Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang berubah pada pembawaan Satrio Budihardjo Joedono, 64 tahun. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akrab dipanggil Billy ini tampak pucat. Dibandingkan dengan setahun silam, berat badan Billy susut tujuh kilogram. Rupanya, kanker usus besar sempat menggerogoti tubuh tuanya. Tapi Billy tetaplah Billy. Seperti ketegasannya soal korupsi, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini keras terhadap penyakitnya. "Kanker itu seperti korupsi," ujar Billy, "harus dipotong." Maka, 25 Maret lalu, tim dokter Rumah Sakit MMC, Jakarta, memotong usus besarnya sepanjang 50 sentimeter.
Dua minggu pasca-operasi, Billy kembali ngantor seperti biasa. "Banyak pekerjaan rumah yang harus digarap," katanya enteng. Billy memang dikenal sebagai tokoh berpendirian teguh. Sebagai Ketua BPK, selama ini Billy tak sungkan-sungkan mengungkap pelbagai megakorupsi di republik ini. Ia membongkar kasus korupsi dari kasus cessie Bank Bali Rp 460 miliar hingga korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia senilai Rp 158 triliun. Ratusan nama tersangka korupsi sudah ia serahkan ke kejaksaan dan kepolisian. Sebagian kecil dipenjarakan, sementara yang lain lolos dari jerat hukum.
Tapi Billy pantang mundur. Meski akan segera meninggalkan Gedung BPK, ia masih mengorek-ngorek penyimpangan keuangan negara. Tak aneh, sebagai Ketua BPK, Billy menyimpan segudang informasi korupsi kelas wahid. Apa pendapat Billy soal korupsi di Indonesia? Mengapa ia kecewa terhadap aparat hukum? Bagaimana pula proses pembenahan internal BPK? Wartawan TEMPO Setiyardi pekan lalu mewawancarai Billy di ruang kerjanya di BPK, Jakarta. Berikut ini kutipannya.
DPR sedang melakukan pemilihan anggota BPK baru. Mengapa Anda tak maju jadi kandidat?
Saya sempat diundang oleh salah satu fraksi untuk ikut. Tapi acara di DPR yang sekarang berlangsung sungguh tak jelas. Kadang dibilang penyaringan calon Ketua BPK, kadang dibilang penyaringan calon anggota BPK. Saya jadi geli sendiri. Jadi, lebih baik tak ikut saja.
Apakah Anda sempat bertanya langsung ke DPR?
Tidak, itu tidak perlu dilakukan. Saya hanya membacanya dari media massa.
Ada kesan, DPR memaksakan memilih anggota BPK yang baru....
Begini. Sebenarnya kita telah melakukan amendemen UUD yang mengubah BPK. Posisi dan peran BPK menjadi lebih kuat. Jumlah anggota berkembang dari 7 menjadi 13 orang. BPK juga akan punya perwakilan di semua ibu kota provinsi. Yang tak kalah penting, anggota BPK dipilih DPR dengan pertimbangan dewan perwakilan daerah. Makanya kita tengah mengusulkan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5/1973 tentang BPK agar lebih sesuai dengan UUD. Nah, acara yang sekarang berlangsung di DPR tentu saja tak sesuai dengan hasil amendemen UUD tersebut. Saya menyayangkan proses tersebut.
Anda menangkap aroma dagang sapi?
(Billy terdiam?Red.) Saya tidak tahu. Tentu saja yang tahu hanya orang-orang di DPR.
Apakah Anda percaya dengan nama-nama kandidat anggota BPK?
Soal integritas orang, saya tidak bisa memberikan komentar. Kita lihat saja nanti. Kalau nanti BPK lebih baik dibandingkan dengan sekarang, ya, alhamdulillah. Kalau lebih buruk, saya tentu akan kecewa.
Anda mengubah citra BPK menjadi lebih berani dan terbuka. Apa yang Anda lakukan?
Banyak. Yang paling prinsip, BPK di bawah kepemimpinan saya menjadi lembaga yang independen dan lebih berwibawa. Dulu saya memang punya cita-cita agar rakyat punya satu saja lembaga yang bisa dipercaya. Untuk itulah saya berusaha mengubah BPK dari dalam. Saya melakukan tes psikiatri untuk menguji kejujuran calon pegawai BPK. Yang akan mendapat promosi juga harus menjalani tes lagi. Awalnya memang banyak yang ngedumel di belakang. Tapi yang muda-muda senang dengan aturan yang saya terapkan.
Anda berhasil?
Setidaknya BPK sekarang lebih didengar orang. Dapat saya pastikan bahwa BPK jauh lebih independen. Sebelum saya, semua Ketua BPK harus menghadap Pak Harto sebelum menyampaikan laporan pemeriksaan ke DPR. Pak Hartolah yang menentukan audit yang boleh diberikan ke DPR dan yang harus disimpan di dalam laci saja. Praktek seperti itu terjadi puluhan tahun. Di zaman saya, BPK langsung memberikan laporan ke DPR. Tak ada sensor dari presiden.
Apakah ada resistensi dari dalam BPK sendiri?
Mengubah BPK secara drastis tentu sulit. Saya mencoba melakukannya secara bertahap. Memang masih sulit. Hambatan utama adalah sikap birokratis para pegawai BPK. Dulu pegawai BPK diperlakukan seperti pegawai negeri yang lain. Padahal seharusnya orang mengejar laporan auditor yang jitu dan punya dampak kuat. Mestinya mereka bekerja seperti wartawan yang bisa melakukan investigative reporting. Tapi itu belum tercapai sepenuhnya.
Apakah masih banyak pegawai BPK yang menerima "amplop"?
Ya? masih, masih, masih. (Billy terlihat menerawang. Ia terdiam beberapa saat?Red.) Memang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah mental birokrat ke profesional.
Benarkah persoalan gaji menjadi hambatan perbaikan mental pegawai BPK?
Itu omong kosong. Korupsi adalah persoalan mental, bukan persoalan gaji. Ada survei yang menunjukkan bahwa yang paling tidak korup bukan yang paling tinggi gajinya, melainkan mereka yang bermental baik. Persoalan lain adalah tak adanya penegakan hukum di Indonesia. Akibatnya, hampir di semua jajaran birokrasi terjadi korupsi.
Berapa gaji Anda?
Tak usah disebutlah. Nanti timbul macam-macam persoalan. Yang pasti, saya merasa cukup dengan gaji tersebut. Semua kebutuhan sudah dipenuhi negara.
Selain masih banyak kekurangan, apa prestasi Anda selama di BPK?
BPK berhasil mengungkap banyak kasus besar. Pak I Gde Artjana, anggota 1 BPK, misalnya, mengungkap korupsi-kolusi-nepotisme komputerisasi surat izin mengemudi di Kepolisian RI. Beliau juga membuka keuangan Yayasan ABRI, yang sebelumnya untouchable. Pak Bambang Wahyudi, anggota 2 BPK, membuka audit Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Bank Indonesia (BI) dalam soal Bank Bali. Secara diam-diam beliau menelusuri audit laporan keuangan BI, yang selama 30 tahun dibilang wajar tanpa pengecualian oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasilnya, BI dinyatakan disclaimer. Mukron As'ad, anggota 3 BPK, adalah yang pertama kali masuk ke Sekretariat Negara dan Istana. Semua menghasilkan laporan yang sangat dahsyat. Nah, itu cuma beberapa contoh sukses. Anggota yang lain juga mengungkap banyak kasus.
Anda menyebut korupsi terjadi di mana-mana. Berapa besarnya?
Selama menjadi Ketua BPK, saya mendapatkan data bahwa rata-rata penyimpangan anggaran besarnya 20 persen. Itu rata-rata yang terjadi di setiap proyek dan departemen. Memang tak semua penyimpangan anggaran bisa disebut sebagai korupsi. Nah, sekitar 5 persen yang diindikasikan korupsi kami laporkan ke polisi dan kejaksaan.
Apakah Anda puas dengan tindak lanjut aparat hukum?
Sama sekali tak puas. Kasus kucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, tak jelas penyelesaiannya. Padahal dana yang dikucurkan mencapai Rp 158 triliun. Gila, itu duit beneran. Rp 158 triliun itu bukan daun. Uang itu masuk ke kantong orang dan tidak kembali. Yang menanggung pembayarannya akhirnya rakyat Indonesia. Uangnya diambil dari dana untuk membangun gedung sekolah, jalan, rumah sakit, dan lain-lain.
Anda terlihat sangat frustrasi.?
Ini persoalan serius. Orang yang nyolong BLBI tidak mendapat hukuman. Koruptor yang dihukum cuma segelintir. Itu pun hanya dari bank-bank kecil. Lama-lama kasus itu akan dilupakan orang. Masalahnya memang ada di kejaksaan, kepolisian, kehakiman. BPK merasa sudah bekerja keras. Kami memberikan laporan yang sangat detail. Kami bahkan menyebut nama-nama dan besarnya korupsi yang mereka lakukan. Itu sebuah daftar yang panjang.
Bagaimana nasib kesepakatan antara BPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung?
Memang ada kesepakatan agar polisi dan jaksa menindaklanjuti hasil temuan BPK. Tapi, anehnya, tak ada pelaksanaannya. Mestinya polisi dan jaksa sadar dengan tugas mereka. Tanpa ada kesepakatan pun mereka harus aktif memberantas korupsi. Itu merupakan konsekuensi jabatan mereka sebagai aparat hukum.
Apakah Anda mendengar audit BPK justru dijadikan alat untuk memeras para tersangka?
Saya tidak tahu. Tentu aparat hukum yang tahu. BPK hanya menyajikan laporan seakurat dan selengkap mungkin. Kalau itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, bukan salah kami.
Kalau aparat hukum tak jalan, mengapa Anda tak membuka audit BPK ke publik?
Kami berpedoman pada UU Nomor 5/1973 tentang BPK. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa laporan kami hanya ke DPR. Sedangkan dugaan kasus korupsi dilaporkan ke jaksa dan polisi. Nah, kalau saya membuka hasil audit ke publik, tentu akan menabrak undang-undang. Saya, dan auditor, bisa masuk penjara selama enam tahun. Sebenarnya saya sudah menyiapkan website BPK yang akan menampung semua laporan audit secara lengkap. Tapi, karena ada benturan dengan undang-undang, saya belum bisa meng-online-kan laporan-laporan audit itu. Saya berharap undang-undang BPK yang mendatang memungkinkan hal itu dilakukan. Dengan transparansi, publik akan ikut mengawasi kinerja aparat hukum kita.
Kami mendengar BPK mendapat kesulitan untuk masuk ke badan usaha milik negara (BUMN). Benarkah?
Awalnya, kami tak mau masuk ke BUMN. Selama ini, BUMN sudah diperiksa oleh kantor akuntan publik (KAP). Masalahnya, KAP tak melakukan compliance audit (audit ketaatan) seperti standar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Akhirnya, hasil audit KAP atas BUMN tak memberikan informasi yang memadai. Karena itu, BPK merasa perlu masuk ke BUMN.
Mengapa ada resistensi dari Kantor Kementerian BUMN?
Itulah anehnya. Kalau mau berdebat soal ini, saya tak perlu menggunakan argumentasi yang canggih-canggih. Yang namanya BUMN itu menggunakan uang milik negara. Jadi, rakyat harus tahu secara transparan. Makanya BPK perlu masuk ke sana.
Apakah resistensi itu karena ada penyimpangan yang akan ditutupi?
Saya tak tahu pasti. Itu urusan mereka. Saya memang mendengar ada yang beranggapan BPK akan mengambil pekerjaan KAP. Padahal BUMN sangat banyak. Belum lagi kalau ditambah anak dan cucu perusahaannya. Lagi pula BPK mau masuk ke BUMN karena KAP tak menjalankan standar audit IAI, bukan karena mau mengambil lahan orang.
Bagaimana dengan audit BPK atas BPPN?
Ada beberapa kasus yang terindikasi korupsi. Kasus Bank Bali, misalnya, sekarang sudah membuat bekas Wakil Ketua BPPN Pande Lubis dipenjarakan. Selain itu, BPK menemukan penyimpangan yang sangat besar dalam penggunaan dana di rekening 502 oleh BPPN dan BI.
(Rekening 502 adalah rekening pemerintah untuk penjaminan perbankan yang ada di BI. Dalam laporan BPK soal rekening 502, ditemukan penyimpangan penggunaan uang negara sebesar Rp 20,98 triliun oleh BI dan BPPN. Markas Besar Polri sempat memeriksa beberapa bekas Ketua BPPN. Tapi kasus kakap tersebut kini seperti ditelan bumi?Red.)
Apakah penyimpangan dalam rekening 502 terindikasi korupsi?
Yang pasti, banyak yang salah memakai uang negara. Apakah hal itu merupakan kesengajaan yang berbau korupsi, polisi dan kejaksaan yang harus bekerja. Saya, sebagai Ketua BPK, menyatakan siap membantu aparat hukum untuk menuntaskan kasus tersebut. Sekarang silakan masyarakat menilai tindak lanjut dari polisi dan jaksa.
Dari audit BPK, benarkah terlihat ada pesta pora di BPPN?
(Billy terdiam. Ia menjawab pertanyaan dengan suara lirih?Red.) Saya sulit menyebutnya. Memang BPPN tidak sebaik yang orang inginkan. BPPN tidak berhasil betul.
BPK menemukan penyimpangan di rekening pemerintah di BI. Mengapa baru terungkap sekarang?
Itu juga persoalan lama. Selama 30 tahun BI diaudit oleh BPKP. Hasilnya selalu wajar tanpa pengecualian. Setelah diperiksa oleh BPK pada 1999, hasilnya disclaimer. Ini sebenarnya hanya membuktikan dugaan lama masyarakat bahwa BI tidak beres. Nah, karena BPK sekarang independen, kita bisa bilang bahwa keuangan BI tak bisa dipercaya. Anehnya, pada awal 1999, BPKP ikut-ikutan bilang bahwa BI disclaimer. Padahal, pada 1998, BPKP masih bilang bahwa BI wajar tanpa pengecualian. Itu sangat aneh dan memalukan.
Mengapa BPKP melakukan kekeliruan fatal seperti itu?
BPKP merupakan pengawas ekstern yang dibentuk Presiden Soeharto. Jadi, BPKP merupakan auditor yang berada di bawah pemerintah. Mereka tak mungkin bersikap independen. Apalagi dulu BI merupakan bagian dari pemerintah.
Rupanya BPK masih berseteru dengan BPKP?.
Pak Harto memang sengaja memperkuat BPKP dan memperlemah BPK. Sekarang BPK cuma memiliki pegawai 2.000 orang. Sedangkan BPKP, selain memiliki perwakilan di setiap provinsi, punya pegawai 8.000 orang. Sekarang, kalau kita mau melanjutkan Orde Baru, silakan teruskan BPKP. Tapi, kalau mau mengikuti UUD, yang ada cuma BPK. Tak ada auditor ekstern yang disebut UUD kecuali BPK.
Kalau BPKP dilikuidasi, bagaimana nasib pegawainya?
Gampang. UUD mewajibkan BPK memiliki perwakilan di semua provinsi. Ada dua cara untuk mencapainya. Cara yang mahal adalah merekrut pegawai dan membangun kantor baru. Itu memerlukan anggaran bermiliar-miliar. Tapi ada cara yang cepat dan murah. Para pegawai di perwakilan BPKP boleh ikut tes untuk masuk ke BPK, atau mereka juga bisa memilih untuk masuk ke badan pengawas daerah. Tak ada masalah, kok.
Apakah personel BPKP dapat membantu memperbaiki BPK? Bukankah selama ini mereka tak independen?
Saya yakin masih banyak orang BPKP yang bagus dan jujur. Lagi pula, untuk masuk BPK, mereka harus menjalani tes ulang, terutama tes kejujuran oleh psikiater.
Bagaimana format BPK yang Anda idamkan?
Saya mencoba membandingkannya dengan BPK di negara seperti Prancis, Belanda, dan Jerman. Memang, di negara-negara itu, pengawasan dan pemeriksaan internal berjalan baik, sehingga BPK mereka harus mengorek-ngorek untuk mendapatkan penyimpangan dan korupsi di instansi pemerintah. Itu adalah sebuah keadaan yang normal. Nah, kondisi Indonesia sangat abnormal. BPK tak perlu bekerja keras untuk menemukan adanya penyimpangan dan korupsi pemakaian uang negara.
Apa lagi yang membuat BPK kita masih tertinggal?
Di negara maju, mereka lebih mengutamakan audit kinerja (performance audit). Yang mereka ukur adalah 3E: efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Pada umumnya mereka sudah taat pada aturan keuangan. Sedangkan kita baru bertumpu pada audit ketaatan. Jadi, kita tertinggal jauh.
Anda akan segera diganti. Apakah selama menjadi Ketua BPK pernah mendapat ancaman?
Tidak. Saya bahkan tidak pernah dikawal. Sewaktu jadi menteri, saya juga tak memakai ajudan dan pengawal. Sebelum operasi pemotongan colon (usus besar) akibat kanker, setiap minggu saya jalan kaki sekitar 2 jam. Rute saya dari rumah di Patra Kuningan ke Jalan Rasuna Said, Casablanca, dan Jalan Sudirman. Saya jalan sendiri tanpa pengawal. Banyak orang yang menyapa. Jadi, saya heran kalau ada menteri yang dikawal. Saya yang Ketua BPK saja bebas keluyuran. Ha-ha-ha?.
Meski terkena kanker usus, Anda seperti tak punya beban. Mengapa?
Kanker itu seperti korupsi. Jadi, solusinya harus dipotong. Itu saja. Tak perlu bersedih dan menangis-nangis. Colon saya sudah dipotong sepanjang 50 sentimeter. Operasinya 25 Maret lalu di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Tak perlu ke luar negeri. Sekarang setiap dua minggu saya menjalani kemoterapi. Setiap kali kemoterapi menghabiskan waktu 46 jam. Melelahkan. Tapi, karena kanker seperti korupsi yang menggerogoti tubuh, harus saya lawan.
Prof. Dr. Satrio Budihardjo Joedono
Tempat/tanggal lahir:
- Pangkal Pinang, 1 Desember 1940
Pendidikan:
- S-1: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (lulus tahun 1963)
- S-2 dan S-3: Pittsburgh University, Amerika Serikat (1964-1969)
Karier:
- Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1963)
- Asisten Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo (1970-1973)
- Peneliti Senior Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (1980-1995)
- Menteri Perdagangan?di tengah jalan dicopot oleh Presiden Soeharto?(Maret 1983-Desember 1995)
- Ketua Dewan Pengawas The Habibie Center (1999-sekarang)
- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Oktober 1998-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo