EKONOMI dunia makin interdependen. Setiap negara makin dipaksa ikut serta dalam koordinasi kebijaksanaan ekonominya dengan negara lain. Dalam beberapa Kiat yang lalu telah ditulis pula kecenderungan penggabungan maupun kerla sama antara perusahaan-perusahaan besar multinasional yang berbeda kebangsaan. Beberapa negara maju telah mulai menampakkan diri dengan citra baru. Amerika Serikat, yang semula begitu gigih melakukan protcksl, kini pun sudah siap-siap banting setir. "Proteksi hanya mengakibatkan ill feeling bagi negara lain. Dan ill feelings sudah terlalu banyak di dunia ini untuk menyulut sebuah letupan besar," kata seorang sumber yang dekat dengan bangunan berkubah di Washington. "Sebagai negara besar, Amerika Serikat patut berjiwa besar pula." kata sumber itu. "Daripada melakukan proteksi yang selalu akan berakibat resiprokal, lebih baik kami mengingatkan daya saing dan mengembangkan pasar ekspor." Jepang, ternyata, justru sedang meninjau kebijaksanaan ekspornya. Sebuah laporan yang muncul dari arah gedung MITI (Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional) menyebut bahwa ekonomi Jepang harus segera diubah arahnya. Bangsa Jepang harus berahh dan struktur ekonomi yang berorientasi ekspor untuk memperbaiki ketakseimbangan perdagangan. Laporan MITI, yang telah disetujui Kabinet, menyebutkan bahwa perubahan struktural yang digagas itu direncanakan akan dapat dicapai dengan meningkatkan penanaman modal langsung di luar negeri dan meningkatkan domestic demand. Ini agak berbeda dengan keadaan di negara kita. Kita sering berseru untuk meningkatkan produksi. Tetapi pada saat yang sama kita juga menuduhkan gaya hidup konsumtif bagi mereka yang melakukan spending. Anehnya lagi, rekomendasi MITI itu malah meyebut agar Jepang juga meningkatkan impor. Lho? Itu, alasan mereka, agar nilai tukar mata uang asing dapat distabilkan dan posisi yen dapat diperkuat. "Tak ada yang lebih penting daripada memberikan kepastian kepada para pengusaha swasta tentang kestabilan nilai tukar mata uang asing dan tentang kekuatan domestic demand," kata Ryuhei Wakasugi, Direktur Riset MITI. Perubahan itu tentu memerlukan waktu dan menimbulkan friksi. Tetapi bangsa Jepang terkenal ahli dalam menyelesaikan friksi (silakan baca kembali Kiat berjudul "Suriawase"). "Tetapi," kata Ryuhei, "bila tak segera kami lakukan koreksi untuk memeratakan keseimbangan pembayaran internasional, dalam waktu 15 tahun mendatang Jepang hanya mempunyai peluang yang sungguh sempit untuk menumbuhkan ekonomi bagi kesejahteraan bangsa." Rekomendasi MITI ini sebenarnya hanya memperkuat rekomendasi "swasta" yang terkenal dengan nama "Maekawa Report" diajukan oleh seorang Gubernur Bank of Japan, Haruo Maekawa. Ia pun mengatakan bahwa Jepang harus segera mengubah orientasi ekspor yang telah mengakibatkan surplus neraca perdagangan dengan hampir semua negara, termasuk surplus 50 milyar dolar AS dengan Amerika Serikat tahun lalu. "Maekawa Report" juga menunjukkan bahwa menguatnya yen belakangan ini justru secara kuantitatif mengendurkan ekspor Jepang. Kecenderungan ini, menurut prediksi MITI. akan terus berkelanjutan. Naiknya ekspor Jepang sebesar 3,2% (menjadi 175,6 milyar dolar AS) tahun lalu hanyalah karena delay effect dari menguatnya yen yang baru terasa sekarang. "Nilai tukar mata uang asing yang terjadi selama pertengahan tahun 1980-an silam itu sebenarnya tidak mencerminkan keadaan ekonomi yang sebenarnya," kata Wakasugi. Menguatnya yen (naik 30% terhadap dolar AS) akan membuat harga barang Jepang menjadi lebih mahal di luar negeri. Sebaliknya, harga barang impor akan menjadi lebih murah di Jepang. Laporan MITI itu juga menyebut bahwa investasi langsung Jepang di luar negeri pada 1984 sudah mencapai 10 milyar dolar AS. Hingga 1983 saja, seluruh investasi Jepang di luar negeri telah memberikan kesempatan kerja bagi 700.000 buruh. "Peningkatan investasi Jepang di luar negeri akan sangat efektif untuk menurunkan surplus neraca perdagangan," kata Ryuhei. Satu hal yang membesarkan hati para kapten industri di Jepang adalah bahwa laporan MITI itu memberi pujian yang mencolok kepada dunia swasta Jepang yang sudah lebih dahulu memprakarsai banting setir itu. "Pemerintah menghargai upaya kaum swasta Jepang yang sudah lebih dahulu mencoba melakukan perubahan arah secara fundamental dalam orientasi manajemen menuju internasionalisasi yang multifaset," tulis laporan itu. Laporan itu memang hanya laporan, yang mengandung beberapa rekomendasi. Rekomendasi itu pun sifatnya lebih merupakan pengaminan terhadap apa yang sudah dilakukan swasta. Bukan paket. Bukan instruksi. Akibatnya, kaum swasta merasa lebih afdol dan eksisten. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini