Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mata Rantai Yang Terputus

Penangkapan kapal tanker MT Tioman pada akhir Agustus menjadi titik penting pengungkapan berbagai penyelewengan bahan bakar minyak. Sejumlah pegawai Pertamina dan petugas keamanan diduga terlibat penggarongan ini. Tokoh-tokoh penting di belakang mereka belum disentuh.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapal tanker M.T. Tioman melaju perlahan menyibak perairan Riau mengarah ke Batam. Cuaca cerah di tengah laut berbanding terbalik dengan suasana di dalam kapal. Keruh dan tegang. Tak ada senda gurau di antara para awak kapal. Maklum, mereka berhadapan dengan sejumlah petugas TNI Angkatan Laut yang bersenjata lengkap.

Komandan kapal perang RI Multatuli, Kolonel Laut Bambang Suyono, juga berada di dalam kapal tanker. Bersama anak buahnya, dia telah menangkap kapal berbendera Korea Utara ini di perairan Riau pada 27 Agustus lalu. Ternyata, kapal bermuatan 2.881 kiloliter minyak mentah ini tak dilengkapi surat yang sah.

Dari pengakuan awak kapal diketahui, minyak senilai kira-kira Rp 12 miliar itu hasil curian. Mereka menyedotnya dari single buoy mooring (ponton penampungan) Pertamina di Terminal Lawelawe, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, enam hari sebelumnya. Menurut awak kapal, si pembeli menunggu di perairan Singapura, dan selanjutnya minyak mentah itu akan dibawa ke Cina. ”Kami sendiri cuma cari makan, Pak,” kata Ma’ruf, nakhoda M.T. Tioman, kepada Tempo.

Setelah ditangkap lewat penyergapan yang menegangkan, kapal Tioman langsung dikuasai oleh pasukan Bambang Suyono. Sebagian awak kapal Multatuli pun pindah ke kapal tanker berbobot mati 2.000 ton itu. Mereka memutar haluan kapal, yang semula menuju Singapura, ke Batam.

Begitu tiba di Batam, sudah menunggu Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, dan Brigadir Jenderal Gorries Mere. Dua perwira tinggi dari Mabes Polri itu mengambil alih perkara ini. Angkatan Laut sendiri tidak tinggal diam. ”Kami akan menangani pelanggaran pelayaran yang terjadi,” kata Panglima Armada Barat, Laksamana Muda Tedjo Edhi P.

Kepala Badan Intelijen Negara, Syamsir Siregar, bersama enam anak buahnya pun perlu datang ke Balikpapan, Senin pekan lalu. Tampaknya ada sesuatu yang cukup penting dalam kasus Lawe-lawe, sehingga para jenderal sampai turun gunung. Sayang, Makbul tak bersedia menjelaskan kehadirannya. Begitu juga Gorries Mere. ”Pokoknya saya tak mau berkomentar,” katanya.

Juru bicara Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar I Wayan Tjatra, yang biasanya gampang diajak ngobrol, pun mendadak jadi pelit bicara. ”Jangan tanya saya tentang kasus Lawe-lawe, ya,” katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengungkapkan keterlibatan para pejabat Pertamina dalam pencurian minyak di Lawe-lawe. Namun, dari 30 tersangka yang ditangkap sampai akhir pekan lalu, hanya muncul nama pegawai biasa. Karyawan paling tinggi posisinya adalah Sumardiono, yang jadi kepala jaga tangki penampung di Lawe-lawe. Selebihnya hanya staf operasi tangki.

Padahal, dilihat dari jumlahnya yang sangat besar, pencurian minyak mentah itu memerlukan modal tidak sedikit. Buat menggasak minyak, di Lawe-lawe, misalnya, diperlukan duit miliaran rupiah. Bagaimana pula kapal berbendera negara asing itu bisa bebas masuk ke perairan Indonesia, kemudian mencuri minyak. ”Jelas, kapal ini dibiarkan, bahkan dikawal,” kata sumber Tempo di Pertamina. Apalagi pencurian minyak di Lawe-lawe bukan baru kali ini saja terjadi, tapi sudah berlangsung sejak 2004.

Keterlibatan pejabat Pertamina yang agak menonjol muncul dalam kasus penyelundupan solar di Batam. Di sini tokoh yang ditangkap Kepala Cabang Pertamina Batam, Nono Asmanu. Dia telah ditahan Kepolisian Kota Besar Barelang bersama sejumlah tersangka lain sejak Selasa pekan lalu. Mereka dituduh terlibat kasus penyelundupan 900 ton solar ke luar negeri.

Hanya, dalam kasus penyelundupan minyak lainnya seperti yang terungkap di Cilacap, Semarang, Jawa Timur, dan Makassar, tak ada nama pejabat yang muncul. Tersangkanya sebatas pegawai Pertamina (lihat Seribu Akal Menyedot Minyak).

Tak cuma kalangan Pertamina, aparat kepolisian dan TNI diduga terlibat dalam pencurian dan penyelundupan minyak. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Utama Pertamina Widya Purnama. ”Oknum polisi dan tentara juga ada,” katanya. Widya sebenarnya mengutip pernyataan Kepala Polri Jenderal Sutanto.

Sejauh ini polisi dan tentara yang dijerat baru kelas sersan. Tengok saja dalam kasus penyelewengan BBM di Surabaya. Di sini satu anggota TNI AL, Sersan Mayor Rahmat, yang dituduh terlibat dalam penyelewengan minyak dari bungker milik Prima Koperasi Angkatan Laut, Surabaya. Dia dibekuk pada 17 Agustus lalu.

Rahmat diduga menyedot 108 kiloliter minyak dari bungker dan menjualnya ke M.V. Thor Star, kapal berbendera Thailand. Dia bekerja sama dengan rekanan Primkopal, PT Tribhakti Mandiri Lines, dan PT Gelora Insan Samudra, rekanan Pertamina. ”Sekarang masih dalam penyidikan kepolisian. Nanti akan diproses polisi militer Angkatan Laut,” kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Laksamana Pertama A. Malik Yusuf.

Malik menyangkal adanya keterlibatan Primkopal secara institusi. Bahwa Tribhakti Mandiri Lines adalah rekanan Primkopal, dia membenarkan. ”Jika kemudian Tribhakti bekerja sama dengan Gelora Insan Samudra, itu di luar kewenangan Primkopal,” katanya.

Dalam perkara yang sama, polisi juga menangkap anggota TNI Angkatan Darat. Pangkatnya juga sersan mayor, anggota Korem/083 Malang. Menurut data Mabes Polri, si tentara bekerja sebagai petugas lapangan di Gelora Insan Samudra. ”Dia sudah diserahkan ke polisi militer,” kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Soenarko, tanpa menyebut nama tersangka.

Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Mangaraja Panjaitan, tak menyangkal cerita itu. ”Hanya, kasus ini masih diselidiki apakah dia bekerja insidental atau pegawai tetap,” katanya.

Lalu, bagaimana dengan polisi? Ada cerita seru dari Sumatera. Sepekan sebelum penangkapan kapal tanker Tioman, insiden terjadi di perairan Jambi. Menurut sumber Tempo di Pertamina, waktu itu ada sebuah kapal yang disewa Pertamina buat mengangkut 1.500 ton bahan bakar minyak dari Unit Pengolahan II Palembang untuk pasokan Jambi.

Ketika merapat ke pelabuhan Jambi, sejumlah pria bersenjata api sempat menghadangnya. Padahal, aparat Kepolisian Daerah Sumatera Selatan telah mengawal kapal itu. Ternyata, menurut sumber Tempo, si penghadang adalah sejumlah aparat Brimob dan Airud setempat. Sempat terjadi tembak-menembak kendati tak ada korban.

Kabarnya, untuk penyelesaian kasus itu, seorang jenderal bintang satu dari Mabes Polri diutus datang ke Jambi. Namun Soenarko menyangkal semua kisah tersebut. ”Tidak benar itu,” katanya.

Keterlibatan polisi yang lebih jelas dalam penyelundupan BBM terjadi di Surabaya. Dia adalah seorang perwira dari Polairud. ”Kini si perwira diperiksa oleh Divisi Propam Polda Jawa Timur,” ujar Soenarko. Menurut data dari Mabes Polri, perwira yang diperiksa itu tak lain adalah Kepala Polairud Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Toni Suhartono. Dia diperiksa bersama delapan polisi lainnya di Surabaya sejak Kamis pekan lalu.

Seorang karyawan Pertamina yang dijumpai Tempo pada Jumat pekan lalu mengatakan risau melihat perkembangan kasus BBM ini. Dia tak yakin kejahatan terorganisir ini akan diusut hingga ke aktor puncaknya. ”Ini adalah skandal tingkat tinggi,” katanya.

Dia juga menggambarkan adanya beberapa pejabat yang telah lama bermain dalam penyelewengan BBM, tapi belum ditangkap juga. Diduga beberapa tersangka yang terlibat penyelewengan BBM di Surabaya juga menjalin hubungan dengan dua perwira tinggi di Mabes Polri. Mereka juga dibeking oleh pejabat dari instansi lainnya seperti TNI AL dan TNI AD.

Hal yang sama juga dibeberkan oleh ketua tim terpadu penanggulangan penyalahgunaan BBM, Brigadir Jenderal TNI Slamet Singgih. Dia juga mengetahui bahwa oknum yang terlibat kasus ini adalah pejabat penting di berbagai instansi. ”Kotor sekali permainan minyak ini. Banyak oknum yang terlibat,” kata Slamet Singgih.

Menurut Singgih, banyak pejabat tergiur bermain minyak karena banyak duit yang bisa diraup. Ambil contoh penyelundupan solar. Selama ini harga solar di dalam negeri dipatok Rp 2.200 per liter. Dijual di Singapura, harganya mencapai Rp 5.000 per liter. ”Berarti tingkat keuntungannya di atas 100 persen,” katanya.

Untuk meraup untung itulah mereka mengintip setiap kesempatan untuk menyelundupkan BBM. Masuk akal jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut angka kerugian negara akibat kejahatan ini mencapai Rp 8,8 triliun per tahun.

Mabes Polri menanggapi tudingan itu dengan hati-hati. ”Saya tak mau mengomentarinya dulu, ya,” kata Soenarko, wakil juru bicara Mabes Polri. Begitu pula Panglima Armada Barat, Laksamana Muda Tedjo Edhi P. ”Buktikan dulu. Kami pasti menindak yang terlibat,” ujarnya.

Nurlis E. Meuko, Metta Dharmasaputra, Eni Saeni (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam), dan Sakti Gunawan (Balikpapan)


Penyergapan di Perairan Riau

  1. Sabtu, 27 Agustus 2005, pukul 11 siang, Kapal Republik Indonesia Multatuli berangkat dari Batam menuju Laut Natuna untuk berpatroli. Empat jam kemudian, tiba di perairan sebelah timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Radar navigasinya tiba-tiba menangkap gerakan kapal mendekat. Dalam jangkauan pandang diketahui bahwa itu adalah tanker MT Tioman yang berbendera Korea Utara.

  2. Lewat komunikasi radio, Multatuli berusaha melakukan kontak: ”Mike Tango Tioman, di sini kapal perang Indonesia. Silakan stop mesin, kami akan memeriksa Anda.” Tak ada jawaban. Menggunakan bahasa Inggris pun tidak digubris. Kapal itu bahkan berusaha menghindar dan lari. Multatuli siaga tempur dan mengejar Tioman.

  3. Kapal patroli menembakkan mitraliur ke udara lima kali. Tioman tetap tak berhenti. Tembakan kemudian diarahkan ke muka haluan. Barulah awak kapal Tioman keluar dan nakhoda melambatkan kapal.

  4. Kapal Tioman lalu diperiksa. Ternyata kapal bermuatan penuh 3.000 ton minyak hitam itu tidak memiliki dokumen lengkap. Nakhoda Ayacobson Hanok akhirnya mengaku memuat minyak diesel (marine fuel oil) tanpa izin dari stasiun pengisian di laut (single buoy mooring) milik Unit Pengolahan Pertamina, sekitar 10,25 kilometer di lepas pantai Lawe-lawe, Kalimantan Timur. Tioman disewa untuk membawa muatan tersebut menuju perairan internasional dekat Singapura dan akan memindahkannya ke dua kapal berbendera Cina.

  5. Kapal Tioman ditahan dan diserahkan ke Pangkalan Angkatan Laut di Batam untuk disidik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus