Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mayjen Agus Wirahadikusumah:"Operasi Naga Hijau Hasil Persepsi Intelijen"

13 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Gus Dur rupanya menunggu Tahun Naga Emas ini untuk menyingkap operasi militer bersandi Naga Hijau. Ketika ia menjabat Ketua Umum Nahdlatul Ulama, ia yakin benar ada operasi militer yang menyulut kerusuhan di kantong-kantong NU pada awal 1997.

Gosip? Ternyata bukan. Paling tidak, Panglima Kodam Wirabuana, Mayjen Agus Wirahadikusumah, tidak membantah adanya operasi tersebut. Namun, mantan Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI ini buru-buru mengingatkan, istilah Naga Hijau itu adalah bentuk persepsi intelijen ABRI terhadap munculnya ancaman dari apa yang mereka sebut ekstrem kanan. "Sedangkan yang ekstrem kiri mungkin disebut Naga Merah," tutur jenderal berbintang dua yang giat menyerukan perlunya TNI memulihkan citranya itu. Untuk itu, Wirahadikusumah menyarankan penegakan hukum secara konsisten di kalangan TNI sebagai salah satu langkah. Berikut petikan wawancara Bambang Harymurti dan Hani Pudjiarti dari TEMPO dengan jenderal penggemar bulu tangkis ini pekan lalu di Jakarta.


Presiden Gus Dur sempat mengatakan bahwa ia pernah ditolong oleh Jenderal Wiranto, dan kemudian Feisal Tanjung membantah cerita itu. Mungkin bisa diceritakan sedikit, apakah waktu itu memang ada Operasi Naga Hijau, Naga Merah?

Betul. Jadi, persepsi ancaman seperti ini harus diubah, karena kita terkooptasi ancaman ala intelijen, yang disebut ekstrem kanan, ekstrem kiri, dan ekstrem lainnya. Ekstrem kanan itu mungkin Operasi Naga Hijau tersebut, ekstrem kiri adalah Naga Merah. Kalau semuanya ekstrem, lantas siapa yang menjadi teman tentara? Permasalahan politik menggunakan tentara. Permasalahan ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam yang ditolak rakyat, menggunakan tentara. Persepsi ancaman sesama warga itu sebenarnya tidak ada.

Yang penting sekarang adalah supremasi hukum. Apa pun, golongan mana pun yang sudah melanggar hukum, ya, dihukum. Kemudian, satu hal, musuh kita itu sekarang ini apa, siapa. Jelas musuh dari luar yang mencoba mengganggu kedaulatan rakyat. Ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan, atau kerusuhan yang mengganggu persatuan nasional itulah musuh kita. Siapa pun yang tidak menciptakan keadilan itu harus diperangi.

Waktu itu instruksi Naga Hijau datangnya dari Jenderal Feisal atau Jenderal Wiranto?

Saya tidak tahu persis karena saya tidak berada di sana.

Sekarang, sebagai akibat peristiwa di Timor Timur, seorang mantan Panglima ABRI terancam akan diadili. Bagaimana tanggapan TNI soal ini?

Kita melihatnya tidak emosional, dari esprit de corps yang sempit, tetapi dikembalikan ke aturan hukum. Di militer juga dari dulu diajarkan bahwa hukum berlaku. Apa ada ditentukan hukum untuk jenderal, tamtama, bintara, kan tidak ada? Hukum itu sama. Begitu yang berbicara jenderal, kok, sepertinya tidak bisa dihukum. Mengapa kalau prajurit kita berbicara, pecat, penjara.

Kalau Pak Wiranto diisukan akan melakukan kudeta, apa ini mungkin?

Apa masih kuat? Yang mau kudeta kan sipil, kudeta politik. Kudeta sipil yang mungkin akan terjadi, tetapi lagi-lagi menggunakan TNI.

Bagaimana Anda melihat rekomendasi KPP HAM mengenai keterlibatan TNI?

Dengan adanya pengadilan hukum bagi pelanggaran hak asasi, saya melihat ini satu hal yang bagus, mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sudah punya komitmen kuat akan perlunya kesadaran membangun hukum dan penegakan hak asasi manusia. Masalahnya, kesadaran ini terlambat munculnya karena masyarakat masih hanyut dalam kultur yang terbentuk dari kebiasaan yang berjalan cukup lama dan sudah mengakar.

Sejak dulu, tanpa disadari, masyarakat kita akrab dengan budaya kekerasan. Di rumah, jika telat salat atau mengerjakan PR, langsung dimarahi dan dipukul. Di sekolah, jika ketahuan membolos, terlambat, dan menyontek, pasti dipukul guru. Kecenderungan masyarakat mengenai disiplin selalu diartikan kekerasan fisik, padahal disiplin maksudnya ketaatan terhadap aturan. Kalau menyimpang, tidak perlu dipukul, langsung saja dikeluarkan. Kondisi yang sudah tercipta pada masa kecil terulang ketika masuk di kesatuan telat dan berbuat salah sedikit, tempeleng. Kebanggaan kesatuan ditunjukkan dengan kekerasan. Selanjutnya, dalam tugas operasi di lapangan, kembali lagi kekerasan diterapkan, mulai dari perlakuan kepada penduduk hingga tawanan.

Saya usul, dengan adanya KPP HAM, saya setuju untuk menghilangkan semua budaya kekerasan. Bahwasanya di rumah, di kantor, di masyarakat harus dituntut berdisiplin, itu tidak diwujudkan dengan kekerasan tapi pengertian pembentukan ketaatan tanpa tekanan. Pola ini sudah bergulir karena Tim-Tim tidak lagi wilayah Indonesia, tapi sudah bergulir menjadi masalah internasional.

Dulu saya sudah mengingatkan jangan menugasi orang-orang yang kredibilitasnya diragukan ataupun terbiasa dengan kejadian-kejadian masa lalu. Selalu proses rekrutnya berdasarkan pengalaman berapa kali ditugasi di Tim-Tim, di Irian. Tidak dilihat bagaimana sebelumnya terjadi jatuh korban banyak akibat pemakaian kultur yang salah.

Dalam perencanaan soal Tim-Tim, Anda ikut terlibat di sana?

Tidak pernah diikutkan. Alasannya, karena sudah personal melalui orang per orang langsung. Jadi, kita bengang-bengong saja, ya, enggak ngerti.

Selanjutnya tersebar isu jenderal-jenderal TNI merencanakan kudeta?

Sebetulnya, yang ingin bikin kudeta itu justru orang-orang yang bermasalah. Tujuannya untuk mempertahankan statusnya atau kemungkinan dia terlibas oleh zaman.

Menurut Anda, agar TNI menjadi kredibel kembali, apa yang harus dilakukan?

Puspom mesti tegas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus