Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT Syaukani Hasan Rais untuk tetap maju sebagai kandidat Gubernur Kalimantan Timur sebaiknya dikubur dalam-dalam. Bukan saja lantaran dia sedang menjalani hukuman dalam perkara korupsi, tapi sikap ngotot bupati non-aktif Kutai Kartanegara ini untuk terus mencalonkan diri sungguh tidak etis.
Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang dipimpin Kresna Menon telah mengganjar orang kuat yang pernah memimpin kabupaten terkaya di Indonesia ini dua setengah tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti secara sah melakukan korupsi. Ada empat kasus yang menjerat Syaukani, dan itu jelas bukan perkara ecek-ecek.
Pintu bagi Syaukani untuk ikut bertarung memang masih terbuka. Berdasarkan pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Syaukani masih bisa melenggang sebagai calon kepala daerah. Di situ dinyatakan bahwa orang yang pernah dipidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Meski perkaranya bisa diancam hukuman seumur hidup, toh ia belum sepenuhnya terganjal aturan itu. Sebab, vonisnya belum berkekuatan hukum tetap—ia mengajukan banding.
Syaukani, alias Pak Kaning, masih dinyatakan sebagai calon terkuat yang diusung Partai Golkar. Titah agar ia terus maju, atau merekomendasikan calon pengganti, ditunggu-tunggu. Syaukani pun boleh-boleh saja berharap bisa bebas di pengadilan banding, atau bahkan di tingkat kasasi kelak. Tapi harap juga diingat, selama ini keputusan majelis pengadilan korupsi belum pernah kandas di tingkat atas. Syarat pembuktian yang mereka tetapkan jauh lebih ketat daripada pengadilan biasa.
Berharap bisa bebas seperti yang pernah dialami bekas Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung pun boleh-boleh saja. Bekas Ketua DPR itu memang pernah dibebaskan oleh Mahkamah Agung dari dakwaan korupsi dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar dan penyalahgunaan wewenang sebagai Menteri Sekretaris Negara pada Februari 2004. Tapi keputusan yang dianggap sebagai antitesis bagi upaya pemberantasan korupsi itu terjadi di tengah persiapan pembentukan pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Walhasil, ”berkah” Akbar tak bisa terulang pada Syaukani.
Pencalonan ini bisa dikatakan tidak etis lantaran Syaukani memang punya kepentingan langsung dengan pencalonannya itu. Sampai kini ia masih menjadi Ketua Partai Golkar Kalimantan Timur. Ia menjadi satu-satunya calon kuat yang digadang-gadang partainya. Sebab itu bisa diusulkan agar kasusnya diambil oper Partai Golkar di tingkat pusat. Kalau Presiden saja—atas rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi—berani memberhentikan sementara Syaukani, menjadi tanda tanya besar kenapa Beringin terus mengaktifkan bahkan malah mengusungnya sebagai calon gubernur. Seharusnya partai punya etika dan keberanian yang lebih ketimbang pemerintah.
Kalau Golkar berkukuh mencalonkan seorang terdakwa sebagai calon gubernur, pastilah citra partai bakal tercoreng. Apalagi, kalau mau dirunut, masih ada sejumlah kader berkualitas lainnya, yang tak dirundung masalah hukum, yang pantas dijagokan. Jika pencalonan nekat Syaukani terus dijalankan, tentulah komitmen partai yang telah berurat berakar sejak Orde Baru ini bakal digugat.
Maka, hanya ada dua pilihan: biarkan Syaukani mundur atau hentikan saja pencalonannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo