Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU orang melihat Megawati Soekarnoputri sebagai simbol perlawanan kelompok politik yang tertindas oleh kekuasaan Soeharto yang otoriter. Ketika itu, mereka berharap Mega mampu melakukan perubahan di tengah keterpurukan nasib bangsa. Kini masihkah harapan itu ada, ketika Ketua Umum PDI Perjuangan ini maju lagi dalam pertarungan pemilihan presiden 5 Juli mendatang? Berduet dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, Mega mencoba tampil sebaik mungkin. Sayang, penampilan Mega yang juga Presiden RI itu jauh dari gambaran sebagai sosok pengayom yang dibutuhkan negeri ini. Berikut ini pendapat beberapa warga.
Nyonya Wati (Emak), 59 tahun
pedagang warung Jalan Mendut, Jakarta Pusat
Saya ingin Mega jadi presiden lagi. Perempuan kan sabar, tapi bawahan-bawahannya suka cari muka. Harapan saya, Indonesia bisa subur makmur, tak ada lagi penggusuran. Sekarang, alhamdulillah, enggak ada apa-apa lagi. Dulu, zaman Soeharto, tidak boleh omong ini-itu, ngomong-nya bisik-bisik. Sekarang bebas.
Saya kecewa kalau Mega diejek-ejek. Dulu, gara-gara mendukung Mega, saya diuber-uber. Rumah saya di Cirebon disambitin. Orang tua saya lari sampai hampir kecebur kali. Terserah orang mau bilang apa, pokoknya saya pilih Mega. Dibilang Mega terlalu diam, ya, biarin. Tapi, nanti kalau ngomong, dikatain kebanyakan ngomong. Presiden memang harus begitu, jangan kebanyakan omong.
Pokoknya, yang jadi presiden jangan militer, deh! Nanti, kalau militer jadi presiden, ada yang ditangkap, ada yang ilang! Kayak mahasiswa dulu itu. Nanti saya nyoblos Mega kalau dapat duit buat pulang ke Cirebon.
Haryanto Taslam
politisi Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
Dulu Mega bisa menjadi lawan sebanding dengan Soeharto. Ia menjadi simbol bagi harapan dan perbaikan nasib rakyat. Karena itu, saya bergabung untuk membangun kekuatan lewat PDI. Saya dan kawan-kawan berusaha memoles Mega hingga bisa dicitrakan sebagai pemimpin rakyat. Sebetulnya ia bukan pemimpin yang punya manajemen baik, melainkan semata simbol bagi perlawanan terhadap Orde Baru.
Setelah ia menjadi presiden, orang semakin tahu warna aslinya. Muncullah kekecewaan publik atas kebijakan-kebijakannya. Saya keluar dari PDI Perjuangan karena masalah internal partai, gara-gara kelemahan manajemen Mega. Sekarang ia bilang program dan manajemen partai harus diperbaiki, tapi jadi bahan tertawaan. Wong, dia sendiri yang harus memperbaikinya. La, ngapain aja dia selama ini? Jika masa tiga tahun memerintah dianggap sebagai waktu untuk belajar, alangkah mahal "biaya sekolah"-nya Mega.
Ia masih punya kans menang lantaran berkuasa, banyak duit, dan punya fasilitas. Tapi dukungan Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa sebenarnya tidak solid. Rakyat sudah cerdas, tak mau lama-lama dalam penderitaan. Karena itu, sebaiknya Mega berkaca. Sebab, selama ini, pemerintahannya tak banyak menghasilkan perubahan.
Sukowaluyo Mintorahardjo
politisi PDI Perjuangan
Mega masih punya kans untuk menang. Tapi itu semua bergantung pada dia sendiri selama tiga pekan terakhir ini?apakah bisa tampil lebih baik, untuk mendongkrak popularitasnya yang belakangan cenderung menurun.
Ia harus berani melakukan gebrakan untuk memperbaiki image-nya. Sebagai satu-satunya calon presiden perempuan, ia harus bisa menjadi simbol perjuangan kaum perempuan: lebih ramah dan peduli pada program pelayanan publik, pendidikan, dan perjuangan gender. Komunikasi politik juga harus diubah. Seharusnya ini dilakukan sebelum pemilu. Tapi, entah mengapa, hal itu tidak dilakukan.
Mesin politik PDI Perjuangan juga harus dibenahi. Jabatan kosong di partai harus diisi. Sistem kerja dibuat lebih efisien, terukur, dan terarah. Agenda dan sasaran kampanye harus diperjelas. Kelompok minoritas harus dirangkul. Korban gusuran, masyarakat keturunan, dan eks tapol/napol (tahanan/narapidana politik) harus dirangkul. Apalagi mereka memperjuangkan rehabilitasi nama baik mantan presiden Sukarno, ayah Mega sendiri.
Saya berharap Mega bisa merawat harapan konstituen dalam Pemilu 1999 yang lalu. Tapi pembangunan citra diri dalam waktu yang amat pendek ini rasanya kok sulit. Meski tidak terlalu optimistis, saya masih berharap semoga masih ada keajaiban.
Sophan Sophiaan
politisi PDI Perjuangan
Dari hasil polling, popularitas Mega menurun. Tapi ini tergantung pemilu nanti karena bisa terjadi sesuatu yang menaikkan popularitasnya. Selama ini, ia memang agak kaku, yang tentu sangat mempersulit. Yang penting ialah adanya gerakan-gerakan kecil yang berarti, tapi hal itu tidak ia lakukan. Baru sekarang ia berkunjung ke rumah sakit, pasar, dan mengundang ibu Nirmala Bonat, tenaga kerja korban penganiayaan itu. Citra diri itu kan mesti dibangun perlahan-lahan dan dalam waktu lama. Jujur saya katakan, pembangunan citra yang baru dilakukan sekarang sudah terlambat.
Apa yang sudah dilakukannya selama ini belum memenuhi harapan, meski ia sudah berusaha. Katakanlah dia sudah bekerja keras, tapi sosialisasi dan dialog dengan rakyat masih kurang. Selama ini, pemerintah bangga dengan makro-ekonomi: kurs yang terkendali dan bunga bank turun. Tapi, nyatanya, rupiah sekarang melemah. Itu berarti rupiah kuat bukan lantaran keberhasilan pemerintah, melainkan terkait dengan ekonomi internasional. Saya dengar AS sengaja menekan dolar agar bisa bersaing dengan yen dan euro.
Pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme dan penegakan hukum masih belang bonteng. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara menemukan, Jaksa Agung tidak melaporkan kepemilikan rumahnya. Sebagai kepala pemerintahan, Mega mestinya bisa bertindak tegas. Tapi tidak! Dalam waktu tiga tahun ia kan bisa melihat siapa menteri yang mendukung atau menjegalnya. Semua itu bergantung pada karakter presidennya, bukan pada wakil presiden. Karena itu, saya menaruh harapan pada Amien Rais dan Siswono Yudho Husodo.
Ikrar Nusa Bhakti
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Berdasarkan polling, 75-80 persen pemilih PDI Perjuangan akan memilih Mega, sementara Hasyim didukung mayoritas kiai dan struktural Nahdlatul Ulama. Ikatan emosional warga nahdliyin lebih ke NU ketimbang ke Partai Kebangkitan Bangsa. Itu analisis hasil Pemilu 1955, 1971, 1999, dan 2004. Jadi, setidaknya 30 persen pemilih sudah di tangan, tapi angka aman untuk masuk putaran kedua 40-43 persen. Ada juga dukungan dari Partai Damai Sejahtera dan kaum nasionalis lain?jika Mega dihadapkan pada calon presiden yang lain.
Mega jangan cuma membidik rakyat pedesaan dan yang berpendidikan menengah ke bawah. Dukungan mesti diperluas ke perkotaan, pengusaha, dan pemilih berpendidikan tinggi. Masih ada waktu untuk memperbaiki penampilan: body language yang agak sinis mesti dikurangi, jangan menyerang pewawancara, jangan emosional, jangan sering minta pertanyaan diulang; bisa-bisa dianggap tak paham masalah. Pers jangan dianggap sebagai musuh. Ia bisa bilang, misalnya, "Meskipun media massa sering mengkritik, kan, saya tidak membredel mereka."
Ia mestinya berpegang pada moto: "Satu lawan kebanyakan, seribu kawan terlalu sedikit." Syukurlah, sekarang ia mulai memperbaiki diri, mau diwawancarai pers meski masih terbatas, juga konferensi pers, dan kunjungan ke tempat-tempat publik. Waktu 30 hari cukup buat belajar menangkis pertanyaan ataupun membalikkan serangan lawan bicara dengan "tusukan balik" yang mengena tapi cukup manis. Ia bisa learning by doing. Apalagi nanti dia akan melakukan debat publik dengan Amien Rais.
Said Agil Siradj
Khatib Syuriah PBNU, anggota tim sukses Mega-Hasyim
Saya optimistis duet Mega-Hasyim akan menang. Keduanya penting bagi hubungan NU dan PDIP, sekaligus langkah awal bagi pengikisan dikotomi Islam abangan dan Islam santri, juga sebagai cermin dari dua kekuatan: nasionalis dan religius?dua komponen yang dibutuhkan dalam membangun bangsa ini keluar dari krisis.
Selama beberapa tahun terakhir ini, Mega telah melakukan perubahan. Sedangkan Hasyim bukan orang baru di NU. Komitmen perjuangan Hasyim selama 40 tahun membangun kaum nahdliyin tak bisa diragukan. Saya berharap akan lebih banyak yang bisa dilakukan jika ia berkesempatan menjadi wakil presiden.
Memang proses perjuangan ini tak mudah. Dalam internal NU sendiri banyak silang pendapat menyangkut rivalitas antara Hasyim dan Salahuddin Wahid. Tapi itu dinamika politik yang harus dihargai. Warga NU sudah bisa melihat dan memilih siapa yang mampu ngrumat pondok pesantren dan kaum nahdliyin.
Saya melihat dukungan terhadap Mega-Hasyim di Jawa cukup besar. Sudah ada ratusan kiai yang mendukung secara langsung. Kami optimistis pasangan ini akan lolos ke putaran kedua.
Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo