Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pekerja keras dari genoa

Edoardo giacone, pemilik wiskitek terbesar di dunia berasal dari genoa. ia seorang yang kecanduan kerja, sehingga ia dapat memiliki 3800 jenis wiski dalam wiskiteknya. (kl)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM Sabtu, pada suatu musim semi. Seorang bekas kepala polisi dan temannya, seorang bekas pemilik hotel, mengajak saya berjalan-jalan. Tetapi, di tepi Lago di Garda - danau terindah di Italia - saya masih juga menggigil kedinginan. Musik berdentam dari celah pintu sebuah bar. "Yang ini harus kau lihat," kata Giovanni, bekas kepala polisi itu. "Ya," potong bekas pemilik hotel, Massimiliano. "Ini adalah whiskyteca terbesar di dunia." "Di dunia?" tanya saya menggeleng tak percaya. Orang Italia memang suka melebih-lebihkan. "Dio mio!" kata Giovanni sambil memukul dahinya. "Jangan tidak percaya. Ini betul-betul yang terbesar di dunia." Karena dia bekas kepala polisi, maka ucapannya pun saya percaya. Apalagi ia menyebut nama Tuhan segala. "Tetapi, apa itu whiskyteca?" "Whiskyteca itu wiskitek. Kalau diskotek adalah tempat orang berdansa, dan bibliotek adalah tempat menyimpan buku, maka wiskitek adalah tempat orang menyimpan wiski." Kami melangkah masuk. Saya diperkenalkan kepada pemilik wiskitek itu. "Edoardo Giacone, ini temanku, wartawan dari Indonesia," kata Massimiliano sambil menginjak ujung sepatu saya. Taktik orang Italia, supaya minum tidak bayar. Lelaki di belakang meja bar itu menjabat tangan saya. "Selamat datang," katanya datar. Kata "wartawan" tak membuatnya menjadi ekstraramah. "Wartawan dari seluruh penjuru sudah datang ke sini untuk melihat satu-satunya wiskitek di dunia ini," kata Giovanni mencoba menjelaskan sikap Edoardo yang nyaris masa bodoh itu. Edoardo, pemilik satu-satunya wiskitek di dunia itu, ternyata adalah pekerja paling keras di situ. Di belakang meja bar, ia bekerja seperti kitiran. Sebentar ia membuat tiga es krim. Sebentar lagi membuat empat cocktail. Setelah itu, ia menyambar tiga gelas kosong, mengisinya dengan air es, dan menaruhnya di depan kami. "Minum wiski, 'kan ?" tanya Edoardo dengan dua telunjuk ke arah saya. Saya mengangguk. "Something special," gumamnya sambil menengadah ke atas mencari salah satu wiski terbaiknya. Ia menjemba sebotol Hedges & Butler, wiski Inggris bikinan 21 tahun lalu. Wah, selama ini saya pikir hanya Chivas Regal 12 tahunlah yang terbaik. Itu pun karena saya selalu membaca iklannya. Tiga gelas yang sudah dibekukan dalam mesin disorongkan ke depan kami. "Tuang sendiri, ya?" katanya sambil pergi mengiris limau dan membuat beberapa cocktail lagi. Ini ernyata cara paling benar dan "ilmiah" untuk minum wiski. Massimiliano yang memberi tahu. Wiski bagus tak boleh dicemari es apalagi air. Jadi, air es yang berkristal disuguhkan terpisah, wiskinya dituang ke gelas yang sudah dibekukan lebih dulu. Edoardo ternyata "bukan orang Italia" yang suka ngobrol, suka publisitas, dan suka membanggakan diri. "Ia orang Genoa," kata Giovanni. Itu berarti, ia adalah orang yang lebih suka bekerja. Teknik wawancara terpaksa saya sesuaikan dengan irama kerjanya yang bertempo tinggi. Tiap kali memintas, tiap kali itu pula saya tembak dia dengan sebuah pertanyaan. "Kata Massimiliano kau punya 1.800 macam wiski," kataku. "Ia berhenti mencuci gelas. Dipandanginya Massimiliano. "Ia tak bisa menghitung," kata Edoardo. Dikaisnya kunci dari sakunya. "Pergi sendiri ke bawah, dan boleh hitung berapa jenis wiski kupunya." Saya turun ke bawah. Wah, empat dindingnya penuh botol wiski. Di lantai, peti-peti penuh wiski bertumpuk-tumpuk. Ada botol-botol yang dibungkus flanel - wiski bikinan sebelum Perang Dunia II. Selain wiski, ada juga koleksi sampanye Prancis. Saya tak menghitung. Ruang bawah tanah itu dinginnya seperti kulkas. Saya kembalikan kunci itu kepada Edoardo. "Sudah kau hitung?" tanyanya. Saya menggeleng. "Bagaimana kau bisa percaya bahwa aku punya 3.800 jenis wiski?" katanya sambil mengantungi kunci. "Saya percaya. Koleksimu hebat. Luar biasa. Magnifico." Saya melihat senyum di bawah kumisnya. "Enak, ya, wiski ini?" katanya sambil menuangkan lagi Hedges & Butler itu ke gelas saya. Lantas ia berlalu, meneruskan kerjanya melayani seratus tamunya malam itu. Entah kenapa, tiba-tiba jarinya berdarah, tertusuk ujung pisau pemotong limau. "Pimpa!" teriaknya. Gadis yang bernama Pimpa itu melompat dari belakang kursi disc jockey dan segera menghadap "Jenderal" Edoardo. Edoardo hanya menunjukkan jarinya yang berdarah. Pimpa berlari dan setengah menit lagi sudah kembali dengan plester. Lalu semuanya berjalan seperti biasa lagi. Pimpa mondar-mandir melayani piringan hitam dan memunguti gelas-gelas kosong dari tiap meja. Numero due, si Antonio, sudah lebih dari kipas geraknya. Mengantar minuman, menerima pembayaran, mencarikan kursi untuk tamu yang baru datang. Numero uno, si Edoardo menjadi kapten di belakang bar, membuat segala macam minuman, termasuk mencuci gelas. Ketika setengah menit menunggu plester tadi, Antonio meloncat ke dalam bar, menggantikan Edoardo sebentar untuk membuat dua capucchini. Hanya tiga orang itulah yang bekerja di wiskitek satu-satunya dan terbesar di dunia itu. "Kerjamu seperti kuda," kata saya kepada Edoardo. "Kuda tak bisa menuang wiski," bantahnya. "Berapa jam sehari kau bekerja?" "Cuma dua belas jam. Tetapi kerjaku rutin. Aku bisa kerjakan semua ini sambil tidur." "Pernah sakit?" tembak saya ketika ia memintas lagi "Kalau ada waktu, aku mau sakit. Kalau tidak, ya . . . kerja terus. Kadang-kadang punggungku sakit, aku sudah 56 tahun. Tetapi kalau tak kerja punggungku malah tambah sakit." Lalu dia mondar-mandir lagi. Sesekali ia menyambar gelas birnya dan meneguk isinya. Tak sedetik pun tampaknya ia berhenti bekerja. Dan tiba-tiba dia seperti berlari ke arah saya. "Tahu tidak? Saya sudah enam kali ke Surabaya." Saya terbeliak. "Ya, tetapi itu dulu sekali. Waktu aku bekerja di kapal Oranye. Sampai tahun 1952." Jam berdentang dua belas kali. Kami tinggalkan wiskitek. Edoardo menepuk bahu saya. "Jangan tulis apa yang kau lihat di sini. Cukup kau ingat bahwa kau pernah ke sini. Kerja sepertiku ini tidak baik. Fever. Penyakit. Tetapi itu tak bisa kusembuhkan lagi. Dan apa yang kuperoleh? Dua anakku tak jadi orang. Berantakan. Istriku berburu lelaki muda di jalanan. Hidupku hanya untuk kerja. Dan kerjaku itu menghasilkan semua wiski yang kau lihat tadi. Untungnya, aku sudah senang dengan itu." Saya mengais dompet. Edoardo memasukkan dompetku ke dalam kantungku. "Hari ini uangku kebanyakan. Bayar lain kali sajalah," katanya. Kami berjabatan tangan. Saya tidak hanya telah melihat wiskitek terbesar di dunia, juga seorang workaholic dalam artinya yang paling murni. Seorang yang kecanduan kerja. Dingin menimpa kami di ambang pintu. Masih terdengar Edoardo berteriak: "Buena Domenica!" Selamat berhari Minggu!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus