai akhirnya ada seseorang menyampaikan peristiwa di atas kepada orang dekat Pak Harto. Atas berita tersebut orang-dekat itu segera tertawa.

    ”Mustahil Pak Harto bisa takut sama lukisan. Lha wong beliau ngerti seni rupa saja kagak,” katanya.

    Benarkah Pak Harto tidak memahami seni rupa? Sejumlah cerita nyata berusaha menegaskannya.

    l l l

    Pak Harto konon bukan apresiator seni rupa, bahkan seni rupa yang kasat mata sekalipun. Namun sesekali ia ingin mengoleksi karya lukisan sebingkai atau dua bingkai. Dengan pemahaman yang jujur, untuk merayakan perkawinannya yang ke-40 pada 26 Desember 1987, ia memesan lukisan sekelompok burung merpati putih kepada Basoeki Abdullah. Sebuah lukisan yang akhirnya jadi elemen dekorasi paling populer di Cendana pada 1990-an, lantaran sering disorot kamera televisi.

    Di sini Pak Harto menganggap bahwa setiap benda yang dibeli adalah seratus persen hak milik. Sehingga ia merasa boleh melakukan apa pun atas dan di atas lukisan itu. Ia melupakan bahwa atas lukisan sesungguhnya ia hanya mengantongi ”hak guna pakai”, meski tanpa batas waktu. Maka Pak Harto lantas dengan ringan menyuruh anak-mantu-cucu untuk mengimbuhkan tanda tangannya di setiap sisi puluhan merpati itu, dengan spidol berwarna emas.

    Melihat karyanya divandalisasi, Basoeki gusar setengah mati. Pak Harto tampak memahami kemarahan sang pelukis, dan sang Presiden pun merasa berutang. Menyedihkan, utang itu baru terlunasi ketika Basoeki Abdullah wafat pada November 1993. Dalam momentum ini Pak Harto, lewat upaya putrinya Siti Hediati atau Mbak Titiek, meminjami pesawat Pelita Air Service PK-PKJ Lengguru untuk membawa jenazah Basoeki dari Jakarta ke Yogyakarta, sebelum dimakamkan di Desa Mlati.

    Pak Harto dan seni rupa sungguh tampak seperti dua dunia yang nyaris tidak ketemu. Latar belakang dan minat hidupnya jelas menegaskan itu. Ia adalah anak ulu-ulu (juru air) lulusan SMP Muhammadiyah yang gemar bermain plinteng (ketapel dengan peluru batu). Dunia plinteng-memlinteng ini menuntunnya masuk ke sekolah militer di Gombong pada 1940. Dan pada zaman Jepang ia jadi sukarelawan Pasukan Kepolisian atau Keibuko.

    Sementara pada zaman ini Bung Karno dan ratusan seniman Indonesia ramai terlibat dalam Keimin Bunka Sidhoso (lembaga kesenian milik Jepang), Pak Harto tidak bersentuhan dengan lembaga itu. Bahkan jagat militer terus melingkupi hidupnya, dan menjadi alter ego yang menuntun dirinya jadi jenderal. Profesi kaku dan keras ini mendorong kesenian semakin jauh dari benaknya.

    Tapi, sebagai (orang yang pernah jadi) presiden, seni lukis dan seni rupa lain tetap saja hadir dan bergeletakan di hadapannya. Selama Pak Harto berkuasa, ada ratusan karya seni rupa yang diberikan kepadanya, dengan tentu diimbuhi berbagai pretensi. Semua itu datang dari Indonesia dan berbagai penjuru dunia. Sebagian adalah lukisan atau patung. Sebagian lain adalah craft atau art craft, dari piring seladon dinasti Sung, kapal layar logam tradisional Jepang, sampai arca kristal produksi Daum.

    Di tubuh karya-karya itu tertoreh nama Richard Nixon, Roh Tae Woo, Pham Van Dong, Zenko Suzuki, Yasser Arafat, Fidel Castro, Francois Mitterrand, Fidel V. Ramos, Corazon Aquino, Paul Keating, Agha Khan, dan sebagainya. Tak ketinggalan Sudono Salim atau Om Liem, Probosutedjo, Faizal Abda’oe, bahkan anaknya sendiri Siti Hardijanti Rukmana, dan berderet nama pengusaha besar yang dikenal di Indonesia.

    l l l

    Tentu hal memikat ketika di tengah kesibukan memimpin negara, dengan konsentrasi politik, ekonomi, tata militer, serta repotnya mengemban komitmen stabilisasi, Pak Harto sempat menggagas berdirinya tempat untuk menyimpan cenderamata seni rupa itu. Tempat tersebut bernama Purna Bhakti Pertiwi. Museum yang diresmikan pada 23 Agustus 1993 ini berdiri di atas tanah 20 hektare di depan Taman Mini Indonesia Indah, dalam bentuk bangunan berupa tumpeng.

    Yang tak kalah menarik adalah gagasannya untuk mendirikan Graha Lukisan. Inilah museum yang khusus menampung karya seni lukis koleksinya, koleksi anak-anak serta segenap menantunya. Gedung ini beringkat tujuh, menjulang tinggi 41 meter. Bentuknya bagai burung mengepak menghadap matahari yang tenggelam di barat. Luas seluruh ruangannya 6.580 meter persegi. Di sini beratus-ratus lukisan koleksi Pak Harto dan keluarganya dipajang. Museum yang ditangani Titiek ini diresmikan pada 12 April 1997.

    Maka lukisan para seniman yang aktif pada masa Orde Baru seperti Antonio Blanco, Widajat, Affandi, Bagong Kussudiardjo, Omar Yahya, Koempoel, Srihadi Soedarsono, Abas Alibasyah, Wayan Asta, Hening Purnawati, sampai Gunawan Hanjaya gampang tersaksikan. Begitu juga lukisan novelis N.H. Dini, yang merupakan hadiah dari Perdana Menteri Republik Khmer Lon Nol kepada Pak Harto. Tak ketinggalan lukisan besar Hendra Gunawan yang menceritakan rangkaian peristiwa Indonesia 1965-1966, sejak penggalian sumur maut Lubang Buaya sampai demo besar di Istana Presiden RI pertama.

    Bukan itu saja. Di sini juga terpajang 30-an drawing Pablo Picasso dalam bentuk litografi edisi amat terbatas. Karya Picasso itu merupakan cikal bakal dari adikarya Guernica yang dicipta Picasso pada 1937. Pak Harto mendapatkan benda berharga ini dari Raja Spanyol, Juan Carlos. Dan mungkin lantaran kurang paham atas sejarah dan nilai artistiknya, drawing Picasso tersebut sempat terkulai lunglai berkurun tahun begitu saja di koper Ibu Tien. Untung, Titiek menemukan.

    Dalam jajaran lukisan bermutu yang datang dari seluruh dunia dan Indonesia, terdapat juga berbagai lukisan kodian yang sering diperdagangkan di banyak art shop di Tanah Air, yang sampai sekarang berharga tak lebih dari Rp 200 ribu saja. Entah siapa yang tega ”menipu” Pak Harto dengan cenderamata yang murahan seperti itu. Namun, atas karya jenis ini, Pak Harto tetap menyarankan untuk dipasang di Graha Lukisan, dengan alasan demi menghormati si pemberi. Adapun Pak Harto sendiri, sejak museum itu dibuka sampai ia tutup usia, terbilang amat jarang datang ke sana.

    Sekali lagi, Pak Harto konon tidak dekat dengan seni rupa. Namun ia ternyata bisa meletakkan sosoknya sebagai penyimpan seni rupa yang baik bahkan sistematis. Sebagai seorang pemimpin ulung, ia memperlakukan karya seni seperti elemen organisasi. Semua diatur dalam pranata kelembagaan, dengan mendudukkan sejumlah pakar dan berderet pengurus dalam struktur. Sikap ini terlihat ketika ia menangani lukisan di Istana Kepresidenan. Dulu, Bung Karno mengangkat pelukis istana sebagai pengurus lukisan di Istana, sedangkan Pak Harto, lewat Sekretariat Negara-Rumah Tangga Kepresidenan, mendirikan lembaga Sanggar Lukisan Istana Presiden sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dalam sanggar itu ada ketua, sekretaris, kurator, pelaksana lapangan, dan sebagainya.

    Lewat lembaga itulah Pak Harto memelihara benda seni (yang sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah peninggalan Presiden Soekarno) di Istana Presiden di seluruh Indonesia. Upaya Pak Harto itu direspons simpatik oleh Presiden Megawati. Sehingga pada akhir 2004 Megawati lantas menyerahkan semua koleksi Presiden Soekarno yang ada di Istana Kepresidenan kepada negara.

    l l l

    Hati Pak Harto amat berjarak dengan seni rupa. Siapa yang tak percaya? Tapi bahwa Pak Harto dan segenap loyalisnya menatap seni rupa dengan mata dan pikirannya, pelukis Hardi sudah lama memahaminya. Pada 1980 seniman ini membuat poster berteknik silkscreen yang menggambarkan potret dirinya berbusana ala Bung Karno, lengkap dengan tanda jasanya. Di atas gambar itu ia menuliskan teks: Presiden RI 2001-Suhardi. Tentu masih banyak yang ingat, begitu karya ini dipamerkan, Hardi langsung ditangkap serta dimasukkan sel beberapa hari.

    Dalam interogasi di kantor polisi, sejumlah ”Pak Harto” berkata: ”Saudara mengusik ketenangan yang berkuasa.” Hardi pun takut. Beberapa tahun kemudian pelukis vokal ini, yang tidak kunjung jadi presiden, menggambar Pak Harto nabuh bedug.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus