Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan santri di hadapan Nissa Wargadipura duduk lesehan, membentuk lingkaran, di dalam saung tempat mereka biasa mengaji. Pandangan mata mereka tertuju pada pendiri Pesantren Ath Thaariq yang sedang menerangkan keanekaragaman tanaman obat itu. "Ini namanya apa? Bisa digunakan untuk apa saja?" Nissa bertanya sembari menaruh akar dan daun yang sudah dikeringkan dari kantong plastik ke mangkuk-mangkuk kecil.
Pada Jumat dua pekan lalu itu, bukan hanya santri pesantrennya yang menjadi murid Nissa. Ada tiga peneliti bidang agraria dari Yayasan Sayogyo ikut bergabung. Mereka sedang mengikuti paket belajar agroekologi di Pesantren Ath Thaariq selama tiga hari. Menurut Nissa, memang banyak lembaga yang sudah datang ke pesantrennya untuk belajar agroekologi. Dia menyebutkan di antaranya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Selatan, perkumpulan petani organik Purworejo, dan rombongan biarawati dari Jawa Tengah.
Bersama suaminya, Ibang Lukmanurdin, Nissa mendirikan Pesantren Ath Thaariq pada 2008. Melalui pesantren ini, selain mengajarkan ilmu agama, Nissa ingin membagikan pengetahuannya tentang bagaimana menerapkan konsep ekologi dalam produksi pertanian. Hasil pertaniannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pesantren. "Kami ingin pesantren ini menjadi model tata pertanian yang peduli terhadap lingkungan," ujar perempuan 44 tahun yang akrab disapa Umi Nissa ini saat ditemui di pesantrennya, Sabtu dua pekan lalu.
Pendirian pesantren tak luput dari kegelisahan Nissa terhadap nasib petani. Menurut dia, lepasnya tanah petani karena terlilit utang terjadi karena mereka tak punya pendidikan bertani. Apalagi revolusi hijau yang menerapkan sistem monokultur malah membuat lingkungan jadi rusak, karena tak ada keseimbangan alam.
Dia sempat mengajukan usul organisasi yang didirikannya bersama rekan-rekannya sesama aktivis, Serikat Petani Pasundan (SPP), memberikan pendidikan kepada petani tentang tata produksi, tak hanya mengurusi advokasi agraria. Namun pengurus yang lain tak sependapat. Karena perbedaan pandangan itu, Nissa dan suaminya keluar dan mendirikan pesantren.
Pesantren Ath Thaariq dibangun di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, di atas tanah seluas 8.500 meter persegi milik PT Kereta Api. Untuk sampai ke sana, pengunjung masuk melalui Jalan Raya Pembangunan ke arah barat, sejauh 500 meter. Mereka kemudian harus melewati jalan setapak yang lebarnya 1 meter sepanjang 90 meter, terus melalui pematang sawah yang ukurannya kurang dari setengah meter, sejauh 12 meter. Posisinya di ujung kampung, di tengah sawah. "Sewaktu kami mendirikan ini belum banyak rumah penduduk di sekitar seperti saat ini. Kami pun sempat ditertawai karena sendirian di tengah sawah," kata suami Nissa.
Pesantren ini dibagi dalam beberapa zona tata ruang. Permukiman yang terdiri atas rumah, saung, asrama, dan pekarangan, seluas 40 x 14 meter, menjadi pusatnya. Sisa lahan seluas 4.200 meter persegi dibagi menjadi empat zona, yaitu sawah, kolam, kandang, dan kebun. Khusus area sawah masih dibagi lagi menjadi tiga. Tiap zona ditanami dengan lebih dari satu jenis tanaman padi. Masa tanam antarzona berselang satu bulan. Pengaturan seperti itu, selain bisa mengantisipasi gagalnya panen akibat perubahan cuaca, bertujuan agar masa panen tak berbarengan.
Tanah di sela-sela area sawah ditanami aneka jenis palawija dan tanaman lokal. Tanaman bunga-bunga juga ditanam di tengah sawah. Nissa melakukan itu agar perhatian serangga tidak ke padi, tapi beralih ke bunga-bunga tersebut. Serangga, menurut dia, tak perlu diberantas karena bisa membantu penyerbukan tanaman.
Untuk menghalau tikus, Nissa sengaja membuat rumah ular di sekitar pekarangan dengan menanam tanaman semak seperti serai. Bukan hanya itu, pohon-pohon besar juga ditanam di area sawah agar burung hantu berdatangan. "Burung hantu termasuk pemangsa tikus," ujarnya. Tanah dijaga keseimbangannya dengan menanam tanaman akar-akaran, tidak menggunakan pupuk kimia.
Sejak berdiri, sudah ada 750 orang yang belajar di Pesantren Ath Thaariq. Angka ini tak semata berasal dari santri yang mondok, tapi siapa saja yang pernah belajar di pesantren; mereka sudah terhitung sebagai alumnus meski hanya belajar satu hari, karena ada konsep santri kalong atau tidak tinggal menetap. Menurut Ustad Ibang, banyak di antara alumnus yang mengembangkan pesantren dengan model yang sama di desa asal mereka. Dengan cara itu, menurut dia, misi pesantren yang namanya berarti berjalan tersebut bisa terwujud.
Orang-orang yang sudah mengenalnya sejak masih muda mengaku tak merasa terkejut mengetahui langkah yang dilakukan Nissa. Bersama suaminya, Nissa adalah aktivis. "Nissa tergolong aktivis garis keras, tidak pernah dengar dia 'masuk angin' berhadapan dengan ketidakadilan kebijakan pemerintah," ucap aktivis antikorupsi di Garut, Agus Sugandhi, yang pernah bekerja sama ketika di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara Priangan Timur pada sekitar 1997.
Pasca-reformasi pada 1998, di organisasi Serikat Petani Pasundan, Nissa, yang merupakan mantan aktivis Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut, tak hanya melakukan advokasi soal agraria. "Dia juga melakukan pendampingan pemberdayaan ekonomi untuk petani," ujarnya.
Salah satu gerakan yang dijalankan Nissa adalah pendidikan bertani organik, baik padi maupun palawija, di Kecamatan Bayongbong. Gerakan ini cukup berhasil. Banyak di antara petani yang beralih dari pengguna bahan kimia menjadi pengguna pupuk organik dalam menunjang pertumbuhan tanamannya. Di bidang reformasi agraria, Nissa berhasil mendampingi petani menggarap lahan perkebunan Bunisalirenda di Cisompet, Sagara di Cibalong, dan Jangkurang di Kecamatan Leles.
Ketua Dewan Syuro Serikat Petani Pasundan Yudi Kurnia mempunyai catatan sendiri terhadap Nissa. Menurut dia, Nissa adalah perempuan yang memiliki daya juang tinggi dalam membela masyarakat. Salah satu karyanya adalah membangun organisasi rakyat dengan mendidik para perempuan di tingkat desa. Para perempuan ini diberi pemahaman kesetaraan gender. "Dia (Nissa) membangkitkan semangat perempuan di desa untuk membangun tatanan ekonomi," katanya.
Yudi melihat pendidikan itu cukup berhasil. Banyak di antara perempuan di desa dapat membantu suaminya dalam bercocok tanam. Saat masa pemeliharaan tanaman, peran perempuan lebih dominan, sementara para suami mencari kerja di kota. Para suami baru kembali ke kampung saat tanaman akan dipanen.
Bukan hanya itu, Nissa juga mendirikan lembaga pendidikan bagi keluarga petani dengan nama Yayasan Pengembangan Masyarakat. Yayasan ini berfokus pada bidang pendidikan dan kepemimpinan. Yudi menilai perjuangan Nissa mampu mengilhami anggota SPP lainnya sehingga banyak perempuan menduduki kepengurusan SPP di tingkat pusat. Jumlahnya mencapai sekitar 30 persen. Anggota SPP ini tersebar di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran, mencapai 100 ribu orang.
Di mata tetangganya, Nissa adalah sosok yang cerdas dan ulet. Mereka memuji kemampuan Nissa, yang bisa memanfaatkan tumbuhan biasa menjadi luar biasa. Tanaman ganyong, misalnya, dia ubah menjadi tepung yang kemudian diolah menjadi roti. Selain itu, dia terampil membuat teh dari berbagai tanaman. "Tanaman biasa bisa jadi lebih bermanfaat karena pengetahuan Umi Nissa," ujar Endang Juanda, 50 tahun, seorang tetangga.
Nissa juga tak pelit membagi ilmunya. Menurut Endang, Nissa menyarankan kepada tetangganya untuk menanam tumbuhan yang baunya menyengat di sekitar pematang sawah, seperti persela, tahi kotok, dan kenikir. Tumbuhan itu bisa menangkal datangnya hama pada padi. Hasilnya sudah terbukti. Setelah mempraktekkannya sendiri, Endang tak lagi mengalami kerugian yang cukup besar. "Petani yang lain merugi besar kalau diserang hama, tapi alhamdulillah, berkat saran Umi Nissa, hasil panen saya tetap stabil," tuturnya.
Nissa Wargadipura
Tempat dan tanggal lahir: Garut, Jawa Barat, 23 Februari 1972
Pendidikan: SMA 1 Cibatu, Garut (lulus 1991)
Suami: Ibang Lukmanurdin
Anak: Salwa Khanza Salsabil, Akhfa Nazhat Al Wafa, Qaisa Karamitha Muliasandra
Karier:
Penghargaan:
Adeline Tiffanie Suwana
Bermula dari Banjir
Adeline Tiffanie Suwana adalah salah satu aktivis lingkungan termuda di Tanah Air. Adel-sapaan akrabnya-memulainya ketika masih berusia 11 tahun dengan mengajak teman-temannya menanam bakau di Pluit, Jakarta Utara.
Inisiatif ini terdorong dari musibah banjir pada 2008, yang memaksa Adel dan keluarganya mengungsi dari rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari guru dan informasi sana-sini, perempuan kelahiran 26 Desember 1996 itu akhirnya tahu bahwa banjir ini terjadi karena dampak lingkungan, dan perubahan iklim adalah bencana lingkungan yang paling mengkhawatirkan. Tapi dia juga tahu bahwa dampak perubahan iklim dapat diminimalkan, antara lain dengan menanam bakau.
Kecintaannya pada lingkungan berkembang lebih jauh, termasuk konservasi penyu dan daur ulang sampah. Adel lantas mendirikan organisasi Sahabat Alam pada 6 Juli 2008 untuk mengatur berbagai kegiatan ini. "Semuanya sukarelawan," katanya ketika dihubungi Tempo, dua pekan lalu.
Anggota Sahabat Alam kini sudah mencapai 30 ribu orang dan mereka mengadakan 150 kegiatan, dari penghijauan hingga seminar ke 35 sekolah di Jakarta dan sekitarnya. Berkat sepak terjangnya itu, Adel diganjar sejumlah penghargaan, seperti ASEAN Championship Biodiversity (2011, 2013), World Summit Youth Award (2011), Global Teen Leader (2012), dan Hitachi Young Leader's Initiative 2015.
Adel kini sedang kuliah jurusan ekonomi lingkungan dan kebijakan publik di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Tapi kegiatan komunitasnya tidak berhenti. "Saya masih berkoordinasi via WhatsApp Call," ujarnya.
Erni Suyanti Musabine
Menyelamatkan Harimau Terluka
DOKTER hewan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Erni Suyanti Musabine, tak bisa melupakan betapa susahnya mengevakuasi Elsa, harimau yang terjerat pemburu liar pada awal April 2014. Saat ditemukan, kondisi Elsa sangat menyedihkan. Kakinya sudah busuk. Bersama empat rekannya, Erni Suyanti kemudian membawa harimau itu ke kantornya.
Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, yang akrab disapa Yanti itu segera melakukan operasi amputasi untuk menolong Elsa. Setelah operasi, persoalan berikutnya muncul. "Tidak ada fasilitas memadai untuk perawatan. Selama hampir setahun kami terpaksa mencari dana untuk pengobatan dan nutrisinya," ujar Yanti saat dihubungi Tempo, dua pekan lalu.
Perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 39 tahun silam itu sering merasa miris setiap mengevakuasi harimau yang bisa diselamatkannya. Peralatan yang serba kurang dan fasilitas minim membuatnya harus nombok sana-sini, bahkan meminta bantuan dari lembaga swadaya masyarakat.
Selama sepuluh tahun menjalani tugasnya sebagai dokter hewan di BKSDA Bengkulu, Yanti telah menyelamatkan sebelas harimau serta puluhan orang utan dan gajah. Terakhir, dia menyelamatkan Giring, harimau yang sempat memangsa penduduk di perkebunan karet dan sawit di Kabupaten Seluma, Bengkulu.
Setelah Giring dirawat, Yanti mengantarnya dengan perahu menyeberangi Sungai Seblat selebar 30 meter menuju Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu, rumah baru harimau itu. Giring memang sudah dibius, tapi tidak dikurung. Yanti memeluk kepala Giring selama penyeberangan mendebarkan itu. "Tidak ada rasa takut, saya yakin bisa melakukannya," katanya.
Siswaningtyas Tri Nugraheni
Agar Orang Rimba Bicara
Mengarungi sungai berarus deras, berminggu-minggu tanpa sinyal telepon seluler, jalan kaki berjam-jam di hutan, dan bahkan tersesat di belantara sudah jadi hal biasa bagi Siswaningtyas Tri Nugraheni. Sejak memutuskan berkecimpung di Komunitas Konservasi Indonesia Warsi pada 2008, Tyas-begitu Siswaningtyas biasa disapa-telah membiasakan diri bertahan di alam liar.
Selama tujuh tahun lebih ia keluar-masuk hutan guna menjangkau suku-suku pedalaman, seperti Orang Rimba di Jambi dan Dayak di Kalimantan. "Awalnya saya cuma mau coba setahun, tapi terasa setengah-setengah, hingga akhirnya lanjut terus sampai sekarang," kata perempuan asal Jepara ini.
Setelah lulus dari Jurusan Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman pada 2006, Tyas sempat kerja kantoran di sebuah penerbit, tapi dia tak betah. Dia malah menemukan gairahnya di hutan. Pada mulanya pilihan itu ditentang orang tuanya, tapi Tyas pelan-pelan meyakinkan keluarganya dengan membuktikan bahwa ia bisa menjaga diri dan membuat perubahan.
Misi yang diemban perempuan kelahiran 1981 ini adalah memberdayakan penduduk asli di sekitar kawasan taman nasional untuk merawat lingkungan mereka. Orang Rimba, misalnya, yang bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, sebelumnya masih bertahan dengan pola hidup berburu dan mencari rotan. Padahal lahan mereka makin sempit karena dikepung perkebunan sawit. Tyas dan timnya, yang sebagian besar laki-laki, mengajar suku itu untuk mengelola lahan dan mengadvokasi agar perusahaan sawit tak merebut lahan tersebut.
Buah perjuangan Tyas adalah adanya zonasi lahan yang jelas di sekitar taman nasional itu. Orang Rimba, Melayu, dan Jawa yang pendatang kini juga bisa hidup berdampingan dan bekerja sama mengelola lahan mereka. Orang Rimba bahkan sudah berani mengemukakan aspirasi mereka agar didengar pemerintah. Puncaknya, tahun lalu Presiden Joko Widodo datang langsung dan duduk bersama tetua suku ini.
Tuntas pekerjaan di Jambi, sejak sembilan bulan lalu Tyas ditugasi ke perbatasan Kalimantan untuk mendampingi suku Dayak. Kini ia menjadi ketua tim. "Anggota saya semua laki-laki, lho," ujarnya, lalu tertawa.
Putu Yuni Widyadnyani
Gencar Mengenalkan Energi Surya
Bermula dari rasa takjub, Putu Yuni Widyadnyani, 29 tahun, kemudian menjadi salah satu aktivis perempuan yang gencar mengenalkan pemanfaatan energi terbarukan kepada masyarakat lokal. Ia bersama mentor lain dari Komunitas Kayon kini gemar mengajak anak-anak, remaja, termasuk ibu-ibu, di Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, memanfaatkan tenaga surya dan limbah ternak (biogas).
Saat itu ia masih 12 tahun diajak I Gusti Ngurah Agung Putradhyana, kini 47 tahun, pendiri komunitas tersebut, ke perkebunan untuk menikmati alam sembari belajar bahasa Inggris. Di kebun itu, Nuning-nama panggilan Putu Yuni-memetik tomat dan pepaya, sementara Agung mengeluarkan sebuah blender yang tenaga listriknya tersambung ke sebuah panel surya. Ia takjub melihat blender itu bekerja dengan baik. Jus tomat dan pepaya pun terhidang.
"Itu adalah cara pembelajaran sekaligus sosialisasi energi terbarukan yang sederhana, nyata, dan memikat," ujar lulusan sastra Inggris Universitas Udayana yang di komunitas itu menjadi koordinator bahasa Inggris tersebut. "Tidak efektif cara belajar seperti kuliah diterapkan di kampung."
Sejak itu, Nuning aktif terlibat memperkenalkan energi terbarukan untuk kehidupan sehari-hari. Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Geluntung itu membujuk ibu-ibu agar mau memasang panel surya. Komunitas ini juga membuat alat bajak listrik dan alat pertanian lain yang menggunakan tenaga surya. Mereka pun tengah membuat radio komunitas orang biasa (ROB) menggunakan solar panel yang akan mereka pakai sebagai sarana sosialisasi energi terbarukan. Semua dikerjakan secara swadaya.
Komunitas ini, kata Nuning, juga berencana membuat alat potong rumput listrik tenaga surya yang bisa dipakai dinas kebersihan dan pertamanan serta pihak perhotelan. "Energi surya tidak berisik dibandingkan dengan mesin biasa," ujarnya.
Berbagai kreativitas Komunitas Kayon itu telah dilirik oleh pemerintah daerah Tabanan. Nuning berharap Geluntung bisa menjadi desa percontohan atau desa berdikari untuk pemanfaatan energi tenaga surya. Dia pun diundang menjadi pembicara di Bali Clean Energy Forum pada Februari lalu. Ia juga diundang ikut pertukaran budaya di Perth, Australia, dan Bangkok, Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo