Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kepak Maut Masih Mengintai

Flu burung kembali menelan korban. Selama masih ada unggas yang terinfeksi virus ini, manusia tetap rentan untuk tertular.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senin pekan lalu, warga sebuah pemukiman di pojok selatan Jakarta, tua muda, bergerombol. Mereka berkumpul di belakang rumah kontrakan almarhumah Rini Dina, 37 tahun, Jalan Haji Radin No.13, RT 01/RW 05, Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Petukangan Utara, Jakarta Selatan.

Untuk mengisi waktu, beberapa ibu terlihat mengobrol, entah topik apa yang dibicarakan. Mereka rupanya sedang antre untuk diambil sampel darahnya. Lima petugas dari Departemen Kesehatan RI dan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan sigap dengan alat suntik di tangan.

Ketika tiba giliran Angga diambil darahnya, bocah 3 tahun itu menjerit. Sembari meringis, tangan kanannya erat menggenggam permen pemberian petugas Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang ikut dalam tim pengambilan darah. Ibunya terpaksa memangku agar Angga lebih tenang.

”Ini antisipasi awal untuk mencegah penyebaran flu burung,” kata Tato Suharto, Kepala Seksi Bimbingan dan Evaluasi, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan. Langkah serupa dilakukan terhadap keluarga dan orang-orang yang menangani jenazah Rini saat dimakamkan di Jomblangan, Semarang, Jawa Tengah.

Tindakan antisipasi dilakukan setelah kematian Nyonya Rini yang diduga akibat flu burung. Sebelumnya, Rini sempat dirawat di RS Internasional Bintaro, Tangerang. Saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah sangat parah. Menurut Nailufar, Manajer Pemasaran RS Bintaro, kesadaran Rini sudah menurun, shock berat dan mengalami gagal napas. Keterangan resmi menyebut wanita 37 tahun itu meninggal karena radang paru akut alias bronco pneumonia.

Cuma, melihat gejala klinis yang ada, yakni terjadinya pneumonia berat setelah beberapa hari menderita influenza, plus anjloknya sel darah putih, muncul dugaan Rini terpapar virus flu burung. Hasil uji laboratorium terhadap darah dan tenggorokan Rini di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Depkes dan Naval Medical Research Unit (Namru) menguatkan dugaan itu. Rini memang terpapar virus flu burung (H5N1). Demikian pula dengan hasil uji di laboratorium rujukan WHO di Hong Kong.

Ada seorang lagi yang pernah berhubungan dengan Rini dicurigai terinfeksi virus yang sama. Hanya saja, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari belum bersedia menyebutkan jati diri yang bersangkutan. ”Memang ada suspect, tapi orangnya sehat. Kita masih akan teliti,” katanya seusai rapat koordinasi di kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jumat pekan lalu.Kasus Rini jelas mengagetkan banyak pihak dan membuktikan ancaman flu burung pada manusia makin nyata. Juni lalu, Iwan Siswara Rafei, 37 tahun, warga Vila Melati Mas, Serpong, Tangerang, juga dinyatakan positif meninggal akibat flu burung.

Menyusul kematian Rini, bukan hanya Tato yang terjun ke rumah kontrakan yang bersangkutan. Sejumlah petugas Badan Penelitian Veteriner Bogor ikut turun ke lapangan. Mereka mengambil sampel darah dan kotoran unggas yang ada di sekitar rumah kontrakan Rini.

Hal itu dilakukan untuk mencari tahu kemungkinan adanya flu burung yang menginfeksi unggas setempat dan menular ke Rini. Sayang, hingga akhir pekan lalu, hasil pemeriksaan belum diketahui. ”Pemeriksaan masih dikerjakan,” kata Tri Satya Putri Naipospos, Direktur Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian.

Investigasi menyeluruh tentang sumber penularan menjadi penting agar antisipasi dan penanganan secara paripurna terhadap flu burung bisa dilakukan. Dalam kasus Iwan, sumber penularan tidak ditemukan dan investigasi dihentikan.

Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, I Nyoman Kandun, investigasi seperti itu memang bisa bermuara pada dua hal: sumbernya ditemukan atau sebaliknya, tidak ditemukan. Jadi, menurut Kandun, situasi yang terjadi dalam kasus Iwan merupakan hal lumrah.

Yang tampaknya sudah jelas, flu burung memang bergentayangan di bumi Indonesia. Pada Juli lalu, kasus kematian unggas masih terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, Jambi, dan Sumatera Utara. Pada Agustus, tak ada kejadian unggas mati akibat flu burung. Cuma di Jawa Barat kasusnya kembali muncul pada awal September.

Tri Satya menyebutkan, serangan flu burung terjadi di Kabupaten dan Kota Madya Bandung. Data dari Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian, yang diterima Tempo menunjukkan, jumlah unggas yang mati di wilayah ini mencapai 230 ekor.

Banyaknya unggas yang terserang flu burung patut dicermati. Menurut Dr Tjandra Yoga Aditama, spesialis paru dan pernapasan, Bagian Pulmonologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Rumah Sakit Persahabatan, sepanjang masih ada unggas yang sakit karena flu burung, kemungkinan manusia tertular masih ada walaupun amat kecil. Di Thailand dan Vietnam, untuk sekadar pembanding, sejak akhir 2003 selalu ada kasus baru setiap dua atau tiga bulan sekali.

Jadi, kewaspadaan terhadap flu burung memang tetap diperlukan. Kendati begitu, masyarakat tak perlu takut secara berlebihan. Sejauh ini belum ada laporan terjadinya penularan virus flu burung antarmanusia.

Riwayat perjalanan virus mematikan itu memang mengejutkan. Jika sebelumnya hanya menular kepada sesama unggas, sejak 1997 ditemukan kasus penularan kepada manusia di Hong Kong. Hingga kini, jika ditambah Rini, WHO mencatat ada 58 orang meregang nyawa dari 113 orang yang terinfeksi flu burung di kawasan Asia.

Tjandra menyebutkan, penularan flu burung selama ini terjadi lewat kotoran dan air liur unggas yang terinfeksi, lalu terhirup manusia. Dengan begitu, orang tak perlu khawatir makan telur atau daging ayam matang. Soalnya, panas dari proses pemasakan mematikan virus.

Data dari negara lain juga menunjukkan tak ada satu pun kasus flu burung pada manusia yang terjadi akibat makan ayam. ”Sekali lagi, makan ayam yang dimasak itu 100 persen aman—jangan takut,” kata Tjandra. Ia menambahkan, jika menular melalui makanan, maka gejala yang muncul bukanlah batuk dan pilek, melainkan mencret-mencret.

Ditemukannya kasus flu burung yang menginfeksi manusia membuat ketersediaan fasilitas rumah sakit yang siap sumber daya, sarana dan prasarananya, termasuk sistem rujukannya, mutlak diperlukan. Hal yang tak kalah penting, sumber penularannya mesti segera dilacak. Dengan cara itulah kemungkinan penyebarannya bisa dicegah. ”Asal virus harus diungkap sehingga kita bisa lebih akurat dalam penanganan dan pengendaliannya,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono kepada Mawar Kusuma dari Tempo.

Untuk membasmi flu burung pada unggas, Departemen Pertanian sudah melakukan berbagai langkah, antara lain melakukan vaksinasi dan pengawasan lalu lintas unggas antardaerah. Jika ditemukan kasus unggas yang sakit atau mati karena flu burung, maka langkah pemusnahan dilakukan.

Tindakan serupa diterapkan pada binatang lain yang tertular, seperti babi. Sayang, tak semua rencana bisa dijalankan dengan mulus. Pemusnahan tak bisa dilakukan secara total dalam radius tiga kilometer dari ternak yang terinfeksi flu burung. Akhirnya, strategi depopulasi alias pemusnahan selektif dipilih. ”Pengurangan populasi dilakukan dengan memusnahkan hewan-hewan sehat yang sekandang dengan hewan yang sakit saja,” kata Tri Satya.

Langkah itu terpaksa diambil karena pemusnahan total sering menghadapi hambatan. Selain butuh dana kompensasi yang sangat besar, masyarakat juga belum sepenuhnya sadar tentang ancaman penyakit hewan menular. Dalam aksi pemusnahan babi di Tangerang, Juli lalu, misalnya, ada peternak yang mengungsikan babi-babinya untuk menghindari pemusnahan. Sering pula terjadi, peternak yang mendapati unggasnya sakit, eh, tetap saja dijualnya dengan enteng.

Tri Satya menegaskan perlunya pendidikan dan sosialisasi tentang penyakit hewan menular, termasuk flu burung. Terlebih lagi, terbuka kemungkinan bahwa penyakit sejenis akan semakin banyak ragamnya. Hal yang tak kalah penting, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan harus segera direvisi. Perlu ada sanksi bagi mereka yang menolak atau menghambat pemberantasan penyakit hewan menular.

Bila hal itu terwujud, Tri dan anak buahnya tak akan ragu-ragu lagi menindak peternak yang menjual hewan sakit yang notabene berpotensi menyebarkan penyakit. Aparatnya pun bakal lebih mudah menemukan sumber-sumber penyakit hewan menular, termasuk flu burung.

Dwi Wiyana, Yudha Setiawan, Ami Afriatna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus